Kadin DKI: Perpindahan Ibu Kota Turunkan Daya Saing Iklim Usaha
A
A
A
JAKARTA - Wacana perpidahan ibu kota kembali mengemuka, setelah Presiden Joko Widodo memerintahkan Bappenas untuk melakukan kajian memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Wacana ibu kota di Palangkaraya sendiri bukan hal baru. Pada 1957, Presiden Soekarno pernah memilih Palangkaraya sebagai alternatif ibu kota.
Dan di masa Presiden Soeharto, wacana pemindahan ibu kota sempat muncul dengan memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan Jonggol Cairu di Bogor, Jawa Barat.
Di tengah mengemukanya wacana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta mengatakan pemindahan ibu kota harus memerhatikan aspek ekonomi dan kebermanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Ibu kota negara itu milik masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, karena sebagai pusat koordinasi, pusat komunikasi, dan pusat kebijakan. Jadi bukan sekadar kepentingan masyarakat Jakarta atau masyarakat Palangkaraya,” ujar Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang kepada SINDOnews, Kamis (13/4/2017).
Yang tidak kalah penting, sambung Sarman, pemindahan ibu kota juga harus mempertimbangkan dampak terhadap iklim usaha dan investasi. Karena Jakarta sudah 53 tahun ditetapkan sebagai ibu kota negara berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 1964.
Sepanjang periode berjalan, ratusan ribu perusahaan seperti PMA, PMDN, BUMN, swasta nasional berkantor pusat di Jakarta. Interaksi perusahaan tersebut dengan pemerintah pusat pun sangat tinggi, bukan sekadar mengurus perizinan juga soal kebijakan bisnis dan ekonomi.
Karena itu, Sarman mengatakan bila sampai dipindahkan ke Palangkaraya, kendati memerlukan waktu dan biaya, hal tersebut dapat menurunkan daya saing iklim usaha dan investasi. (Baca Juga: Syarat Kota Layak Jadi Pusat Pemerintahan Baru
Meski diakui, wacana pemindahan ini seiring dengan beban berat yang dipikul Jakarta. Yaitu sebagai pusat bisnis dan investasi, pusat keuangan, perdagangan, pariwisata, pusat pemerintahan sekaligus ibu kota. Sebagai pusat segala kegiatan, maka berdampak terhadap kemacetan lalu lintas yang parah, urbanisasi yang tinggi, hingga kesenjangan ekonomi dan ketimpangan sosial.
Namun kata Sarman, dengan seabrek permasalahan tadi, maka wacana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya perlu dikaji kembali. Bukan hanya melihat faktor historis, juga harus memerhatikan sisi pengusaha.
“Jika pemerintah ingin memisahkan ibu kota negara dari pusat bisnis dan ekonomi, kami akan lebih setuju jika dipindahkan ke Jonggol misalnya. Atau ke Karawang, Purwakarta, atau mungkin Banten. Selain lahannya masih tersedia juga tidak terlalu jauh berinteraksi dengan pemerintah pusat,” terangnya.
Sehingga dengan tetap memelihara interaksi secara intens, juga akan efisien dan menekan biaya dari pelaku usaha. “Memang semuanya yang memutuskan pemerintah pusat tapi untuk mengambil kebijakan yang terbaik dan bermanfaat untuk masyarakat juga harus memerhatikan pelaku usaha,” pungkasnya.
Dan di masa Presiden Soeharto, wacana pemindahan ibu kota sempat muncul dengan memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan Jonggol Cairu di Bogor, Jawa Barat.
Di tengah mengemukanya wacana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta mengatakan pemindahan ibu kota harus memerhatikan aspek ekonomi dan kebermanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Ibu kota negara itu milik masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, karena sebagai pusat koordinasi, pusat komunikasi, dan pusat kebijakan. Jadi bukan sekadar kepentingan masyarakat Jakarta atau masyarakat Palangkaraya,” ujar Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang kepada SINDOnews, Kamis (13/4/2017).
Yang tidak kalah penting, sambung Sarman, pemindahan ibu kota juga harus mempertimbangkan dampak terhadap iklim usaha dan investasi. Karena Jakarta sudah 53 tahun ditetapkan sebagai ibu kota negara berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 1964.
Sepanjang periode berjalan, ratusan ribu perusahaan seperti PMA, PMDN, BUMN, swasta nasional berkantor pusat di Jakarta. Interaksi perusahaan tersebut dengan pemerintah pusat pun sangat tinggi, bukan sekadar mengurus perizinan juga soal kebijakan bisnis dan ekonomi.
Karena itu, Sarman mengatakan bila sampai dipindahkan ke Palangkaraya, kendati memerlukan waktu dan biaya, hal tersebut dapat menurunkan daya saing iklim usaha dan investasi. (Baca Juga: Syarat Kota Layak Jadi Pusat Pemerintahan Baru
Meski diakui, wacana pemindahan ini seiring dengan beban berat yang dipikul Jakarta. Yaitu sebagai pusat bisnis dan investasi, pusat keuangan, perdagangan, pariwisata, pusat pemerintahan sekaligus ibu kota. Sebagai pusat segala kegiatan, maka berdampak terhadap kemacetan lalu lintas yang parah, urbanisasi yang tinggi, hingga kesenjangan ekonomi dan ketimpangan sosial.
Namun kata Sarman, dengan seabrek permasalahan tadi, maka wacana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya perlu dikaji kembali. Bukan hanya melihat faktor historis, juga harus memerhatikan sisi pengusaha.
“Jika pemerintah ingin memisahkan ibu kota negara dari pusat bisnis dan ekonomi, kami akan lebih setuju jika dipindahkan ke Jonggol misalnya. Atau ke Karawang, Purwakarta, atau mungkin Banten. Selain lahannya masih tersedia juga tidak terlalu jauh berinteraksi dengan pemerintah pusat,” terangnya.
Sehingga dengan tetap memelihara interaksi secara intens, juga akan efisien dan menekan biaya dari pelaku usaha. “Memang semuanya yang memutuskan pemerintah pusat tapi untuk mengambil kebijakan yang terbaik dan bermanfaat untuk masyarakat juga harus memerhatikan pelaku usaha,” pungkasnya.
(ven)