Perpanjangan Kontrak JICT Dinilai Dipaksakan
A
A
A
JAKARTA - Perpanjangan kontrak PT Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh Hutchison dinilai seharusnya taat kepada aturan yang berlaku, bukan memaksakan perpanjangan kontrak yang cacat hukum. Direktur Indonesia Port Watch (IPW) Syaiful Hasan mendorong pihak yang berwenang dalam hal ini KPK untuk menelisik lebih jauh kasus perpanjangan kontrak aset nasional.
Kasus perpanjangan tersebut diduga melibatkan antara Hutchison dan Deutsche Bank A.G Hong Kong yang menjadi konsultan keuangan Pelindo II dalam melakukan valuasi JICT. "Dari dokumen bocoran email dan pengakuan Director Deutsche Bank Hong Kong kepada DPR jelas, bahwa mereka (Deutsche Bank) sudah berhubungan lama dengan Hutchison sebelum proses perpanjangan," kata Syaiful lewat keterangan resmi di Jakarta, Rabu (24/5/2017).
Dugaan ini, kata dia, sekaligus menjawab pertanyaan kenapa Deutsche Bank tidak mempertanggung jawabkan hasil valuasinya terhadap JICT. "Ini kan akal-akalan. Saham 51% untuk Pelindo II dan 49% sudah diseting dari awal. Jadi Deutsche Bank yang dibayar USD 1,7 juta bikin valuasi sia-sia. Akhirnya kan terbongkar oleh BPK ada kerugian negara USD 50 juta," tuturnya.
Lebih lanjut dia berharap, semua elemen di Pelindo II dan Hutchison sadar bahwa lubang hukum perpanjangan JICT sangat besar. Menurutnya dalam perkara ini, BPK menyatakan perpanjangan JICT dilakukan tanpa persetujuan RUPS Menteri BUMN dan merugikan negara USD 50 juta
"Hutchison Indonesia tidak perlu mempolitisasi kunjungan Presiden ke Hong Kong. Sampai bilang Presiden mencatat soal masalah pelabuhan di Ipad-nya dalam surat kabar SMCP. Ini kan statement politis," paparnya.
Kasus perpanjangan tersebut diduga melibatkan antara Hutchison dan Deutsche Bank A.G Hong Kong yang menjadi konsultan keuangan Pelindo II dalam melakukan valuasi JICT. "Dari dokumen bocoran email dan pengakuan Director Deutsche Bank Hong Kong kepada DPR jelas, bahwa mereka (Deutsche Bank) sudah berhubungan lama dengan Hutchison sebelum proses perpanjangan," kata Syaiful lewat keterangan resmi di Jakarta, Rabu (24/5/2017).
Dugaan ini, kata dia, sekaligus menjawab pertanyaan kenapa Deutsche Bank tidak mempertanggung jawabkan hasil valuasinya terhadap JICT. "Ini kan akal-akalan. Saham 51% untuk Pelindo II dan 49% sudah diseting dari awal. Jadi Deutsche Bank yang dibayar USD 1,7 juta bikin valuasi sia-sia. Akhirnya kan terbongkar oleh BPK ada kerugian negara USD 50 juta," tuturnya.
Lebih lanjut dia berharap, semua elemen di Pelindo II dan Hutchison sadar bahwa lubang hukum perpanjangan JICT sangat besar. Menurutnya dalam perkara ini, BPK menyatakan perpanjangan JICT dilakukan tanpa persetujuan RUPS Menteri BUMN dan merugikan negara USD 50 juta
"Hutchison Indonesia tidak perlu mempolitisasi kunjungan Presiden ke Hong Kong. Sampai bilang Presiden mencatat soal masalah pelabuhan di Ipad-nya dalam surat kabar SMCP. Ini kan statement politis," paparnya.
(akr)