Geram Mahathir Mengenang 20 Tahun Krisis Asia
A
A
A
KUALA LUMPUR - Mungkin sebagian anda lupa, bulan Juli tahun ini, genap 20 tahun Krisis Asia. Di Indonesia dikenal dengan sebutan Krisis Moneter. Beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand--melakukan pameran dan seminar di Museum Siam--memperingati masa menjelang krisis dan setelah krisis.
Mengutip dari The Economist, terdapat foto seorang pekerja wanita yang mengakhiri hidup dengan gantung diri akibat getirnya Krisis Asia. Di Hong Kong, Jepang, dan Korea Selatan, menurut penelitian ada 10.400 orang yang bunuh diri akibat krisis tersebut. Thailand mengingat bencana Krisis Asia sebagai pengalaman “pahit dan membakar”.
Sosok yang masih belum melupakan peristiwa getir dua dekade silam ialah mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Mengutip dari Bloomberg, Kamis (6/7/2017), Mahathir mengungkapkan masih membenci pedagang mata uang yang mengobok-obok ekonomi negara-negara Asia, khususnya Asia Tenggara. Telunjuknya pun diarahkan kepada manajer hedge fund Georgo Soros.
Mahathir yang sekarang berusia 91 tahun, belum kehilangan kegeramannya terhadap pedagang mata uang yang mendorong ekonomi Malaysia ke jurang pada 20 tahun silam. “Saya percaya bahwa perdagangan mata uang seharusnya tidak menjadi bisnis sama sekali,” katanya di Kuala Lumpur.
Mahathir mengecam pedagang mata uang sebagai “pencuri yang tidak bermoral” dan pekerjaan mereka juga “tidak bermoral”. "Tidak ada gunanya memperlakukan mata uang seperti komoditas, mendevaluasi secara artifisial dan menyebabkan banyak kemiskinan di antara negara-negara miskin," ujar Mahathir.
Soros yang juga berada dibalik hancurnya mata uang Inggris, poundsterling pada 1992, lantas membalas kecaman Mahathir, dengan mengatakan kebijakan ekonomi Mahathir akan menjadi “resep untuk bencana”. Namun ucapan Soros tidak semuanya terjadi. Perekonomian Malaysia secara cepat bisa kembali dari krisis.
Pada 1997, ringgit Malaysia anjlok 35%. Cadangan devisa menyusut dan pasar saham jatuh kehilangan separuh nilainya. Alih-alih tunduk ke IMF, Mahathir justru membentuk Dewan Aksi Ekonomi Nasional, sebuah kelompok yang diketuai oleh perdana menteri untuk membantu menstabilkan ekonomi.
Jika Thailand menghapus patokan dolar terhadap mata uang baht, Malaysia memilih mengadopsi satu mata uang di akhir tahun 1998. Malaysia juga menolak perintah IMF untuk menaikkan suku bunga demi mempertahankan mata uang mereka. Bank Negara Malaysia malah memilih menurunkan suku bunga secara bertahap dari 11% pada Juli 1998 menjadi 5,5% pada Agustus 1999.
“Mereka mengecam kita,” kata mantan gubernur bank sentral Malaysia, Zeti Akhtar Aziz. Zeti yang ditunjuk sebagai gubernur bank sentral, pada hari pertamanya langsung mengumumkan Malaysia menetapkan batasan dalam transaksi valuta asing, menahan sekitar USD18 miliar modal asing setidaknya selama satu tahun. Hal ini untuk mengembalikan stabilitas di pasar mata uang.
Kebijakan Mahathir akhirnya berhasil. Pengadopsian satu mata uang memberi perusahaan-perusahaan di Malaysia kepastian untuk berinvestasi. Memang pada awalnya sempat kontraksi 7,4% pada 1998, tetapi ekonomi Malaysia pulih dan tumbuh 6,1% pada tahun 1999.
Berbeda halnya dengan Thailand dan Indonesia. Malaysia terhindar dari langkah-langkah penghematan ala IMF yang ternyata menyakitkan, dimana memicu kekacauan politik, mendorong ribuan perusahaan mendekati kebangkrutan, dan mendorong jutaan orang jatuh ke dalam kemiskinan.
“Mahathir membaca pola pikir saat itu dengan benar,” kata Song Seng Wun, ekonom di CIMB Private Banking di Singapura. Song mengatakan Mahathir sangat mengerti psikologi, dengan tidak ingin mata uang ringgit kehilangan kepercayaan di masyarakat.
Sifat keras kepala Mahathir terhadap agenda liberalisme, membuatnya menghadapi banyak gejolak dalam pemerintahannya sendiri. Namun Mahathir mengatakan dirinya perlu waktu satu tahun untuk meyakinkan dewan khusus, kabinet, dan ekonom, untuk memberlakukan kontrol terhadap modal. Mahathir lantas menolak daftar 32 poin yang diajukan salah satu anggota timnya Noordin Sopiee.
Mahathir lebih memilih mendengar argumen peraih Nobel Ekonomi yaitu Paul Krugman, yang mendukung kontrol pertukaran di Asia. “Dia adalah ekonom hebat dan mereka (dewan) diyakinkan olehnya bukan oleh saya,” kata Mahathir.
Selain kontrol ekonomi, pertimbangan politik dalam negeri juga menjadi pertimbangan yang disetujui Mahathir. Doktor M--sapaan Mahathir--menyatakan alasan utama menolak bantuan IMF dan Bank Dunia, karena lembaga rentenir yang berbasis di Washington ini, akan memaksanya meninggalkan kebijakan tindakan afirmatif Malaysia yang telah membantu membuat partainya berkuasa selama beberapa dekade.
IMF dan Bank Dunia pun memainkan tekanan utang. “Ketika kami meminjam uang dari mereka, kondisi yang sering mereka lakukan adalah mencampuri dan mengelola ekonomi negara tersebut, termasuk keuangannya,” kata Mahathir.
Tindakan afirmatif alias mengistimewakan kelompok tertentu, dianggap menghambat daya saing dan kemajuan Malaysia. Namun pemerintahan Mahathir mengatakan hal ini dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan ekonomi orang-orang Melayu.
Mahathir pun menampik bahwa kebijakan mengistimewakan orang-orang Melayu telah menyebabkan kesalahan ekonomi saat ini. Menurut dia, beban ekonomi Malaysia sekarang karena meminjam melampaui kemampuan dan korupsi yang marak. “Pemerintah saat ini telah meminjam uang terlalu banyak. Bila tidak dapat membayar utang, negara bisa bangkrut,” katanya.
Mengutip dari The Economist, terdapat foto seorang pekerja wanita yang mengakhiri hidup dengan gantung diri akibat getirnya Krisis Asia. Di Hong Kong, Jepang, dan Korea Selatan, menurut penelitian ada 10.400 orang yang bunuh diri akibat krisis tersebut. Thailand mengingat bencana Krisis Asia sebagai pengalaman “pahit dan membakar”.
Sosok yang masih belum melupakan peristiwa getir dua dekade silam ialah mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Mengutip dari Bloomberg, Kamis (6/7/2017), Mahathir mengungkapkan masih membenci pedagang mata uang yang mengobok-obok ekonomi negara-negara Asia, khususnya Asia Tenggara. Telunjuknya pun diarahkan kepada manajer hedge fund Georgo Soros.
Mahathir yang sekarang berusia 91 tahun, belum kehilangan kegeramannya terhadap pedagang mata uang yang mendorong ekonomi Malaysia ke jurang pada 20 tahun silam. “Saya percaya bahwa perdagangan mata uang seharusnya tidak menjadi bisnis sama sekali,” katanya di Kuala Lumpur.
Mahathir mengecam pedagang mata uang sebagai “pencuri yang tidak bermoral” dan pekerjaan mereka juga “tidak bermoral”. "Tidak ada gunanya memperlakukan mata uang seperti komoditas, mendevaluasi secara artifisial dan menyebabkan banyak kemiskinan di antara negara-negara miskin," ujar Mahathir.
Soros yang juga berada dibalik hancurnya mata uang Inggris, poundsterling pada 1992, lantas membalas kecaman Mahathir, dengan mengatakan kebijakan ekonomi Mahathir akan menjadi “resep untuk bencana”. Namun ucapan Soros tidak semuanya terjadi. Perekonomian Malaysia secara cepat bisa kembali dari krisis.
Pada 1997, ringgit Malaysia anjlok 35%. Cadangan devisa menyusut dan pasar saham jatuh kehilangan separuh nilainya. Alih-alih tunduk ke IMF, Mahathir justru membentuk Dewan Aksi Ekonomi Nasional, sebuah kelompok yang diketuai oleh perdana menteri untuk membantu menstabilkan ekonomi.
Jika Thailand menghapus patokan dolar terhadap mata uang baht, Malaysia memilih mengadopsi satu mata uang di akhir tahun 1998. Malaysia juga menolak perintah IMF untuk menaikkan suku bunga demi mempertahankan mata uang mereka. Bank Negara Malaysia malah memilih menurunkan suku bunga secara bertahap dari 11% pada Juli 1998 menjadi 5,5% pada Agustus 1999.
“Mereka mengecam kita,” kata mantan gubernur bank sentral Malaysia, Zeti Akhtar Aziz. Zeti yang ditunjuk sebagai gubernur bank sentral, pada hari pertamanya langsung mengumumkan Malaysia menetapkan batasan dalam transaksi valuta asing, menahan sekitar USD18 miliar modal asing setidaknya selama satu tahun. Hal ini untuk mengembalikan stabilitas di pasar mata uang.
Kebijakan Mahathir akhirnya berhasil. Pengadopsian satu mata uang memberi perusahaan-perusahaan di Malaysia kepastian untuk berinvestasi. Memang pada awalnya sempat kontraksi 7,4% pada 1998, tetapi ekonomi Malaysia pulih dan tumbuh 6,1% pada tahun 1999.
Berbeda halnya dengan Thailand dan Indonesia. Malaysia terhindar dari langkah-langkah penghematan ala IMF yang ternyata menyakitkan, dimana memicu kekacauan politik, mendorong ribuan perusahaan mendekati kebangkrutan, dan mendorong jutaan orang jatuh ke dalam kemiskinan.
“Mahathir membaca pola pikir saat itu dengan benar,” kata Song Seng Wun, ekonom di CIMB Private Banking di Singapura. Song mengatakan Mahathir sangat mengerti psikologi, dengan tidak ingin mata uang ringgit kehilangan kepercayaan di masyarakat.
Sifat keras kepala Mahathir terhadap agenda liberalisme, membuatnya menghadapi banyak gejolak dalam pemerintahannya sendiri. Namun Mahathir mengatakan dirinya perlu waktu satu tahun untuk meyakinkan dewan khusus, kabinet, dan ekonom, untuk memberlakukan kontrol terhadap modal. Mahathir lantas menolak daftar 32 poin yang diajukan salah satu anggota timnya Noordin Sopiee.
Mahathir lebih memilih mendengar argumen peraih Nobel Ekonomi yaitu Paul Krugman, yang mendukung kontrol pertukaran di Asia. “Dia adalah ekonom hebat dan mereka (dewan) diyakinkan olehnya bukan oleh saya,” kata Mahathir.
Selain kontrol ekonomi, pertimbangan politik dalam negeri juga menjadi pertimbangan yang disetujui Mahathir. Doktor M--sapaan Mahathir--menyatakan alasan utama menolak bantuan IMF dan Bank Dunia, karena lembaga rentenir yang berbasis di Washington ini, akan memaksanya meninggalkan kebijakan tindakan afirmatif Malaysia yang telah membantu membuat partainya berkuasa selama beberapa dekade.
IMF dan Bank Dunia pun memainkan tekanan utang. “Ketika kami meminjam uang dari mereka, kondisi yang sering mereka lakukan adalah mencampuri dan mengelola ekonomi negara tersebut, termasuk keuangannya,” kata Mahathir.
Tindakan afirmatif alias mengistimewakan kelompok tertentu, dianggap menghambat daya saing dan kemajuan Malaysia. Namun pemerintahan Mahathir mengatakan hal ini dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan ekonomi orang-orang Melayu.
Mahathir pun menampik bahwa kebijakan mengistimewakan orang-orang Melayu telah menyebabkan kesalahan ekonomi saat ini. Menurut dia, beban ekonomi Malaysia sekarang karena meminjam melampaui kemampuan dan korupsi yang marak. “Pemerintah saat ini telah meminjam uang terlalu banyak. Bila tidak dapat membayar utang, negara bisa bangkrut,” katanya.
(ven)