Industri Smelter Terancam Ambruk
A
A
A
JAKARTA - Relaksasi ekspor konsentrat dan mineral mentah kadar rendah yang dilakukan pemerintah dinilai melanggar ketentuan UU Minerba No 4 tahun 2009. Dampak atas relaksasi ekspor tersebut juga tengah dirasakan kalangan industri yang sejatinya telah konsisten mengimplementasikan kebijakan hilirisasi mineral dengan membangun smelter.
Beberapa smelter bahkan terancam gulung tikar dan rencana investasi ke depan menjadi tidak menentu karena perubahan kebijakan yang signifikan dan menguntungkan pihak tertentu. Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, semula publik menaruh harapan besar kepada pemerintah yang telah berjanji akan konsisten menjalankan perintah UU Minerba No.4/2009.
Namun, terbitnya Peraturan Pemerintah No.1/2017 serta Peraturan Menteri ESDM No.5/2017 dan No.6/2017 yang mengizinkan kembali ekspor konsentrat, mineral mentah kadar rendah untuk bauksit dan nikel memberikan ketidakpastian bagi industri smelter. "Kebijakan hilirisasi merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945 demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat,’’sebut Marwan di Jakarta.
Menurut dia, relaksasi ketentuan hilirisasi dalam UU Minerba jelas mengurangi kesempatan negara untuk meningkatkan berbagai aspek terkait ekonomi dan keuangan antara lain berupa PDB, PDRB, penerimaan pajak, investasi luar negeri, perputaran kegiatan ekonomi dan pendapatan masyarakat. Kebijakan relaksasi pun akan menghambat penyediaan bahan baku industri di dalam negeri, yang berakibat terkurasnya devisa untuk melakukan impor.
Kebijakan relaksasi ekspor konsentrat pun telah memberikan sinyal yang buruk bagi investasi pembangunan smelter atau bahkan bagi iklim investasi secara keseluruhan. Kebijakan relaksasi antara lain menjadikan peta dan volume ekspor-impor konsentrat berubah, harga komoditas turun dan kelayakan investasi smelter pun ikut terganggu. Faktanya, dari 12 smelter bauksit/nikel yang direncanakan dibangun pada 2015, ternyata yang terealisasi hanya 5 smelter; atau dari 4 yang direncanakan pada 2016, hanya 2 smelter yang terealisasi.
Ada sekitar 11 smelter yang berhenti beroperasi karena merugi akibat kebijakan relaksasi, yakni PT Karyatama Konawe Utara, PT Macika Mineral Industri, PT Bintang Smelter Indonesia, PT Huadi Nickel, PT Titan Mineral, PT COR Industri, PT Megah Surya, PT Blackspace, PT Wan Xiang, PT Jinchuan, dan PT Transon.
Di sisi lain, sekitar 12 perusahaan smelter nikel yang merugi akibat jatuhnya harga, yaitu PT Fajar Bhakti, PT Kinlin Nickel, PT Century, PT Cahaya Modern, PT Gebe Industri, PT Tsingshan (SMI), PT Guang Ching, PT Cahaya Modern, PT Heng Tai Yuan, PT Virtue Dragon, PT Indoferro, dan pemain lama, PT Vale Indonesia Tbk.
Beberapa smelter bahkan terancam gulung tikar dan rencana investasi ke depan menjadi tidak menentu karena perubahan kebijakan yang signifikan dan menguntungkan pihak tertentu. Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, semula publik menaruh harapan besar kepada pemerintah yang telah berjanji akan konsisten menjalankan perintah UU Minerba No.4/2009.
Namun, terbitnya Peraturan Pemerintah No.1/2017 serta Peraturan Menteri ESDM No.5/2017 dan No.6/2017 yang mengizinkan kembali ekspor konsentrat, mineral mentah kadar rendah untuk bauksit dan nikel memberikan ketidakpastian bagi industri smelter. "Kebijakan hilirisasi merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945 demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat,’’sebut Marwan di Jakarta.
Menurut dia, relaksasi ketentuan hilirisasi dalam UU Minerba jelas mengurangi kesempatan negara untuk meningkatkan berbagai aspek terkait ekonomi dan keuangan antara lain berupa PDB, PDRB, penerimaan pajak, investasi luar negeri, perputaran kegiatan ekonomi dan pendapatan masyarakat. Kebijakan relaksasi pun akan menghambat penyediaan bahan baku industri di dalam negeri, yang berakibat terkurasnya devisa untuk melakukan impor.
Kebijakan relaksasi ekspor konsentrat pun telah memberikan sinyal yang buruk bagi investasi pembangunan smelter atau bahkan bagi iklim investasi secara keseluruhan. Kebijakan relaksasi antara lain menjadikan peta dan volume ekspor-impor konsentrat berubah, harga komoditas turun dan kelayakan investasi smelter pun ikut terganggu. Faktanya, dari 12 smelter bauksit/nikel yang direncanakan dibangun pada 2015, ternyata yang terealisasi hanya 5 smelter; atau dari 4 yang direncanakan pada 2016, hanya 2 smelter yang terealisasi.
Ada sekitar 11 smelter yang berhenti beroperasi karena merugi akibat kebijakan relaksasi, yakni PT Karyatama Konawe Utara, PT Macika Mineral Industri, PT Bintang Smelter Indonesia, PT Huadi Nickel, PT Titan Mineral, PT COR Industri, PT Megah Surya, PT Blackspace, PT Wan Xiang, PT Jinchuan, dan PT Transon.
Di sisi lain, sekitar 12 perusahaan smelter nikel yang merugi akibat jatuhnya harga, yaitu PT Fajar Bhakti, PT Kinlin Nickel, PT Century, PT Cahaya Modern, PT Gebe Industri, PT Tsingshan (SMI), PT Guang Ching, PT Cahaya Modern, PT Heng Tai Yuan, PT Virtue Dragon, PT Indoferro, dan pemain lama, PT Vale Indonesia Tbk.
(akr)