Menteri Bambang Sebut Promosi Lewat Media Sosial Lebih Menarik
A
A
A
JAKARTA - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menyadari bahwa promosi masyarakat terhadap produk yang mereka jual, lebih menarik dilakukan di media sosial (mendsos). Hal ini seperti yang terjadi pada Facebook, Instagram dan lainnya yang marak pedagang online.
Dia juga mengakui, dengan menggunakan media sosial tersebut, maka perlahan toko konvensional menjadi tergerus dan tidak menarik di mata para penggemar medsos yang doyan berbelanja.
"Kalau Instragram itu foto, maka bagus sekali untuk promosi. Saya beli kue untuk Lebaran dan orang akhirnya beli di sana dan itu menjadi transaksi online," tuturnya di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (9/8/2017).
Namun, maraknya perdagangan online ternyata membawa polemik karena mereka tidak terdaftar secara resmi, dan tidak bisa dihitung income-nya berapa untuk dikenakan pajak atau sekadar didata.
"Mereka tetap informal karena dia bukan perusahaan, dia enggak punya (dot) com dan enggak tercatat di mana-mana, tapi dia jual beli dan itu cukup besar. Kalau kita pesan kue kering waktu Lebaran dari tetangga kita atau dari teman atau direkomendasi itu adalah transaksi informal tapi tidak online berdasarkan mulut ke mulut," tuturnya.
Memang, Bambang mengakui, sekarang ini metode promosi berdasarkan dari mulut ke mulut sudah digantikan sangat baik oleh online. Namun, mau tidak mau tetap masuk ke informal itu makin tidak terlacak dari segi formalitas, meski sebetulnya secara elektronik itu bisa terlacak.
Yakni paling tidak dari transaksi uangnnya, mengapa bisa tahu-tahu ada aliran uang, misalnya ketika dia membayar dengan kartu kredit atau ada cara lain dengan menggunakan go-pay (dari aplikasi gojek). Hal tersebut berarti ada pergerakan uang meskipun tidak tahu untuk membeli apa.
"Nah, di situlah tentunya kita harus benar-benar menyikapi. Mungkin ada penurunan daya beli, kita tidak bisa pungkiri kalau konsumsi turun," ujar dia.
Dia juga mengakui, dengan menggunakan media sosial tersebut, maka perlahan toko konvensional menjadi tergerus dan tidak menarik di mata para penggemar medsos yang doyan berbelanja.
"Kalau Instragram itu foto, maka bagus sekali untuk promosi. Saya beli kue untuk Lebaran dan orang akhirnya beli di sana dan itu menjadi transaksi online," tuturnya di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (9/8/2017).
Namun, maraknya perdagangan online ternyata membawa polemik karena mereka tidak terdaftar secara resmi, dan tidak bisa dihitung income-nya berapa untuk dikenakan pajak atau sekadar didata.
"Mereka tetap informal karena dia bukan perusahaan, dia enggak punya (dot) com dan enggak tercatat di mana-mana, tapi dia jual beli dan itu cukup besar. Kalau kita pesan kue kering waktu Lebaran dari tetangga kita atau dari teman atau direkomendasi itu adalah transaksi informal tapi tidak online berdasarkan mulut ke mulut," tuturnya.
Memang, Bambang mengakui, sekarang ini metode promosi berdasarkan dari mulut ke mulut sudah digantikan sangat baik oleh online. Namun, mau tidak mau tetap masuk ke informal itu makin tidak terlacak dari segi formalitas, meski sebetulnya secara elektronik itu bisa terlacak.
Yakni paling tidak dari transaksi uangnnya, mengapa bisa tahu-tahu ada aliran uang, misalnya ketika dia membayar dengan kartu kredit atau ada cara lain dengan menggunakan go-pay (dari aplikasi gojek). Hal tersebut berarti ada pergerakan uang meskipun tidak tahu untuk membeli apa.
"Nah, di situlah tentunya kita harus benar-benar menyikapi. Mungkin ada penurunan daya beli, kita tidak bisa pungkiri kalau konsumsi turun," ujar dia.
(izz)