PT DI Target Produksi 24 Unit Pesawat N219 Per Tahun
A
A
A
BANDUNG - PT Dirgantara Indonesia (DI) menargetkan memproduksi pesawat N219 sebanyak 24 unit per tahun mulai tahun 2022 mendatang. Angka produksi tersebut dinilai ekonomis untuk dijual dalam jumlah besar.
Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (Persero) Budi Santoso mengatakan, setelah melalui serangkaian uji terbang, diharapkan pesawat N219 bisa mulai berproduksi pada 2018. Sehingga pada 2019, PT DI diharapkan sudah bisa memproduksi sebanyak 6 unit per tahun. Dua tahun kemudian, kemampuan produksi PT DI akan ditingkatkan menjadi 12 sampai 24 unit per tahun.
“Target kami memproduksi 24 pesawat N219 per tahun. Setelah itu, baru ekonomis untuk produksi secara massal,” kata Budi Santoso usai meninjau uji terbang kedua N219 di Hangar PT DI, Kawasan Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/8/2017).
Menurut dia, untuk memproduksi pesawat berkapasitas 19 penumpang itu, PT DI tidak perlu melakukan penambahan investasi alat atau aset. Saat ini saja, lanjut dia, sebenarnya kemampuan produksi PT DI membuat N219 bisa mencapai 12 unit per tahun. Hal itu karena sistem produksi pembuat pesawat (zig) yang dibuat PT DI untuk proses pembuatan prototipe N219 otomatis bisa dipakai untuk produksi.
“Meskipun mesin zig dibuat untuk produksi prototipe, tetapi mampu untuk produksi. Ini beda ketika dulu kami memproduksi N250, zig untuk prototipe dan produksi berbeda. Jadi rate produksi kami tidak tinggi,” jelas dia.
Namun, untuk memproduksi hingga 24 unit pesawat per tahun, pihaknya perlu melakukan menambah kawasan final assembly. Namun, PT DI bisa memanfaatkan hangar-hangar kosong untuk produksi akhir dari N219. Dengan begitu, dia berharap tidak ada lagi cost dalam jumlah besar dalam produksi N219 ini. Karena, untuk proses desain, produksi purwarupa, hingga uji terbang N219, PT DI dan LAPAN menghabiskan dana hingga Rp1 triliun.
Pesawat N219 yang dilengkapi dua mesin baling-baling ini, dibuat PT DI dan LAPAN untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara di pulau terpencil. Sejumlah maskapai penerbangan nasional mengaku tertarik membeli pesawat yang merupakan pesaing dari Twin Otter itu. Namun, Budi enggan menyebut, maskapai mana yang berminat memborong N219.
“Memang banyak yang mau beli. Tapi belum sampai MoU atau kontrak. Karena kami harus yakin dulu, nanti pesawat ini jadinya seperti apa. Karena masih ada serangkaian uji coba yang harus dilalui. Beberapa ada yang menelpon, ingin jadi costumer pertama. Ada beberapa airline lah. Tapi yang kami perlukan untuk launching costumer yang mau membeli 50 unit,” beber dia.
Menurut Budi, dalam lima tahun pertama, N219 hanya akan dipasarkan di dalam negeri. Saat ini, pesawat sejenis yang melayani penerbangan rute pendek masih dilayani Twin Otter. Sementara kebutuhan kawasan Indonesia timur untuk pesawat N219 diperkirakan cukup besar. Pesawat ini memiliki kemampuan landing dan take off pada landasan 500 meter.
“Memang pesawat model seperti ini dibutuhkan di beberapa negara di kawasan Afrika. Tapi, untuk lima tahun pertama, kami produk untuk dalam negeri dulu,” imbuh dia.
Sementara itu, Direktur Produksi PT DI Arie Wibowo mengatakan, bila sudah diproduksi secara massal, cost produksi N219 akan semakin murah. Setidaknya tidak mencapai 50% dari harga jual N219 sekitar USD6 juta atau Rp83 miliar. Pesawat tersebut optimistis mampu diterima pasar, lantaran harganya yang lebih murah dari pesaingnya yang dibanderol sekitar USD7 juta.
“Bahkan beberapa maskapai sudah ada yang mau memesan 100 unit. Tapi, memang ada insentif yang ingin mereka dapatkan. Nah ini memang perlu kebijakan pemerintah. Karena itu menyangkut insentif pajak dan lainnya,” kata dia.
Ia menambahkan, ada beberapa usulan skema yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendorong N219 dibeli secara massal oleh maskapai. Pertama, diperlukan skema insentif pajak pembelian. Kedua, subsidi bunga, dan ketiga, subsidi franchise. “Saya kira tidak macam-macam keinginan maskapai. Masa beli pesawat dari luar negeri saja dapat keringan, ini produksi dalam negeri tidak?” imbuh dia.
Sementara itu, proses uji terbang yang dilakukan Kapten Esther Gayatri Saleh pada pukul 09.15 WIB kemarin, berjalan lancar. Pesawat kembali terbang selama 20 menit mengitari langit Bandung pada ketinggian 8.000 kaki. Pada uji terbang kedua, tim melakukan uji coba perangkat seperti radar dan stabilisasi kontrol pesawat. Sayangnya, empat menteri yang dijadwalkan hadir pada uji terbang kedua, batal hadir lantaran ada keperluan mendadak.
Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (Persero) Budi Santoso mengatakan, setelah melalui serangkaian uji terbang, diharapkan pesawat N219 bisa mulai berproduksi pada 2018. Sehingga pada 2019, PT DI diharapkan sudah bisa memproduksi sebanyak 6 unit per tahun. Dua tahun kemudian, kemampuan produksi PT DI akan ditingkatkan menjadi 12 sampai 24 unit per tahun.
“Target kami memproduksi 24 pesawat N219 per tahun. Setelah itu, baru ekonomis untuk produksi secara massal,” kata Budi Santoso usai meninjau uji terbang kedua N219 di Hangar PT DI, Kawasan Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/8/2017).
Menurut dia, untuk memproduksi pesawat berkapasitas 19 penumpang itu, PT DI tidak perlu melakukan penambahan investasi alat atau aset. Saat ini saja, lanjut dia, sebenarnya kemampuan produksi PT DI membuat N219 bisa mencapai 12 unit per tahun. Hal itu karena sistem produksi pembuat pesawat (zig) yang dibuat PT DI untuk proses pembuatan prototipe N219 otomatis bisa dipakai untuk produksi.
“Meskipun mesin zig dibuat untuk produksi prototipe, tetapi mampu untuk produksi. Ini beda ketika dulu kami memproduksi N250, zig untuk prototipe dan produksi berbeda. Jadi rate produksi kami tidak tinggi,” jelas dia.
Namun, untuk memproduksi hingga 24 unit pesawat per tahun, pihaknya perlu melakukan menambah kawasan final assembly. Namun, PT DI bisa memanfaatkan hangar-hangar kosong untuk produksi akhir dari N219. Dengan begitu, dia berharap tidak ada lagi cost dalam jumlah besar dalam produksi N219 ini. Karena, untuk proses desain, produksi purwarupa, hingga uji terbang N219, PT DI dan LAPAN menghabiskan dana hingga Rp1 triliun.
Pesawat N219 yang dilengkapi dua mesin baling-baling ini, dibuat PT DI dan LAPAN untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara di pulau terpencil. Sejumlah maskapai penerbangan nasional mengaku tertarik membeli pesawat yang merupakan pesaing dari Twin Otter itu. Namun, Budi enggan menyebut, maskapai mana yang berminat memborong N219.
“Memang banyak yang mau beli. Tapi belum sampai MoU atau kontrak. Karena kami harus yakin dulu, nanti pesawat ini jadinya seperti apa. Karena masih ada serangkaian uji coba yang harus dilalui. Beberapa ada yang menelpon, ingin jadi costumer pertama. Ada beberapa airline lah. Tapi yang kami perlukan untuk launching costumer yang mau membeli 50 unit,” beber dia.
Menurut Budi, dalam lima tahun pertama, N219 hanya akan dipasarkan di dalam negeri. Saat ini, pesawat sejenis yang melayani penerbangan rute pendek masih dilayani Twin Otter. Sementara kebutuhan kawasan Indonesia timur untuk pesawat N219 diperkirakan cukup besar. Pesawat ini memiliki kemampuan landing dan take off pada landasan 500 meter.
“Memang pesawat model seperti ini dibutuhkan di beberapa negara di kawasan Afrika. Tapi, untuk lima tahun pertama, kami produk untuk dalam negeri dulu,” imbuh dia.
Sementara itu, Direktur Produksi PT DI Arie Wibowo mengatakan, bila sudah diproduksi secara massal, cost produksi N219 akan semakin murah. Setidaknya tidak mencapai 50% dari harga jual N219 sekitar USD6 juta atau Rp83 miliar. Pesawat tersebut optimistis mampu diterima pasar, lantaran harganya yang lebih murah dari pesaingnya yang dibanderol sekitar USD7 juta.
“Bahkan beberapa maskapai sudah ada yang mau memesan 100 unit. Tapi, memang ada insentif yang ingin mereka dapatkan. Nah ini memang perlu kebijakan pemerintah. Karena itu menyangkut insentif pajak dan lainnya,” kata dia.
Ia menambahkan, ada beberapa usulan skema yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendorong N219 dibeli secara massal oleh maskapai. Pertama, diperlukan skema insentif pajak pembelian. Kedua, subsidi bunga, dan ketiga, subsidi franchise. “Saya kira tidak macam-macam keinginan maskapai. Masa beli pesawat dari luar negeri saja dapat keringan, ini produksi dalam negeri tidak?” imbuh dia.
Sementara itu, proses uji terbang yang dilakukan Kapten Esther Gayatri Saleh pada pukul 09.15 WIB kemarin, berjalan lancar. Pesawat kembali terbang selama 20 menit mengitari langit Bandung pada ketinggian 8.000 kaki. Pada uji terbang kedua, tim melakukan uji coba perangkat seperti radar dan stabilisasi kontrol pesawat. Sayangnya, empat menteri yang dijadwalkan hadir pada uji terbang kedua, batal hadir lantaran ada keperluan mendadak.
(akr)