Pajak Ketinggian, Penulis Novel Tere Liye Putus Kontrak Penerbit
A
A
A
JAKARTA - Penulis novel anyar Tere Liye memutuskan untuk menghentikan kontrak dengan dua penerbit buku, yakni PT Gramedia Pustaka Utama dan Republika per 31 Juli 2017. Hal ini lantaran beban pajak yang harus ditanggung terlalu tinggi.
Melalui akun Facebook pribadi miliknya, Tere Liye mengatakan bahwa 28 buku miliknya tidak akan dicetak ulang lagi, dan buku tersebut dibiarkan habis secara alamiah. Diperkirakan, per 31 Desember 2017, buku-buku tersebut tidak akan ada lagi di toko.
"Keputusan ini kami ambil mengingat tidak adilnya perlakuan pajak kepada profesi penulis. Dan tidak pedulinya pemerintahan sekarang menanggapi kasus ini," demikian kat penulis buku Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin ini seperti dikutip SINDOnews di Jakarta, Rabu (6/9/2017).
Menurutnya, penulis buku adalah orang yang paling dermawan di Tanah Air. Pasalnya, penulis membayar pajak lebih besar dibanding profesi lainnya. Bahkan, pajak seorang penulis lebih besar dari pajak profesi dokter, akuntan, artis terkenal, motivator, hingga arsitek.
"Karena penghasilan penulis buku disebut royalti, maka apa daya, menurut staf pajak penghasilan itu semua dianggap super netto. Tidak boleh dikurangkan dengan rasio NPPN, pun tidak ada tarif khususnya. Jadi, pajak penulis buku Rp1 miliar dikalikan layer tadi langsung. Rp50 juta pertama tarifnya 5%, Rp50 juta-Rp250 berikutnya tarif 15%, lantas Rp250 juta sampai Rp500 juta berikutnya tarifnya 25%, dan Rp500 juta sampai Rp1 miliar berikutnya tarifnya 30%. Maka total pajaknya sekitar Rp245 juta," terang dia.
Penulis novel Aku dan Sepucuk Angpao Merah ini menilai, pajak yang harus dibayarkan penulis itu 24 kali lebih besar dari pengusaha UMKM, dan dua kali lebih besar dibanding profesi pekerjaan bebas. Atas ketidakadilan itu, dia pun memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan karya-karyanya tersebut.
"Insya Allah buku-buku baru atau tulisan terbaru Tere Liye akan kami posting lewat media sksial page ini. Dan atau akses lainnya yang memungkinkan pembaca bisa menikmatinya tanpa harus berurusan dengan ketidakadilan pajak," ujarnya.
Melalui akun Facebook pribadi miliknya, Tere Liye mengatakan bahwa 28 buku miliknya tidak akan dicetak ulang lagi, dan buku tersebut dibiarkan habis secara alamiah. Diperkirakan, per 31 Desember 2017, buku-buku tersebut tidak akan ada lagi di toko.
"Keputusan ini kami ambil mengingat tidak adilnya perlakuan pajak kepada profesi penulis. Dan tidak pedulinya pemerintahan sekarang menanggapi kasus ini," demikian kat penulis buku Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin ini seperti dikutip SINDOnews di Jakarta, Rabu (6/9/2017).
Menurutnya, penulis buku adalah orang yang paling dermawan di Tanah Air. Pasalnya, penulis membayar pajak lebih besar dibanding profesi lainnya. Bahkan, pajak seorang penulis lebih besar dari pajak profesi dokter, akuntan, artis terkenal, motivator, hingga arsitek.
"Karena penghasilan penulis buku disebut royalti, maka apa daya, menurut staf pajak penghasilan itu semua dianggap super netto. Tidak boleh dikurangkan dengan rasio NPPN, pun tidak ada tarif khususnya. Jadi, pajak penulis buku Rp1 miliar dikalikan layer tadi langsung. Rp50 juta pertama tarifnya 5%, Rp50 juta-Rp250 berikutnya tarif 15%, lantas Rp250 juta sampai Rp500 juta berikutnya tarifnya 25%, dan Rp500 juta sampai Rp1 miliar berikutnya tarifnya 30%. Maka total pajaknya sekitar Rp245 juta," terang dia.
Penulis novel Aku dan Sepucuk Angpao Merah ini menilai, pajak yang harus dibayarkan penulis itu 24 kali lebih besar dari pengusaha UMKM, dan dua kali lebih besar dibanding profesi pekerjaan bebas. Atas ketidakadilan itu, dia pun memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan karya-karyanya tersebut.
"Insya Allah buku-buku baru atau tulisan terbaru Tere Liye akan kami posting lewat media sksial page ini. Dan atau akses lainnya yang memungkinkan pembaca bisa menikmatinya tanpa harus berurusan dengan ketidakadilan pajak," ujarnya.
(izz)