Investor Pasar Modal Cemas Soal Penetapan Tersangka Korporasi

Kamis, 07 September 2017 - 13:48 WIB
Investor Pasar Modal Cemas Soal Penetapan Tersangka Korporasi
Investor Pasar Modal Cemas Soal Penetapan Tersangka Korporasi
A A A
JAKARTA - Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) menilai bahwa penetapan tersangka korporasi dengan mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana menjadi ancaman dan risiko bagi pelaku pasar modal.

Apalagi, saat ini ada beberapa perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sedang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para pelaku pasar mengaku belum mengetahui secara jelas, korporasi seperti apa yang dapat dijadikan tersangka oleh KPK.

"Karena ini suatu yang baru dan kami belum disosialisasikan, definisi tersangka itu seperti apa, lalu yang mewakili di pengadilan itu siapa, hukumannya apa," ujar Direktur Eksekutif AEI Isaka Yoga dalam rilisnya, Jakarta, Kamis (7/9/2017).

Kecemasan di kalangan investor ini, lanjut dia, sangat menjadi perhatian AEI. Pihaknya berharap jangan sampai investor yang tidak mengetahui apa-apa dirugikan.

"KPK maupun dari lembaga pemerintah apa saja, harus bisa menjelaskan bagaimana korporasi bisa menjadi tersangka karena perusahaan itu benda mati, yang menjalankan itu orang. Apalagi kami perusahaan publik yang terdiri dari banyak investor," tuturnya.

Dia mengatakan, praktik yang terjadi di banyak negara, jika perusahaan melakukan pelanggaran maka hanya dikenakan denda. "Kalau di sini kami belum tahu sama sekali dan belum ada bayangan, karena belum ada sosialisasinya," kata dia.

Apalagi, sebagai perusahaan publik, pengawasannya sangat ketat, mulai dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun BEI. "Selama memenuhi ketentuan itu dan melakukan good corporate governance saya rasa aman mustinya," ujar Isaka.

Hal senada diungkapkan, pakar hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya, dalam menangani perusahaan-perusahaan yang sahamnya dimiliki publik, harus lebih hati-hati karena bisa merugikan banyak pihak.

Apalagi saat ini ada beberapan perusahaan yang melantai di BEI, direksinya tengah tersangkut kasus korporasi. "Untuk itu KPK harus hati-hati juga, jangan sampai ada kepentingan-kepentingan politik yang masuk dan mengambil keuntungan," katanya.

Menurutnya, jika benar terjadi tindak pidana, maka penegak hukum harus terlebih dulu mencari orang di dalam perusahaan itu yang melakukan tindak pidana korupsi. "Jika ada kerugian dan tidak bisa ditanggung, barulah masuk ke tingkat korporasinya. Jadi parameternya jelas," tegas Fickar.

Dia mencontohkan, kasus yang bisa menjadi yurisprudensi adalah kasus PT Giri Jaladhi Wana di Banjarmasin. Di mana Pemkot Banjarmasin kehilangan pendapatan dari hasil pengelolaan Pasar Sentra Antasari yang tidak disetorkan oleh PT Giri.

"Saat itu yang menjadi tersangka adalah direkturnya, namun karena tidak bisa membayar kerugian kepada negara setelah diputuskan bersalah, maka perusahaan itu asetnya disita dan dilelang untuk mengganti kerugian itu," katanya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6893 seconds (0.1#10.140)