Surat Peringatan ke Pekerja JICT Terus Menuai Kecaman
A
A
A
JAKARTA - Polemik pemberian Surat Peringatan 1 dan 2 kepada ratusan pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) yang melakukan mogok pada 3-7 Agustus, menimbulkan kecaman dari berbagai pihak.
Pasalnya, Direksi JICT memberikan ratusan surat peringatan dengan mendahului hukum atau hanya berdasarkan asumsi mogok tidak sah tanpa mengacu kepada keputusan pengadilan yang bersifat tetap.
Para pekerja pun melaporkan Direksi JICT atas dugaan tindak pidana ketenagakerjaan ke Bareskrim Polri pada 5 September 2017.
Praktisi hukum Alvon Kurnia Palma mengingatkan, pengusaha bisa dipidana karena menghalangi atau membalas tindakan mogok pekerja yang sah sampai pengadilan memutuskan sebaliknya.
"Surat Peringatan yang diberikan secara membabi buta itu merupakan bentuk ketidakmampuan manajemen swasta asing dalam mengelola para buruh yang sebenarnya sangat kooperatif dan dapat diandalkan," ujar dia dalam rilisnya, Jakarta, Senin (18/9/2017).
Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini menilai Surat Peringatan massal tersebut merupakan bentuk pembungkaman penyampaian pendapat yang dilakukan pekerja JICT. Apalagi, hal yang diingatkan berupa pelanggaran hukum terkait perpanjangan kontrak JICT kepada Hutchison yang merugikan negara minimal Rp4,08 triliun.
"Ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi oleh siapa saja termasuk manajemen perusahaan.
Sangat berlebihan bahkan over reacting dengan balasan ratusan SP 1 dan 2 kepada pekerja," tutur Alvon.
Pasalnya, Direksi JICT memberikan ratusan surat peringatan dengan mendahului hukum atau hanya berdasarkan asumsi mogok tidak sah tanpa mengacu kepada keputusan pengadilan yang bersifat tetap.
Para pekerja pun melaporkan Direksi JICT atas dugaan tindak pidana ketenagakerjaan ke Bareskrim Polri pada 5 September 2017.
Praktisi hukum Alvon Kurnia Palma mengingatkan, pengusaha bisa dipidana karena menghalangi atau membalas tindakan mogok pekerja yang sah sampai pengadilan memutuskan sebaliknya.
"Surat Peringatan yang diberikan secara membabi buta itu merupakan bentuk ketidakmampuan manajemen swasta asing dalam mengelola para buruh yang sebenarnya sangat kooperatif dan dapat diandalkan," ujar dia dalam rilisnya, Jakarta, Senin (18/9/2017).
Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini menilai Surat Peringatan massal tersebut merupakan bentuk pembungkaman penyampaian pendapat yang dilakukan pekerja JICT. Apalagi, hal yang diingatkan berupa pelanggaran hukum terkait perpanjangan kontrak JICT kepada Hutchison yang merugikan negara minimal Rp4,08 triliun.
"Ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi oleh siapa saja termasuk manajemen perusahaan.
Sangat berlebihan bahkan over reacting dengan balasan ratusan SP 1 dan 2 kepada pekerja," tutur Alvon.
(izz)