Jean-Claude Biver, Selalu Berpikir seperti Anak Muda
A
A
A
JEAN-CLAUDE Biver dijuluki sebagai sang legenda industri jam Swiss. Tak ada yang bisa menyangkal hal itu.
Dia sangat paham tentang tradisi, teknologi, dan guncangan dalam industri jam berkelas mewah di dunia. Pengalaman di berbagai industri jam membuat Biver semakin matang. Dia pernah bekerja di Audemars Piguet, Blancpain, dan Omega. Kemudian, namanya juga memopulerkan Hublot sebagai perusahaan jam yang berkelas. Kini, dia juga masih memimpin TAG Heuer sejak Desember 2014. Dengan bekal pendidikan sebagai seorang ekonom, Biver menganggap jam adalah gairah hidupnya semenjak kecil.
(Baca juga: TAG Heuer, Menggabungkan Elemen Tradisi dan Masa Depan )
Dia menganggap jam sebagai mainan yang menyenangkan. Ternyata, jam menjadi dunianya yang digelutinya. Kini, di usianya 60-an tahun, dia sudah memiliki energi karismatik di dalam pembuatan jam mewah. “Kita membangun mesin untuk jam tangan,” ujar pria kelahiran Luksemburg itu. Sebagai seorang legenda, Biver tentu memiliki pola bekerja yang unik. Seperti apa? “Saya bekerja seperti sapi jantan,” ujarnya, dilansir Watch Advisor.
Dia berkeliling dunia untuk mempromosikan dan mengendalikan bisnis nya. Selain itu, Biver juga selalu berpikir seperti anak muda, meski usianya sudah mencapai 68 tahun.
Dia memiliki lima anak, paling tua berusia 38 tahun dan paling muda 16 tahun. Dia mengaku senang berbicara dengan anak muda karena saya selalu dikejutkan dengan banyak hal oleh generasi muda. “Saya tidak mengetahui brand yang dibelinya, jenis musik yang disukainya, dan tato yang dimilikinya,” ucapnya. Karena itulah, Biver mengungkapkan tak pernah memahami generasi baru.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Pekerjaannya lebih sering mengurusi pelanggan tua. Tak mengherankan jika Biver juga merekrut anak muda untuk bekerja di TAG Heuer. Mereka berusia 14 hingga 18 tahun. “Saya bertanya kepada anak muda itu tentang Gigi dan Bella Hadid? Bagaimana pendapatmu tentang Lady Gaga?” ujarnya.
Dia memberikan produk jam dan mereka akan memberikan rekomendasi. “Saya mendengarkan pendapat anak muda. Saya menghargai masa depan,” tuturnya. Di usianya yang senja, Biver menganggap dirinya bukan orang tua. “Saya selalu mengatakan kalau menjadi tua itu ketika kamu berhenti belajar. Ketika kamu berhenti untuk ingin tahu, ketika kamu mulai berpikir tentang segala sesuatu yang kamu ketahui. Saat itulah kamu tua, kemudian kamu seharusnya pensiun,” ujarnya.
Dia mengungkapkan dirinya masih memiliki rasa keinginan tahuan yang mendalam dan luas. Biver mengakui dirinya masih haus dan lapar untuk terus belajar.
Biver memang lahir di Luksemburg. Namun, dia tumbuh besar di Swiss sejak usia 10 tahun karena keluarganya bermigrasi. Dia pernah kuliah di College des Morges dan meraih gelar sarjana bisnis di Universitas Lausanne. Setelah lulus, dia menghabiskan waktu di Vallée de Joux untuk menyerap budaya pembuatan jam. Di sana, dia bertemu Jacques Piguet yang menjalankan pabrik jam. Kemudian dia bertemu Georges Golay, Chairman dan CEO Audemars Piguet (AP).
Biver ditawari pekerjaan sebagai manajer penjualan untuk Eropa. Di sana, dia belajar tentang seni pembuatan jam. Kemudian, dia menjadi manajer produk di Omega. Berbagai prestasi di industri jam, Biver diberi gelar Doctor Honoris Causa dari Business School Lausanne pada 2012 atas kontribusinya dalam industri jam Swiss.
Selain dikenal sebagai master dalam dunia jam, Biver juga dikenal ahli dalam urusan keju. Setiap tahun, Biver memproduksi sedikitnya lima ton keju di peternakannya di Pegunungan Alpen Swiss. Dia memproduksi keju hanya beberapa pekan setiap musim panas saat bunga padang rumput bermekaran. Biver pun mengklaim keju produksinya memiliki rasa bunga dan susu.
Karena kejunya yang eksklusif, Biver menolak menjual keju tersebut. Dia hanya memberikan keju tersebut kepada teman dan keluarga. Tapi, dia membagikan keju itu ke restoran yang dipilihnya dan menolak untuk dibayar. “Saya memegang penuh distribusi keju tersebut,” tuturnya, dilansir The Economist.
Dia sangat paham tentang tradisi, teknologi, dan guncangan dalam industri jam berkelas mewah di dunia. Pengalaman di berbagai industri jam membuat Biver semakin matang. Dia pernah bekerja di Audemars Piguet, Blancpain, dan Omega. Kemudian, namanya juga memopulerkan Hublot sebagai perusahaan jam yang berkelas. Kini, dia juga masih memimpin TAG Heuer sejak Desember 2014. Dengan bekal pendidikan sebagai seorang ekonom, Biver menganggap jam adalah gairah hidupnya semenjak kecil.
(Baca juga: TAG Heuer, Menggabungkan Elemen Tradisi dan Masa Depan )
Dia menganggap jam sebagai mainan yang menyenangkan. Ternyata, jam menjadi dunianya yang digelutinya. Kini, di usianya 60-an tahun, dia sudah memiliki energi karismatik di dalam pembuatan jam mewah. “Kita membangun mesin untuk jam tangan,” ujar pria kelahiran Luksemburg itu. Sebagai seorang legenda, Biver tentu memiliki pola bekerja yang unik. Seperti apa? “Saya bekerja seperti sapi jantan,” ujarnya, dilansir Watch Advisor.
Dia berkeliling dunia untuk mempromosikan dan mengendalikan bisnis nya. Selain itu, Biver juga selalu berpikir seperti anak muda, meski usianya sudah mencapai 68 tahun.
Dia memiliki lima anak, paling tua berusia 38 tahun dan paling muda 16 tahun. Dia mengaku senang berbicara dengan anak muda karena saya selalu dikejutkan dengan banyak hal oleh generasi muda. “Saya tidak mengetahui brand yang dibelinya, jenis musik yang disukainya, dan tato yang dimilikinya,” ucapnya. Karena itulah, Biver mengungkapkan tak pernah memahami generasi baru.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Pekerjaannya lebih sering mengurusi pelanggan tua. Tak mengherankan jika Biver juga merekrut anak muda untuk bekerja di TAG Heuer. Mereka berusia 14 hingga 18 tahun. “Saya bertanya kepada anak muda itu tentang Gigi dan Bella Hadid? Bagaimana pendapatmu tentang Lady Gaga?” ujarnya.
Dia memberikan produk jam dan mereka akan memberikan rekomendasi. “Saya mendengarkan pendapat anak muda. Saya menghargai masa depan,” tuturnya. Di usianya yang senja, Biver menganggap dirinya bukan orang tua. “Saya selalu mengatakan kalau menjadi tua itu ketika kamu berhenti belajar. Ketika kamu berhenti untuk ingin tahu, ketika kamu mulai berpikir tentang segala sesuatu yang kamu ketahui. Saat itulah kamu tua, kemudian kamu seharusnya pensiun,” ujarnya.
Dia mengungkapkan dirinya masih memiliki rasa keinginan tahuan yang mendalam dan luas. Biver mengakui dirinya masih haus dan lapar untuk terus belajar.
Biver memang lahir di Luksemburg. Namun, dia tumbuh besar di Swiss sejak usia 10 tahun karena keluarganya bermigrasi. Dia pernah kuliah di College des Morges dan meraih gelar sarjana bisnis di Universitas Lausanne. Setelah lulus, dia menghabiskan waktu di Vallée de Joux untuk menyerap budaya pembuatan jam. Di sana, dia bertemu Jacques Piguet yang menjalankan pabrik jam. Kemudian dia bertemu Georges Golay, Chairman dan CEO Audemars Piguet (AP).
Biver ditawari pekerjaan sebagai manajer penjualan untuk Eropa. Di sana, dia belajar tentang seni pembuatan jam. Kemudian, dia menjadi manajer produk di Omega. Berbagai prestasi di industri jam, Biver diberi gelar Doctor Honoris Causa dari Business School Lausanne pada 2012 atas kontribusinya dalam industri jam Swiss.
Selain dikenal sebagai master dalam dunia jam, Biver juga dikenal ahli dalam urusan keju. Setiap tahun, Biver memproduksi sedikitnya lima ton keju di peternakannya di Pegunungan Alpen Swiss. Dia memproduksi keju hanya beberapa pekan setiap musim panas saat bunga padang rumput bermekaran. Biver pun mengklaim keju produksinya memiliki rasa bunga dan susu.
Karena kejunya yang eksklusif, Biver menolak menjual keju tersebut. Dia hanya memberikan keju tersebut kepada teman dan keluarga. Tapi, dia membagikan keju itu ke restoran yang dipilihnya dan menolak untuk dibayar. “Saya memegang penuh distribusi keju tersebut,” tuturnya, dilansir The Economist.
(amm)