New Marketing = Eksperimen Tiada Henti
A
A
A
Marketing adalah segmentation, targeting, positioning (STP). Ada juga yang mengatakan marketing adalah product, price, place, promotion (4P). Itu dulu. Sekarang tidak lagi. Untuk meluncurkan produk, seorang marketer harus terlebih dahulu melakukan market research selama minimal tiga bulan, ditambah mengolah ide dan mengembankan produk, hingga merancang marketing plan, dengan total jenderal enam bulan sampai setahun, bahkan lebih.
Itu dulu. Kini tidak. Saat ”digital vampire” menakutkan bernama disrupsi menghantui setiap perusahaan, maka tools dan konsep-konsep marketing di atas perlu direvisi. Ketika perubahan berlangsung supercepat mengikuti deret ukur dan marketer dihadapkan pada kondisi extreme uncertainties, maka prinsip-prinsip dasar marketing perlu diredefinisi sesuai perkembangan zaman kekinian.
Proses marketing yang dulunya bisa di-planning mengikuti alur yang baku, manageable, dan terukur, kini tak bisa dilakukan lagi. Ketika gerak pasar kian chaotic dan unpredictable, maka perencanaan dan forecasting pasar menjadi kian sulit dilakukan.
Sukses produk di pasar pun kini menjadi sebuah keacakan (randomness), tak diketahui arah dan juntrungannya. Dalam kondisi seperti itu, maka tak terelakkan lagi proses marketing harus disikapi sebagai sebuah proses ”trial and error”. Marketing adalah proses ”coba-coba”. Saya menamakannya: marketing sebagai sebuah ”eksperimen tiada henti”.
Dibalik
Seperti saya katakan di depan, dulu untuk meluncurkan sebuah produk seorang marketer harus merencanakan dan mempersiapkannya selama berbulan- bulan bahkan bertahun- tahun. Tujuannya, agar pada saat diluncurkan produk sudah betul-betul sempurna dan dengan begitu bisa dipastikan produk akan mencapai kesuksesan di pasar.
Namun, di tengah lingkungan yang disruptif, kepastian sukses di pasar itu menjadi sebuah kemewahan yang kini tidak kita dapatkan lagi. Ingat, kini sukses pasar adalah sebuah keacakan. Karena itu, alih-alih merencanakannya secara sempurna dan berlangsung bertahun-tahun, kini prosesnya dibalik.
Kuncinya adalah kecepatan. Produknya tak perlu sempurna betul (sering disebut: ”minimum viable product” atau MVP, yaitu produk dengan fitur yang minimum), yang penting cepat meluncur di pasar dan ”berinteraksi” dengan konsumen riil di pasar.
Dengan secepat mungkin meluncurkan MVP di pasar, marketer akan cepat mendapatkan feedback dan ”konfirmasi” dari konsumen mengenai apa yang betul- betul mereka butuhkan. Dengan begitu, marketingbisa diartikan juga sebagai ”pengetesan” value proposition produk secara terusmenerus ke konsumen riil di pasar.
Bagaimana kalau konsumen tidak menerima MVP tersebut? Ya, terpaksa prosesnya diulang terus-menerus secara iteratif (belasan, puluhan, bahkan ratusan kali) sampai akhirnya konsumen mau menerimanya. Jadi,customer feedback itulah yang dijadikan dasar untuk memperbaiki MVP secara terusmenerus.
Celakanya, dengan konsumen yang semakin demanding, kebutuhan dan harapan mereka layaknya moving target yang berubah terus-menerus. Akibat itu, eksperimen juga harus dilakukan tiada henti.
Marketer harus melakukan continuous engagements dengan konsumen sehingga tahu perubahan needs/wants mereka dan kemudian melakukan adjustment terhadap produk. Singkatnya, continuous experimentation menjadi senjata ampuh bagi setiap marketer untuk bisa lolos dari lubang jarum disrupsi.
Product is Beta
Ketika marketer menyikapi marketing sebagai ”eksperimen tiada henti”, dengan sendirinya ia menempatkan produk selalu dalam ”versi beta”. Artinya, ia harus punya mindset bahwa produk yang telah diluncurkan di pasar tak akan pernah sempurna.
Karena tak pernah sempurna, continuous improvement menjadi sebuah disiplin yang menjadi penentu kesuksesan marketerdi pasar. Setiap marketer harus punya manifesto: ”Produk kami masih jauh dari sempurna... dan karena itu kami akan terus berjuang habis-habisan untuk memperbaikinya.” Dengan kata lain, ”every marketer must always in beta mode”.
Dengan menyikapi setiap produk yang diluncurkannya sebagai ”versi beta”, setiap marketer harus terus belajar mengikuti perubahan needs/wants konsumen dan kemudian mengambil pelajaran tersebut untuk memperbaiki produk secara terus-menerus.
Itu artinya ia harus terus berada dalam posisi ”learning mode”. ”Every marketer must always in learning mode.” Dengan argumentasi di atas, menjadi jelas bahwa kini marketer punya tiga senjata rahasia untuk menghadapi ganasnya disrupsi digital, yaitu continuous experimentation. Continuous improvement. Continuous learning.
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com
Itu dulu. Kini tidak. Saat ”digital vampire” menakutkan bernama disrupsi menghantui setiap perusahaan, maka tools dan konsep-konsep marketing di atas perlu direvisi. Ketika perubahan berlangsung supercepat mengikuti deret ukur dan marketer dihadapkan pada kondisi extreme uncertainties, maka prinsip-prinsip dasar marketing perlu diredefinisi sesuai perkembangan zaman kekinian.
Proses marketing yang dulunya bisa di-planning mengikuti alur yang baku, manageable, dan terukur, kini tak bisa dilakukan lagi. Ketika gerak pasar kian chaotic dan unpredictable, maka perencanaan dan forecasting pasar menjadi kian sulit dilakukan.
Sukses produk di pasar pun kini menjadi sebuah keacakan (randomness), tak diketahui arah dan juntrungannya. Dalam kondisi seperti itu, maka tak terelakkan lagi proses marketing harus disikapi sebagai sebuah proses ”trial and error”. Marketing adalah proses ”coba-coba”. Saya menamakannya: marketing sebagai sebuah ”eksperimen tiada henti”.
Dibalik
Seperti saya katakan di depan, dulu untuk meluncurkan sebuah produk seorang marketer harus merencanakan dan mempersiapkannya selama berbulan- bulan bahkan bertahun- tahun. Tujuannya, agar pada saat diluncurkan produk sudah betul-betul sempurna dan dengan begitu bisa dipastikan produk akan mencapai kesuksesan di pasar.
Namun, di tengah lingkungan yang disruptif, kepastian sukses di pasar itu menjadi sebuah kemewahan yang kini tidak kita dapatkan lagi. Ingat, kini sukses pasar adalah sebuah keacakan. Karena itu, alih-alih merencanakannya secara sempurna dan berlangsung bertahun-tahun, kini prosesnya dibalik.
Kuncinya adalah kecepatan. Produknya tak perlu sempurna betul (sering disebut: ”minimum viable product” atau MVP, yaitu produk dengan fitur yang minimum), yang penting cepat meluncur di pasar dan ”berinteraksi” dengan konsumen riil di pasar.
Dengan secepat mungkin meluncurkan MVP di pasar, marketer akan cepat mendapatkan feedback dan ”konfirmasi” dari konsumen mengenai apa yang betul- betul mereka butuhkan. Dengan begitu, marketingbisa diartikan juga sebagai ”pengetesan” value proposition produk secara terusmenerus ke konsumen riil di pasar.
Bagaimana kalau konsumen tidak menerima MVP tersebut? Ya, terpaksa prosesnya diulang terus-menerus secara iteratif (belasan, puluhan, bahkan ratusan kali) sampai akhirnya konsumen mau menerimanya. Jadi,customer feedback itulah yang dijadikan dasar untuk memperbaiki MVP secara terusmenerus.
Celakanya, dengan konsumen yang semakin demanding, kebutuhan dan harapan mereka layaknya moving target yang berubah terus-menerus. Akibat itu, eksperimen juga harus dilakukan tiada henti.
Marketer harus melakukan continuous engagements dengan konsumen sehingga tahu perubahan needs/wants mereka dan kemudian melakukan adjustment terhadap produk. Singkatnya, continuous experimentation menjadi senjata ampuh bagi setiap marketer untuk bisa lolos dari lubang jarum disrupsi.
Product is Beta
Ketika marketer menyikapi marketing sebagai ”eksperimen tiada henti”, dengan sendirinya ia menempatkan produk selalu dalam ”versi beta”. Artinya, ia harus punya mindset bahwa produk yang telah diluncurkan di pasar tak akan pernah sempurna.
Karena tak pernah sempurna, continuous improvement menjadi sebuah disiplin yang menjadi penentu kesuksesan marketerdi pasar. Setiap marketer harus punya manifesto: ”Produk kami masih jauh dari sempurna... dan karena itu kami akan terus berjuang habis-habisan untuk memperbaikinya.” Dengan kata lain, ”every marketer must always in beta mode”.
Dengan menyikapi setiap produk yang diluncurkannya sebagai ”versi beta”, setiap marketer harus terus belajar mengikuti perubahan needs/wants konsumen dan kemudian mengambil pelajaran tersebut untuk memperbaiki produk secara terus-menerus.
Itu artinya ia harus terus berada dalam posisi ”learning mode”. ”Every marketer must always in learning mode.” Dengan argumentasi di atas, menjadi jelas bahwa kini marketer punya tiga senjata rahasia untuk menghadapi ganasnya disrupsi digital, yaitu continuous experimentation. Continuous improvement. Continuous learning.
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com
(akr)