Skema Harga Tetap untuk Energi Baru Terbarukan Perlu Diatur
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR Kordinator Bidang Industri dan Pembangunan Agus Hermanto mengatakan, perlu ada kejelasan regulasi terkait skema fix-priced atau harga jual tetap pengembangan panas bumi di Indonesia. Sebab, harga energi panas bumi di setiap daerah cukup variatif dan memiliki tingkatan yang berbeda.
"Kita ketahui bahwa UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi sudah ada, namun ada satu turunannya, yaitu Peraturan Menteri tentang fix-priced itu belum ada. Ini yang akan kita dorong, supaya Kementerian ESDM dapat memberikan fix-priced bagi seluruh investor, agar mereka dapat melakukan perencanaan yang pasti terhadap pengembangan panas bumi di Indonesia," papar Agus dalam keterangan pers, Selasa (17/10/2017).
Hal itu dikemukakan pula oleh Agus kepada investor dalam kunjungan muhibah DPR ke Hitay Energy Holding di Turki, baru-baru ini. Sebagaimana diketahui, Hitay Energy Holding adalah salah satu kontraktor yang berinvestasi di sektor panas bumi Indonesia. Menurut Agus, beberapa proyek sedang digarap namun masih terkendala soal penentuan harga sehingga dibutuhkan skema fix-priced. Dengan begitu, kata dia, investor akan memperoleh harga pasti dari pembelian energi panas bumi tersebut.
"Kita harus betul-betul merespons ini agar pengembangan panas bumi kita bisa maju pesat. Kita juga menginginkan pada tahun 2023, kita sudah bisa menyerap 7.500 MW. Ini merupakan target yang harus kita capai," tegasnya.
Selain itu, ia menambahkan, meskipun Turki belum memproduksi energi dalam jumlah banyak, tetapi negara itu mempunyai kemampuan teknologi untuk pengembangan panas bumi. Selain itu, suhu panas bumi di Turki hampir sama dengan panas bumi di Indonesia, sehingga tidak ada salahnya jika pemerintah menggunakan kontraktor dari Turki.
"Yang terpenting adalah perusahaan-perusahaan yang ingin memajukan gheotermal harus kita respons. Dari mana saja, dari dalam negeri kita oke, BUMN kita juga oke, tetapi fix price-nya harus diatur dulu," tuturnya.
"Kita ketahui bahwa UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi sudah ada, namun ada satu turunannya, yaitu Peraturan Menteri tentang fix-priced itu belum ada. Ini yang akan kita dorong, supaya Kementerian ESDM dapat memberikan fix-priced bagi seluruh investor, agar mereka dapat melakukan perencanaan yang pasti terhadap pengembangan panas bumi di Indonesia," papar Agus dalam keterangan pers, Selasa (17/10/2017).
Hal itu dikemukakan pula oleh Agus kepada investor dalam kunjungan muhibah DPR ke Hitay Energy Holding di Turki, baru-baru ini. Sebagaimana diketahui, Hitay Energy Holding adalah salah satu kontraktor yang berinvestasi di sektor panas bumi Indonesia. Menurut Agus, beberapa proyek sedang digarap namun masih terkendala soal penentuan harga sehingga dibutuhkan skema fix-priced. Dengan begitu, kata dia, investor akan memperoleh harga pasti dari pembelian energi panas bumi tersebut.
"Kita harus betul-betul merespons ini agar pengembangan panas bumi kita bisa maju pesat. Kita juga menginginkan pada tahun 2023, kita sudah bisa menyerap 7.500 MW. Ini merupakan target yang harus kita capai," tegasnya.
Selain itu, ia menambahkan, meskipun Turki belum memproduksi energi dalam jumlah banyak, tetapi negara itu mempunyai kemampuan teknologi untuk pengembangan panas bumi. Selain itu, suhu panas bumi di Turki hampir sama dengan panas bumi di Indonesia, sehingga tidak ada salahnya jika pemerintah menggunakan kontraktor dari Turki.
"Yang terpenting adalah perusahaan-perusahaan yang ingin memajukan gheotermal harus kita respons. Dari mana saja, dari dalam negeri kita oke, BUMN kita juga oke, tetapi fix price-nya harus diatur dulu," tuturnya.
(fjo)