Komunitas Kretek Keberatan Rencana Kenaikan Cukai Rokok

Senin, 23 Oktober 2017 - 15:08 WIB
Komunitas Kretek Keberatan Rencana Kenaikan Cukai Rokok
Komunitas Kretek Keberatan Rencana Kenaikan Cukai Rokok
A A A
JAKARTA - Pemerintah akan menaikkan tarif cukai ‎hasil tembakau rata-rata sebesar 10,04% pada 2018. Penyesuaian ini sudah disampaikan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas (ratas) di Istana Merdeka, pada 19 Oktober 2017.

Menyikapi hal tersebut, Komunitas Kretek menilai kebijakan tersebut sangat kontra-produktif, mengingat besaran kenaikan tarif cukai rokok sebesar 10% sangat tinggi.

Sebelumnya, Industri Hasil Tembakau (IHT) dan konsumen terus-menerus dibebani dengan kenaikan cukai yang terlalu tinggi seperti yang terjadi 2016 yang mencapai 11,19% dan 10,5% pada 2017. Belum lagi beban pajak sudah mencapai 60% harga rokok (termasuk pajak rokok dan PPN Hasil Tembakau).

"Melihat dampak nyata dari pemerintah menaikkan tarif cukai rokok yang eksesif, seperti banyaknya unit usaha IHT yang bertumbangan, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tinggi, hingga penerimaan negara dari sektor cukai tidak tercapai. Maka, empat aspek yang menjadi alasan pemerintah dalam menaikkan tarif cukai rokok terdengar tidak masuk akal," kata Ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo di Jakarta, Senin (23/10/2017).

Aspek kesehatan misalnya, dalih kesehatan sering menjadi kedok untuk mendorong pemerintah dalam kebijakan cukai. Alih-alih pendapatan negara akan bertambah jika skema kenaikan tarif cukai dilaksanakan, justru tidak pernah ada gambaran riil berapa pendapatan negara yang akan bertambah dan berapa potensi kehilangannya.

Seharusnya, jika negara betul-betul mau memperhatikan kesehatan masyarakat, pemerintah perlu memastikan ketersediaan ruang merokok di tempat umum agar orang yang tidak merokok tak lagi terganggu.

"Selama ini persoalan kesehatan kerap dijadikan alasan, tapi ruang merokok yang menjadi solusi agar tak ada orang yang terpapar asap rokok tidak pernah secara serius disediakan," protes Aditia.

Aspek kedua persoalan rokok ilegal. Hal ini dengan menaikkan tarif cukai rokok asumsi bahwa angka peredaran rokok ilegal dapat ditekan. Kata Aditia, yang terjadi justru sebaliknya.

Kenaikan cukai selalu diiringi dengan bertambahnya angka peredaran rokok ilegal. Data 2015 ketika cukai kembali naik dengan rata-rata sebesar 8,72%, penindakan rokok ilegal oleh Bea Cukai terdapat 1.232 kasus atau naik 1,5 kali lipat dibanding 2014.

Sementara, data 2016 cukai rokok kembali naik sebesar 11,19%, penindakan rokok ilegal kembali meningkat, terdapat penindakan rokok ilegal sebanyak 1.597 kali. Kenaikan cukai rokok yang kelewat tinggi selalu berbanding lurus dengan meningkatnya penjualan rokok ilegal.

"Tahu karena apa? Itu semua karena harga rokok menjadi mahal dan konsumen tak sanggup beli yang berpita cukai. Akhirnya, konsumen memilih mengonsumsi rokok ilegal yang katanya merugikan negara itu. Tapi mau bagaimana lagi, negara memang tidak pernah memperhatikan nasib konsumen," tuturnya.

Menurutnya, ketika terjadi kenaikan cukai seberapapun tingginya, tidak akan mengurangi jumlah perokok secara signifikan. Fakta bahwa masyarakat kita kreatif, kalau tidak mampu beli yang mahal cari yang murah. Kalau tidak, mereka bisa meminta rokok dari temannya yang mampu beli.

"Jadi, omong kosong semua anggapan jika cukai tinggi jumlah perokok turun. Yang ada hanya daya beli turun, dan mereka mencari alternatif untuk konsumsi rokok," ujar dia.

Aspek ketiga kenaikan cukai rokok diperuntukkan melindungi petani dan buruh di sektor IHT. Menurutnya, pernyataan tersebut sangat konyol mengingat justru kebijakan menaikan cukai rokok berdampak kepada pengurangan ketenagakerjaan di sektor hasil tembakau.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4773 seconds (0.1#10.140)