Welcome Leisure Economy
A
A
A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com
DALAM tiga bulan terakhir muncul diskusi menarik mengenai fenomena turunnya daya beli konsumen kita yang ditandai dengan sepinya Roxi, Glodok, atau mal-mal 'jadul' yang kian tak diminati masyarakat.
Anggapan ini langsung dibantah oleh ekonom karena dalam lima tahun terakhir pertumbuhan riil konsumsi masyarakat robust di angka sekitar 5%. Kalau dilihat angkanya tahun ini, pertumbuhan ekonomi sampai triwulan III/2017 masih cukup baik, sebesar 5,01%.
Perlu diingat bahwa konsumsi masyarakat (rumah tangga) masih menjadi kontributor utama PDB kita, yaitu 54%. Sebagian pakar mengatakan, sepinya gerai ritel konvensional tersebut disebabkan beralihnya konsumen ke gerai ritel online seperti Tokopedia atau Bukalapak.
"Gerai-gerai tradisional di Roxi atau Glodok telah terimbas gelombang disrupsi digital," begitu kata pakar. Kesimpulan ini pun misleading karena penjualan e-commerce hanya menyumbang 1,2% dari total GDP kita, dan hanya sekitar 0,8% (2016) dari total penjualan ritel nasional.
Memang pertumbuhannya sangat tinggi (eksponensial), tapi magnitude-nya belum cukup signifikan untuk bisa membuat gonjang-ganjing industri ritel kita. Kalau konsumen tak lagi banyak belanja di gerai ritel konvensional dan masih sedikit yang belanja di gerai online, maka pertanyaannya, duitnya dibelanjakan ke mana?
The Consumers
Pada 2010 untuk pertama kalinya pendapatan per kapita masyarakat Indonesia melewati angka USD3.000 per tahun. Oleh banyak negara termasuk China, angka ini 'keramat' karena dianggap sebagai ambang batas (treshold) sebuah negara naik kelas dari negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah (middle-income country).
Ketika melewati angka tersebut, sebagian besar masyarakatnya adalah konsumen kelas menengah (middle-class consumers) dengan pengeluaran berkisar antara USD2-USD10 per hari. Di Indonesia, saat ini konsumen dengan rentang pengeluaran sebesar itu jumlahnya telah mencapai lebih dari 60% total penduduk.
Salah satu ciri konsumen kelas menengah ini adalah bergesernya pola konsumsi mereka dari yang awalnya didominasi oleh makanan-minuman (basic needs) menjadi hiburan dan leisure.
Ketika semakin kaya (dan berpendidikan) pola konsumsi mereka juga mulai bergeser dari goods-based consumption (konsumsi barang tahan lama, seperti gadget, baju-sepatu, mobil, dan appliances) menjadi experience-based consumption (konsumsi pengalaman).
Experience-based consumption ini antara lain liburan, menginap di hotel, makan dan nongkrong di kafe/resto, nonton film/konser musik, karaoke, nge-gym, wellness, dan lain-lain. Pergeseran inilah yang mungkin bisa menjelaskan kenapa Roxi atau Glodok sepi, karena konsumen kita mulai tak banyak membeli gadget atau pakaian.
Mereka mulai memprioritaskan menabung untuk tujuan liburan di tengah atau akhir tahun. Hal ini juga yang menjelaskan kenapa mal yang berkonsep lifestyle dan kuliner (kafe/resto), seperti Gandaria City, Grand Indonesia, atau Kota Kasablanka tetap ramai, sementara yang hanya menjual beragam produk (elektronik, pakaian, atau peralatan rumah tangga) semakin sepi ditinggalkan pengunjung.
The Shifting
Nah, rupanya pola konsumsi masyarakat Indonesia bergeser sangat cepat menuju ke arah experience- based consumption. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan pengeluaran rumah tangga yang terkait dengan "konsumsi pengalaman" ini meningkat pesat.
Pergeseran pola konsumsi dari non-leisure ke leisure ini mulai terlihat nyata sejak 2015 (Faisal Basri, 2017). Prof Ari Kuncoro dari UI mengidentifikasi pergeseran ini dengan mengungkapkan datadata menarik. Bahwa untuk tahun ini, pertumbuhan belanja makanan/minuman cenderung tetap sekitar 5%.
Konsumsi peranti rumah tangga, termasuk sepatu dan pakaian, turun cukup signifikan. Pembelian perlengkapan rumah tangga (tahan lama) sedikit menurun. Sementara konsumsi hotel dan restoran yang experience-based justru semakin meningkat.
Indikator makro tersebut semakin meyakinkan bahwa kita melihat berbagai fenomena lapangan yang menarik berikut ini. Bandara di seluruh Tanah Air ramai luar biasa melebihi terminal bus. Hotel budget di Bali, Yogya, atau Bandung full booked tak hanya pada Sabtu-Minggu, tapi juga hari biasa.
Tiket kereta api selalu soldout. Jalan tol antarkota macet luar biasa pada 'hari kejepit nasional'. Destinasi-destinasi wisata baru bermunculan (contoh di Bantul dan Gunung Kidul) dan makin ramai saja dikunjungi wisatawan.
Sektor pariwisata kini ditetapkan oleh pemerintah sebagai core economy Indonesia karena kontribusinya yang sangat signifikan bagi perekonomian nasional.
Saat ini sektor pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar setelah kelapa sawit dan diproyeksikan 2-3 tahun lagi akan menjadi penyumbang devisa nomor satu. Ini merupakan yang pertama dalam sejarah perekonomian Indonesia, di mana pariwisata menjadi tulang punggung ekonomi bangsa.
Tak hanya itu, kafe dan resto berkonsep experiential menjamur, baik di first cities maupun second cities. Kedai kopi third wave kini sedang happening. Warung modern ala 'Kids Jaman Now' seperti Warunk Upnormal sukses luar biasa dan agresif membuka cabang.
Pusat kecantikan dan wellness bermunculan bak jamur pada musim hujan. Konser musik, bioskop, karaoke, hingga pijat refleksi tak pernah sepi pengunjung. Semuanya menjadi pertanda pentingnya leisure sebagai lokomotif perekonomian Indonesia.
Kembali ke pertanyaan di depan, 'Kalau konsumen tak lagi banyak belanja gadget di Roxi atau membeli baju dan sepatu di mal, lalu uangnya dibelanjakan ke mana?' Nah, sekarang Anda pasti bisa menjawabnya. 'Welcome to the leisure economy'.
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com
DALAM tiga bulan terakhir muncul diskusi menarik mengenai fenomena turunnya daya beli konsumen kita yang ditandai dengan sepinya Roxi, Glodok, atau mal-mal 'jadul' yang kian tak diminati masyarakat.
Anggapan ini langsung dibantah oleh ekonom karena dalam lima tahun terakhir pertumbuhan riil konsumsi masyarakat robust di angka sekitar 5%. Kalau dilihat angkanya tahun ini, pertumbuhan ekonomi sampai triwulan III/2017 masih cukup baik, sebesar 5,01%.
Perlu diingat bahwa konsumsi masyarakat (rumah tangga) masih menjadi kontributor utama PDB kita, yaitu 54%. Sebagian pakar mengatakan, sepinya gerai ritel konvensional tersebut disebabkan beralihnya konsumen ke gerai ritel online seperti Tokopedia atau Bukalapak.
"Gerai-gerai tradisional di Roxi atau Glodok telah terimbas gelombang disrupsi digital," begitu kata pakar. Kesimpulan ini pun misleading karena penjualan e-commerce hanya menyumbang 1,2% dari total GDP kita, dan hanya sekitar 0,8% (2016) dari total penjualan ritel nasional.
Memang pertumbuhannya sangat tinggi (eksponensial), tapi magnitude-nya belum cukup signifikan untuk bisa membuat gonjang-ganjing industri ritel kita. Kalau konsumen tak lagi banyak belanja di gerai ritel konvensional dan masih sedikit yang belanja di gerai online, maka pertanyaannya, duitnya dibelanjakan ke mana?
The Consumers
Pada 2010 untuk pertama kalinya pendapatan per kapita masyarakat Indonesia melewati angka USD3.000 per tahun. Oleh banyak negara termasuk China, angka ini 'keramat' karena dianggap sebagai ambang batas (treshold) sebuah negara naik kelas dari negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah (middle-income country).
Ketika melewati angka tersebut, sebagian besar masyarakatnya adalah konsumen kelas menengah (middle-class consumers) dengan pengeluaran berkisar antara USD2-USD10 per hari. Di Indonesia, saat ini konsumen dengan rentang pengeluaran sebesar itu jumlahnya telah mencapai lebih dari 60% total penduduk.
Salah satu ciri konsumen kelas menengah ini adalah bergesernya pola konsumsi mereka dari yang awalnya didominasi oleh makanan-minuman (basic needs) menjadi hiburan dan leisure.
Ketika semakin kaya (dan berpendidikan) pola konsumsi mereka juga mulai bergeser dari goods-based consumption (konsumsi barang tahan lama, seperti gadget, baju-sepatu, mobil, dan appliances) menjadi experience-based consumption (konsumsi pengalaman).
Experience-based consumption ini antara lain liburan, menginap di hotel, makan dan nongkrong di kafe/resto, nonton film/konser musik, karaoke, nge-gym, wellness, dan lain-lain. Pergeseran inilah yang mungkin bisa menjelaskan kenapa Roxi atau Glodok sepi, karena konsumen kita mulai tak banyak membeli gadget atau pakaian.
Mereka mulai memprioritaskan menabung untuk tujuan liburan di tengah atau akhir tahun. Hal ini juga yang menjelaskan kenapa mal yang berkonsep lifestyle dan kuliner (kafe/resto), seperti Gandaria City, Grand Indonesia, atau Kota Kasablanka tetap ramai, sementara yang hanya menjual beragam produk (elektronik, pakaian, atau peralatan rumah tangga) semakin sepi ditinggalkan pengunjung.
The Shifting
Nah, rupanya pola konsumsi masyarakat Indonesia bergeser sangat cepat menuju ke arah experience- based consumption. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan pengeluaran rumah tangga yang terkait dengan "konsumsi pengalaman" ini meningkat pesat.
Pergeseran pola konsumsi dari non-leisure ke leisure ini mulai terlihat nyata sejak 2015 (Faisal Basri, 2017). Prof Ari Kuncoro dari UI mengidentifikasi pergeseran ini dengan mengungkapkan datadata menarik. Bahwa untuk tahun ini, pertumbuhan belanja makanan/minuman cenderung tetap sekitar 5%.
Konsumsi peranti rumah tangga, termasuk sepatu dan pakaian, turun cukup signifikan. Pembelian perlengkapan rumah tangga (tahan lama) sedikit menurun. Sementara konsumsi hotel dan restoran yang experience-based justru semakin meningkat.
Indikator makro tersebut semakin meyakinkan bahwa kita melihat berbagai fenomena lapangan yang menarik berikut ini. Bandara di seluruh Tanah Air ramai luar biasa melebihi terminal bus. Hotel budget di Bali, Yogya, atau Bandung full booked tak hanya pada Sabtu-Minggu, tapi juga hari biasa.
Tiket kereta api selalu soldout. Jalan tol antarkota macet luar biasa pada 'hari kejepit nasional'. Destinasi-destinasi wisata baru bermunculan (contoh di Bantul dan Gunung Kidul) dan makin ramai saja dikunjungi wisatawan.
Sektor pariwisata kini ditetapkan oleh pemerintah sebagai core economy Indonesia karena kontribusinya yang sangat signifikan bagi perekonomian nasional.
Saat ini sektor pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar setelah kelapa sawit dan diproyeksikan 2-3 tahun lagi akan menjadi penyumbang devisa nomor satu. Ini merupakan yang pertama dalam sejarah perekonomian Indonesia, di mana pariwisata menjadi tulang punggung ekonomi bangsa.
Tak hanya itu, kafe dan resto berkonsep experiential menjamur, baik di first cities maupun second cities. Kedai kopi third wave kini sedang happening. Warung modern ala 'Kids Jaman Now' seperti Warunk Upnormal sukses luar biasa dan agresif membuka cabang.
Pusat kecantikan dan wellness bermunculan bak jamur pada musim hujan. Konser musik, bioskop, karaoke, hingga pijat refleksi tak pernah sepi pengunjung. Semuanya menjadi pertanda pentingnya leisure sebagai lokomotif perekonomian Indonesia.
Kembali ke pertanyaan di depan, 'Kalau konsumen tak lagi banyak belanja gadget di Roxi atau membeli baju dan sepatu di mal, lalu uangnya dibelanjakan ke mana?' Nah, sekarang Anda pasti bisa menjawabnya. 'Welcome to the leisure economy'.
(izz)