BPS Sepakat Upah Minimum Provinsi Naik 8,71%
A
A
A
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) menilai bahwa besaran kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2018 sebesar 8,71% sudah pas dan sesuai dengan formula yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Formula penghitungan UMP dalam beleid tersebut dihitung berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, kenaikan 8,71% merupakan besaran minimum yang diatur pemerintah pusat. Nantinya, pemerintah daerah bisa memodifikasi kembali asalkan tidak di bawah 8,71%.
"Soal wajar tidak wajar, itu tidak otomatis. Setiap provinsi bisa melakukan modifikasi kan. Tapi minimum segitu. Jadi ada jaminan. Saya pikir ini sebuah jaminan. Ini memang bisa diperdebatkan cukup atau tidak cukup. Kalau dari buruh pasti tidak akan cukup, dari pengusaha mungkin memberatkan," katanya di Gedung BPS, Jakarta, Rabu (1/11/2017).
Sementara terkait komponen hidup layak (KHL) yang tidak dimasukkan dalam formula perhitungan UMP, pria yang akrab disapa Keuk ini menilai bahwa dalam aturan tersebut memang berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun dipastikan, kenaikan UMP tersebut sudash memperhitungkan kenaikan harga.
"Inflasi itu kan mencerminkan kenaikan harga. Kalau inflasinya tinggi, berarti kenaikan gaji akan habis. Karena kalau dihitung berdasarkan inflasi, artinya kenaikan harga-harga sudah dikompensasi dengan kenaikan UMP. Saya pikir formula itu cukup ideal," imbuh dia.
Menurutnya, proses penghitungan akan lebih sulit jika komponen hidup layak (KHL) dimasukkan dalam formula penghitungan UMP. Sebab, KHL harus disurvei berdasarkan setiap daerah.
"Kalau hitung KHL itu kan harus survei di setiap daerah, berat sekali. Dan untuk menghitung KHL tergantung juga pada basket komoditasnya, harga yang disepakati seperti apa. Basket komoditasnya yang dimasukan apa saja. Cukup tidak cukup tergantung masing-masing pihak," tandasnya.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, kenaikan 8,71% merupakan besaran minimum yang diatur pemerintah pusat. Nantinya, pemerintah daerah bisa memodifikasi kembali asalkan tidak di bawah 8,71%.
"Soal wajar tidak wajar, itu tidak otomatis. Setiap provinsi bisa melakukan modifikasi kan. Tapi minimum segitu. Jadi ada jaminan. Saya pikir ini sebuah jaminan. Ini memang bisa diperdebatkan cukup atau tidak cukup. Kalau dari buruh pasti tidak akan cukup, dari pengusaha mungkin memberatkan," katanya di Gedung BPS, Jakarta, Rabu (1/11/2017).
Sementara terkait komponen hidup layak (KHL) yang tidak dimasukkan dalam formula perhitungan UMP, pria yang akrab disapa Keuk ini menilai bahwa dalam aturan tersebut memang berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun dipastikan, kenaikan UMP tersebut sudash memperhitungkan kenaikan harga.
"Inflasi itu kan mencerminkan kenaikan harga. Kalau inflasinya tinggi, berarti kenaikan gaji akan habis. Karena kalau dihitung berdasarkan inflasi, artinya kenaikan harga-harga sudah dikompensasi dengan kenaikan UMP. Saya pikir formula itu cukup ideal," imbuh dia.
Menurutnya, proses penghitungan akan lebih sulit jika komponen hidup layak (KHL) dimasukkan dalam formula penghitungan UMP. Sebab, KHL harus disurvei berdasarkan setiap daerah.
"Kalau hitung KHL itu kan harus survei di setiap daerah, berat sekali. Dan untuk menghitung KHL tergantung juga pada basket komoditasnya, harga yang disepakati seperti apa. Basket komoditasnya yang dimasukan apa saja. Cukup tidak cukup tergantung masing-masing pihak," tandasnya.
(akr)