Kemudahan Berusaha Naik tapi Kontribusi PMA Indonesia Masih Rendah

Selasa, 07 November 2017 - 14:30 WIB
Kemudahan Berusaha Naik...
Kemudahan Berusaha Naik tapi Kontribusi PMA Indonesia Masih Rendah
A A A
Bank Dunia menilai kontribusi penanaman modal asing (PMA atau Foreign Direct Investment/FDI) di Indonesia masih rendah meski dalam Doing Business 2018 yang dirilis Bank Dunia peringkat kemudahan berusaha Indonesia naik.

Pimpinan Bank Dunia untuk Country Program on Equitable Growth, Youngmei Zhou mengatakan, Indonesia masih belum optimal dalam memberikan pelayanan investasi. Mengacu pada indeks daya saing FDI yang disusun Organisation dor Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia masih berada di posisi rendah.

"Tentu Presiden Joko Widodo menginginkan peringkat Indonesia naik lebih tinggi. Karena China hanya menempati peringkat 78 dalam EODB," ungkap dia dalam diskusi Indonesia’s Ease of Doing Business Improvement: Continuous Reform for Better Investment Climate yang digelar di Kantor BKPM, Jakarta, Senin (6/11/2017).

Bank Dunia sendiri, katanya, mengidentifikasi sejumlah faktor yang membuat rendahnya PMA di Indonesia, yakni pembatasan kepemilikan asing di beberapa tempat, penyaringan (screening) investor yang diskriminatif, pembatasan pembelian tanah, hingga pembatasan modal dan laba.

"Pemerintah Indonesia harus memperbaiki ini," katanya. Di tempat sama, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong mengungkapkan, pemerintah akan terus meningkatkan kualitas kemudahan berusaha di dalam negeri dalam menggenjot investasi.

Sejumlah langkah dilakukan dengan memperbaiki indikator yang memiliki peringkat di atas 100. Indikator-indikator dengan nilai peringkat di atas 100 tersebut di antaranya starting business (144), dealing with contruction permits (108), registering property (106), paying taxes (114), trading across borders (112), serta enforcing contracts.

"Perbaikan-perbaikan indikator itu sangat penting bagi keberlanjutan perbaikan peringkat EODB Indonesia. Contohnya untuk trading across borders yang mana ini bukan hanya menjadi tugas kementerian perdagangan saja, tapi merupakan tugas bersama. Paling penting adalah memperbaiki prosesnya," kata dia.

EODB, kata Thomas Lembong, merupakan barometer yang dilihat dunia mencermati potensi bisnis di sejumlah negara. Namun, EODB juga bukan segala-galanya. "Banyak sekali aspek-aspek regulasi perizinan, iklim usaha yang perlu kita benahi," ungkapnya.

Salah satu yang mendapatkan perhatian adalah sinkronisasi regulasi antara pusat dan daerah. Pemerintah, ungkap Thomas, juga telah melakukan koordinasi berkaitan dengan regulasi, yakni dengan memberikan masa transisi sebelum regulasi tersebut terbit, termasuk mengatasi persoalan tumpang tindih aturan di pusat dan daerah.

Selain persoalan regulasi, masalah pelayanan perpajakan juga menjadi fokus pemerintah. "Yang dikeluhkan pengusaha bukan soal besar kecilnya pajak, tapi susah gampangnya membayar pajak. Untuk klaim balik restitusi saja setengah mati. Kemudian kepastian mengenai regulasi yang tidak abu-abu atau tegas dalam regulasi itu penting menjadi isu," ujar Thomas.

Thomas menambahkan, saat ini Indonesia telah melangkah jauh mengalahkan China dan jauh di depan India. Dia berharap peringkat EODB semakin baik. "Kita sudah mengalahkan China dan jauh di depan India, misalnya. Tapi, kami menyadari pekerjaan rumah kita masih banyak, baik di dalam EODB maupun di luar EODB," katanya.

Ketua Umum Kamar dagang dan Industri (KADIN) Rosan P Roeslani mengungkapkan optimismenya pemerintah bakal terus memperbaiki kemudahan berusaha di dalam negeri. Salah satu masalah utama yang dihadapi terkait kemudahan berusaha adalah belum sinkronnya regulasi yang ada di pusat maupun daerah.

Padahal daerah merupakan kantong-kantong investasi yang diharapkan mendorong kontribusi terhadap nasional. "Dimulai dengan menyingkronkan semua aturan, terutama aturan-aturan yang ada di daerah. Sebab bagaimana pun daerah adalah kantong investasi," ujarnya.

Dalam laporan tahunan Doing Business 2018 yang dirilis Bank Dunia, peringkat kemudahan berusaha Indonesia tahun 2018 secara keseluruhan naik 19 peringkat menja di posisi 72 dari 190 negara yang disurvei. Laporan tersebut menginvestigasi regulasi-regulasi di suatu negara yang meningkatkan aktivitas bisnis maupun membatasi.

Data dalam laporan Doing Business 2018 berlaku mulai 1 Juni 2017. Pada EODB 2017, posisi Indonesia juga meningkat 15 peringkat dari 106 tahun 2016 menjadi 91. Pada tahun tersebut, Indonesia masuk dalam 10 negara Top Reformers. Itu berarti, dalam dua tahun terakhir posisi Indonesia telah naik 34 peringkat.

Sebelum 2017, peringkat EODB Indonesia berada di kisaran 116-129. Dalam EODB 2018, peringkat Indonesia dibanding negara-negara ASEAN berada di urutan enam setelah Singapura yang memperoleh peringkat 2, Malaysia (24), Thailand (26), Brunei Darussalam (56), dan Vietnam (68).
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0708 seconds (0.1#10.140)