Cultureless Organization
A
A
A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com
SEARCHING di medsos, beberapa bulan terakhir saya makin sering mendapati konsumen yang mengeluhkan layanan taksi online.
Keluhannya macam-macam, mulai dari sopir yang tak hafal rute jalan sehingga harus terus-menerus tanya ke penumpang, mobil yang tidak standar, sopir yang pilih-pilih dan seenaknya membatalkan order, kondisi dalam mobil yang jorok, tertangkap polisi karena larangan ganjil-genap, sopir yang tidak ramah, hingga yang paling parah yaitu percobaan perkosaan.
Karena semakin banyaknya kasus kegagalan layanan oleh taksi online, kini mulai banyak konsumen yang kembali ke taksi konvensional khususnya Blue Bird. Dan kini mulai terjadi segregasi positioning antara dua pemain ini.
Taksi konvensional seperti Blue Bird atau Express makin kuat memiliki positioning seperti "sopirnya hafal jalan", "mobilnya standar dan bersih" atau "tak pernah membatalkan order". Sementara taksi online kuat dipersepsikan sebagai taksi yang "pilih-pilih penumpang", "merepotkan penumpang karena kebingungan memilih jalan" atau "sering tertangkap di jalur ganjil-genap".
Kalau mau diurut, sumber dari seluruh kegagalan layanan taksi online tersebut ujung-ujungnya akan mengerucut ke satu faktor yaitu sopir. Ya, karena untuk sebuah jasa seperti taksi, memang orang (sopir) merupakan faktor yang amat krusial. Jika bicara orang, faktor penentu kesuksesan organisasi terletak pada budaya kerjanya (corporate culture ).
Culture is (Still) the Key
Saat taksi online sedang euforia sekitar 2-3 tahun lalu, kita semua terkesima oleh keajaiban teknologi digital bernama platform berbagi (sharing platform). Teknologi yang identik dengan jargon "disruptive" ini diyakini akan merevolusi layanan taksi di Tanah Air.
Plaftform ini juga diyakini akan menjadi "malaikat pencabut nyawa" bagi perusahaan tradisional yang ogah berubah. Segudang keunggulan platform ini menjadi buzzword yang begitu masif menghiasi media. Mulai dari harga yang super murah, cara pemesanan yang super convenient cukup dengan beberapa pencetan jari, atau sopir yang piawai karena dibekali teknologi GPS yang super canggih.
Buzzword ini bekerja sangat efektif sehingga migrasi massal konsumen terjadi dari taksi konvensional ke taksi online. Dan ramalan pun bermunculan, layanan taksi konvensional akan bangkrut dalam tiga tahun ke depan karena ditinggalkan konsumen.
Kala itu saya terheran-heran, bagaimana bisa corporate culture yang begitu kokoh dimiliki para sopir Blue Bird dan dibangun puluhan tahun bisa begitu mudah ditumbangkan oleh sebuah keajaiban teknologi. Dalam diskursus teori manajemen, teknologi (secanggih apa pun itu) memiliki peran periferal (baca: pinggiran) karena fungsinya hanyalah sebagai "enabler".
Faktor kesuksesan sesungguhnya sebuah organisasi terletak pada orang dan budaya kerjanya. Ribuan studi selama puluhan tahun telah mengonfirmasi hal ini, mulai dari Schein (1980-an), Kotter (1992), hingga Collins-Porras (1994). GE dengan Jack Welch sebagai legendary CEO-nya dianggap sebagai ikon kesuksesan perusahaan karena kekuatan budaya korporasinya yaitu GE Values.
Lalu, apakah dengan munculnya kecanggihan teknologi seperti sharing platform, budaya perusahaan kini tidak mempan lagi sebagai elemen inti kesuksesan organisasi? Inilah yang saya ragukan.
Cultureless
Sharing platform seperti yang dimiliki Grab, Gojek atau AirBnB menciptakan sebuah entitas organisasi baru yang saya sebut cultureless organization. Organisasi tanpa budaya kerja. Sebenarnya istilah ini kurang tepat karena setiap organisasi pasti punya budaya perusahaan, seburuk apa pun budaya tersebut.
Istilah itu saya pilih untuk menunjukkan betapa sulitnya pembentukan budaya perusahaan dilakukan melalui sebuah platform teknologi yang menempatkan karyawan sebagai "alat produksi", bukan sebagai "manusia seutuhnya".
Perusahaan seperti Uber atau Grab memiliki keunggulan tak tertandingi dibanding taksi konvensional karena asset-light, overhead-nya bisa dipangkas serendah mungkin. Ya, karena mereka tak perlu memiliki sopir atau kendaraan. Itu sebabnya mereka bisa memangkas harga semurah mungkin yang membuat taksi konvensional tak mampu bersaing lagi.
Namun, platform tersebut memiliki kelemahan mendasar karena tak mampu membentuk budaya perusahaan kokoh seperti halnya perusahaan konvensional. Kenapa? Karena esensinya membangun budaya perusahaan membutuhkan "human interaction" yang menempatkan karyawan sebagai manusia seutuhnya.
Bukan semata "technology interaction" yang menempatkan karyawan sebagai "robot" dan economic animal. Membangun budaya membutuhkan interaksi personal antarkaryawan, pendekatan emosional, pengakuan dan penghargaan terhadap kontribusi mereka, sikap saling pengertian, spirit kebersamaan dan sense of family, sikap saling percaya, serta sentuhan hati dan cinta.
Budaya organisasi dibangun dengan pendekatan "heart" (emosional), bukan sebatas "head" (rasional): bukan semata bermotif uang (economic), tapi nilai-nilai luhur (values). Di dalam organisasi yang memiliki strong culture, karyawan membentuk sebuah "keluarga besar" di mana antarmereka tercipta nilai-nilai bersama (shared values) dan perilaku sama (common behavior) yang menyatukan mereka.
Shared values dan common behavior inilah yang menjadi fondasi kesuksesan organisasi. Nah, inilah sesungguhnya yang membedakan taksi konvensional seperti Blue Bird dengan taksi online. Blue Bird memiliki shared values dan common behavior kokoh yang dibangun selama puluhan tahun, sedangkan taksi online tidak.
Kenapa? Karena para sopir taksi online bekerja sendiri-sendiri tanpa ikatan sebagai sebuah "keluarga besar". Antarkaryawan tak ada sense of family, tak ada koneksi personal, tak ada kebersamaan, tak ada trust dan saling pengertian, dan tak ada cinta di antara mereka seperti halnya perusahaan konvensional.
Para sopir itu layaknya "free rider" yang bekerja dengan satu motif, uang. Mereka tak memiliki shared values dan common behavior. Mereka cultureless. Ketika bicara organisasi, saya masih percaya 1000% bahwa manusia adalah faktor kunci kesuksesan. "Technology isn’t everything, people are".
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com
SEARCHING di medsos, beberapa bulan terakhir saya makin sering mendapati konsumen yang mengeluhkan layanan taksi online.
Keluhannya macam-macam, mulai dari sopir yang tak hafal rute jalan sehingga harus terus-menerus tanya ke penumpang, mobil yang tidak standar, sopir yang pilih-pilih dan seenaknya membatalkan order, kondisi dalam mobil yang jorok, tertangkap polisi karena larangan ganjil-genap, sopir yang tidak ramah, hingga yang paling parah yaitu percobaan perkosaan.
Karena semakin banyaknya kasus kegagalan layanan oleh taksi online, kini mulai banyak konsumen yang kembali ke taksi konvensional khususnya Blue Bird. Dan kini mulai terjadi segregasi positioning antara dua pemain ini.
Taksi konvensional seperti Blue Bird atau Express makin kuat memiliki positioning seperti "sopirnya hafal jalan", "mobilnya standar dan bersih" atau "tak pernah membatalkan order". Sementara taksi online kuat dipersepsikan sebagai taksi yang "pilih-pilih penumpang", "merepotkan penumpang karena kebingungan memilih jalan" atau "sering tertangkap di jalur ganjil-genap".
Kalau mau diurut, sumber dari seluruh kegagalan layanan taksi online tersebut ujung-ujungnya akan mengerucut ke satu faktor yaitu sopir. Ya, karena untuk sebuah jasa seperti taksi, memang orang (sopir) merupakan faktor yang amat krusial. Jika bicara orang, faktor penentu kesuksesan organisasi terletak pada budaya kerjanya (corporate culture ).
Culture is (Still) the Key
Saat taksi online sedang euforia sekitar 2-3 tahun lalu, kita semua terkesima oleh keajaiban teknologi digital bernama platform berbagi (sharing platform). Teknologi yang identik dengan jargon "disruptive" ini diyakini akan merevolusi layanan taksi di Tanah Air.
Plaftform ini juga diyakini akan menjadi "malaikat pencabut nyawa" bagi perusahaan tradisional yang ogah berubah. Segudang keunggulan platform ini menjadi buzzword yang begitu masif menghiasi media. Mulai dari harga yang super murah, cara pemesanan yang super convenient cukup dengan beberapa pencetan jari, atau sopir yang piawai karena dibekali teknologi GPS yang super canggih.
Buzzword ini bekerja sangat efektif sehingga migrasi massal konsumen terjadi dari taksi konvensional ke taksi online. Dan ramalan pun bermunculan, layanan taksi konvensional akan bangkrut dalam tiga tahun ke depan karena ditinggalkan konsumen.
Kala itu saya terheran-heran, bagaimana bisa corporate culture yang begitu kokoh dimiliki para sopir Blue Bird dan dibangun puluhan tahun bisa begitu mudah ditumbangkan oleh sebuah keajaiban teknologi. Dalam diskursus teori manajemen, teknologi (secanggih apa pun itu) memiliki peran periferal (baca: pinggiran) karena fungsinya hanyalah sebagai "enabler".
Faktor kesuksesan sesungguhnya sebuah organisasi terletak pada orang dan budaya kerjanya. Ribuan studi selama puluhan tahun telah mengonfirmasi hal ini, mulai dari Schein (1980-an), Kotter (1992), hingga Collins-Porras (1994). GE dengan Jack Welch sebagai legendary CEO-nya dianggap sebagai ikon kesuksesan perusahaan karena kekuatan budaya korporasinya yaitu GE Values.
Lalu, apakah dengan munculnya kecanggihan teknologi seperti sharing platform, budaya perusahaan kini tidak mempan lagi sebagai elemen inti kesuksesan organisasi? Inilah yang saya ragukan.
Cultureless
Sharing platform seperti yang dimiliki Grab, Gojek atau AirBnB menciptakan sebuah entitas organisasi baru yang saya sebut cultureless organization. Organisasi tanpa budaya kerja. Sebenarnya istilah ini kurang tepat karena setiap organisasi pasti punya budaya perusahaan, seburuk apa pun budaya tersebut.
Istilah itu saya pilih untuk menunjukkan betapa sulitnya pembentukan budaya perusahaan dilakukan melalui sebuah platform teknologi yang menempatkan karyawan sebagai "alat produksi", bukan sebagai "manusia seutuhnya".
Perusahaan seperti Uber atau Grab memiliki keunggulan tak tertandingi dibanding taksi konvensional karena asset-light, overhead-nya bisa dipangkas serendah mungkin. Ya, karena mereka tak perlu memiliki sopir atau kendaraan. Itu sebabnya mereka bisa memangkas harga semurah mungkin yang membuat taksi konvensional tak mampu bersaing lagi.
Namun, platform tersebut memiliki kelemahan mendasar karena tak mampu membentuk budaya perusahaan kokoh seperti halnya perusahaan konvensional. Kenapa? Karena esensinya membangun budaya perusahaan membutuhkan "human interaction" yang menempatkan karyawan sebagai manusia seutuhnya.
Bukan semata "technology interaction" yang menempatkan karyawan sebagai "robot" dan economic animal. Membangun budaya membutuhkan interaksi personal antarkaryawan, pendekatan emosional, pengakuan dan penghargaan terhadap kontribusi mereka, sikap saling pengertian, spirit kebersamaan dan sense of family, sikap saling percaya, serta sentuhan hati dan cinta.
Budaya organisasi dibangun dengan pendekatan "heart" (emosional), bukan sebatas "head" (rasional): bukan semata bermotif uang (economic), tapi nilai-nilai luhur (values). Di dalam organisasi yang memiliki strong culture, karyawan membentuk sebuah "keluarga besar" di mana antarmereka tercipta nilai-nilai bersama (shared values) dan perilaku sama (common behavior) yang menyatukan mereka.
Shared values dan common behavior inilah yang menjadi fondasi kesuksesan organisasi. Nah, inilah sesungguhnya yang membedakan taksi konvensional seperti Blue Bird dengan taksi online. Blue Bird memiliki shared values dan common behavior kokoh yang dibangun selama puluhan tahun, sedangkan taksi online tidak.
Kenapa? Karena para sopir taksi online bekerja sendiri-sendiri tanpa ikatan sebagai sebuah "keluarga besar". Antarkaryawan tak ada sense of family, tak ada koneksi personal, tak ada kebersamaan, tak ada trust dan saling pengertian, dan tak ada cinta di antara mereka seperti halnya perusahaan konvensional.
Para sopir itu layaknya "free rider" yang bekerja dengan satu motif, uang. Mereka tak memiliki shared values dan common behavior. Mereka cultureless. Ketika bicara organisasi, saya masih percaya 1000% bahwa manusia adalah faktor kunci kesuksesan. "Technology isn’t everything, people are".
(izz)