Perusahaan AS Tertarik Rencana Arab Saudi Bangun Reaktor Nuklir
A
A
A
RIYADH - Perusahaan Amerika Serikat tertarik dengan rencana Arab Saudi untuk membangun reaktor nuklir, demi membantu kerajaan tersebut mengembangkan energi atom. Melansir dari Reuters, Jumat (1/12/2017), sumber industri AS membisikan bahwa Saudi menyambut baik lobi perusahaan AS untuk mendorong Washington memulai kembali perundingan dengan Riyadh.
Rencana nuklir Arab Saudi merupakan bagian dari rencana reformasi yang dipimpin Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman untuk mengurangi ketergantungan ekonomi pada minyak. Namun, rencana membangun reaktor nuklir untuk Saudi, disinyalir sebagai upaya mengimbangi saingan regional di Timur Tengah, yaitu Iran yang sebelumnya sudah mengembangkan reaktor dan energi nuklir.
Sumber tersebut mengatakan Riyadh telah berbicara kepada Washington agar pihaknya tidak kehilangan kemungkinan untuk memperkaya uranium. Hal ini juga dikaitkan dengan penggunaan nuklir untuk militer. "Mereka ingin melakukan pengayaan uranium sesuai dengan standar pakta kerja sama nuklir AS," kata si sumber.
Pembicaraan soal reaktor nuklir ini selaras dengan rencana Menteri Energi AS, Rick Perry yang akan mengadakan kunjungan di Riyadh pada awal pekan depan. Bocoran sumber industri AS lainnya menyebut Saudi dan Amerika telah mengadakan pembicaraan awal mengenai pakta kerja sama nuklir.
Namun pejabat AS dan pejabat Saudi yang bertanggung jawab atas masalah energi nuklir menolak berkomentar soal kabar ini. Sang sumber juga tidak mengidentifikasi perusahaan AS yang terlibat dalam lobi.
Berdasarkan Pasal 123 dari Undang-undang Energi Atom Amerika Serikat, sebuah perjanjian kerja sama untuk transfer bahan nuklir, teknologi, dan peralatan hanya untuk kepentingan damai. Sebelumnya, AS telah menolak rencana Saudi untuk memperkaya uranium.
Arab Saudi yang merupakan produsen minyak nomor satu di dunia, mengatakan ingin menggunakan tenaga nuklir untuk penggunaan damai. Jadi, energi nuklir untuk menghasilkan listrik ke rumah tangga, sedangkan minyak mentah untuk diekspor ke luar negeri.
Hashim bin Abdullah Yamani, kepala badan pemerintah Saudi yang bertugas dalam rencana nuklir tersebut, mengatakan bahwa negaranya ingin memanfaatkan sumber uraniumnya sendiri untuk "swasembada dalam memproduksi bahan bakar nuklir" dan hal ini layak secara ekonomi.
Sejak Oktober kemarin, Riyadh sudah mengirim permintaan ke AS soal pengembangan reaktor nuklir dan akan membuka tender multi miliar dolar AS untuk dua reaktor tenaga nuklir. Saudi bahkan berencana untuk memberikan kontrak konstruksi pertama pada tahun 2018.
Reuters melaporkan Washington sedang dalam pembicaraan dengan perusahaan AS dalam membentuk konsorsium untuk penawaran dari Saudi. Riyadh ingin menginstal hingga 17,6 gigawatt (GW) kapasitas atomik hingga tahun 2032 atau setara dengan 17 reaktor. Dan ini adalah prospek yang menjanjikan bagi industri nuklir AS yang mendapat saingan dari Rusia, Prancis, dan China. Apalagi terjadi penurunan dalam industri nuklir AS yang membuat perusahaan Amerika kesengsem membuat bisnis di luar negeri.
Terkait penggunaan nuklir untuk damai yang dikatakan Saudi, beberapa meragukannya. Pasalnya, reaktor nuklir hanya membutuhkan pengayaan uranium dengan kemurnian sekitar 5%, dimana teknologi ini bisa memperkaya logam berat ke tingkat senjata kelas lebih tinggi. Dan sejatinya, proses ini sudah menjadi perhatian Barat soal pengadaan dan pengayaan uranium oleh Iran.
Dan pada 2015, Pangeran Arab Saudi Turki al-Faisal, yang ketika itu menjadi kepala intelijen sempat mengatakan Riyadh menginginkan untuk memperkaya uranium jika Teheran memilikinya.
Persaingan politis antara Arab Saudi dan Iran di Timur Tengah telah menimbulkan masalah potensial bagi Amerika Serikat, dimana kerja sama nuklir dengan negara lain hanya untuk damai bukan untuk produksi pengembangan senjata. Namun di sisi lain, kedekatan antara Kerajaan Arab Saudi dengan Presiden AS Donald Trump menjadi dilema.
"Hal ini akan mengurangi kredibilitas AS dan meningkatkan persaingan kemampuan senjata di kawasan tersebut," kata David Albright, mantan inspektur senjata PPB dan presiden Institut Sains dan Keamanan Internasional yang berbasis di Washington.
Jika kerja sama nuklir dengan Saudi terjadi, ini akan menjadi "perubahan besar kebijakan" Washington, kata Mark Fitzpatrick, direktur eksekutif di lembaga Institut Internasional untuk Studi Strategis. Pasalnya, AS selama bertahun-tahun menolak mengizinkan pengayaan uranium dengan Yordania dan Korea Selatan.
Bahkan AS pada tahun 2009, ketika melakukan kesepakatan reaktor nuklir dengan Uni Emirat Arab, Washington menolak mengizinkan pengayaan dan pemrosesan ulang uranium. Begitu juga dengan pembangunan reaktor nuklir pertama untuk Korea Selatan pada tahun 2018, dimana AS juga menolak untuk adanya pengayaan uranium. Dan bila AS menyetujui dengan Saudi maka akan terjadi standar ganda.
"Mungkin Arab Saudi sedang menguji Pemerintahan Trump dan meminta apakah pemerintah AS dapat menyetujui untuk sedikit kelonggaran dalam kesepakatan kerja sama nuklir, dengan adanya pengayaan uranium," kata Albright.
Rencana nuklir Arab Saudi merupakan bagian dari rencana reformasi yang dipimpin Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman untuk mengurangi ketergantungan ekonomi pada minyak. Namun, rencana membangun reaktor nuklir untuk Saudi, disinyalir sebagai upaya mengimbangi saingan regional di Timur Tengah, yaitu Iran yang sebelumnya sudah mengembangkan reaktor dan energi nuklir.
Sumber tersebut mengatakan Riyadh telah berbicara kepada Washington agar pihaknya tidak kehilangan kemungkinan untuk memperkaya uranium. Hal ini juga dikaitkan dengan penggunaan nuklir untuk militer. "Mereka ingin melakukan pengayaan uranium sesuai dengan standar pakta kerja sama nuklir AS," kata si sumber.
Pembicaraan soal reaktor nuklir ini selaras dengan rencana Menteri Energi AS, Rick Perry yang akan mengadakan kunjungan di Riyadh pada awal pekan depan. Bocoran sumber industri AS lainnya menyebut Saudi dan Amerika telah mengadakan pembicaraan awal mengenai pakta kerja sama nuklir.
Namun pejabat AS dan pejabat Saudi yang bertanggung jawab atas masalah energi nuklir menolak berkomentar soal kabar ini. Sang sumber juga tidak mengidentifikasi perusahaan AS yang terlibat dalam lobi.
Berdasarkan Pasal 123 dari Undang-undang Energi Atom Amerika Serikat, sebuah perjanjian kerja sama untuk transfer bahan nuklir, teknologi, dan peralatan hanya untuk kepentingan damai. Sebelumnya, AS telah menolak rencana Saudi untuk memperkaya uranium.
Arab Saudi yang merupakan produsen minyak nomor satu di dunia, mengatakan ingin menggunakan tenaga nuklir untuk penggunaan damai. Jadi, energi nuklir untuk menghasilkan listrik ke rumah tangga, sedangkan minyak mentah untuk diekspor ke luar negeri.
Hashim bin Abdullah Yamani, kepala badan pemerintah Saudi yang bertugas dalam rencana nuklir tersebut, mengatakan bahwa negaranya ingin memanfaatkan sumber uraniumnya sendiri untuk "swasembada dalam memproduksi bahan bakar nuklir" dan hal ini layak secara ekonomi.
Sejak Oktober kemarin, Riyadh sudah mengirim permintaan ke AS soal pengembangan reaktor nuklir dan akan membuka tender multi miliar dolar AS untuk dua reaktor tenaga nuklir. Saudi bahkan berencana untuk memberikan kontrak konstruksi pertama pada tahun 2018.
Reuters melaporkan Washington sedang dalam pembicaraan dengan perusahaan AS dalam membentuk konsorsium untuk penawaran dari Saudi. Riyadh ingin menginstal hingga 17,6 gigawatt (GW) kapasitas atomik hingga tahun 2032 atau setara dengan 17 reaktor. Dan ini adalah prospek yang menjanjikan bagi industri nuklir AS yang mendapat saingan dari Rusia, Prancis, dan China. Apalagi terjadi penurunan dalam industri nuklir AS yang membuat perusahaan Amerika kesengsem membuat bisnis di luar negeri.
Terkait penggunaan nuklir untuk damai yang dikatakan Saudi, beberapa meragukannya. Pasalnya, reaktor nuklir hanya membutuhkan pengayaan uranium dengan kemurnian sekitar 5%, dimana teknologi ini bisa memperkaya logam berat ke tingkat senjata kelas lebih tinggi. Dan sejatinya, proses ini sudah menjadi perhatian Barat soal pengadaan dan pengayaan uranium oleh Iran.
Dan pada 2015, Pangeran Arab Saudi Turki al-Faisal, yang ketika itu menjadi kepala intelijen sempat mengatakan Riyadh menginginkan untuk memperkaya uranium jika Teheran memilikinya.
Persaingan politis antara Arab Saudi dan Iran di Timur Tengah telah menimbulkan masalah potensial bagi Amerika Serikat, dimana kerja sama nuklir dengan negara lain hanya untuk damai bukan untuk produksi pengembangan senjata. Namun di sisi lain, kedekatan antara Kerajaan Arab Saudi dengan Presiden AS Donald Trump menjadi dilema.
"Hal ini akan mengurangi kredibilitas AS dan meningkatkan persaingan kemampuan senjata di kawasan tersebut," kata David Albright, mantan inspektur senjata PPB dan presiden Institut Sains dan Keamanan Internasional yang berbasis di Washington.
Jika kerja sama nuklir dengan Saudi terjadi, ini akan menjadi "perubahan besar kebijakan" Washington, kata Mark Fitzpatrick, direktur eksekutif di lembaga Institut Internasional untuk Studi Strategis. Pasalnya, AS selama bertahun-tahun menolak mengizinkan pengayaan uranium dengan Yordania dan Korea Selatan.
Bahkan AS pada tahun 2009, ketika melakukan kesepakatan reaktor nuklir dengan Uni Emirat Arab, Washington menolak mengizinkan pengayaan dan pemrosesan ulang uranium. Begitu juga dengan pembangunan reaktor nuklir pertama untuk Korea Selatan pada tahun 2018, dimana AS juga menolak untuk adanya pengayaan uranium. Dan bila AS menyetujui dengan Saudi maka akan terjadi standar ganda.
"Mungkin Arab Saudi sedang menguji Pemerintahan Trump dan meminta apakah pemerintah AS dapat menyetujui untuk sedikit kelonggaran dalam kesepakatan kerja sama nuklir, dengan adanya pengayaan uranium," kata Albright.
(ven)