Hipmi Nilai Inkonsistensi Regulasi Ketenagalistrikan Hambat EBT
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) mengklaim banyak proyek energi baru dan terbarukan (EBT) terbengkalai akibat dari regulasi kelistrikan yang tidak konsisten atau kerap berubah.
Wakil Ketua Umum BPP Hipmi Yaser Palito mengatakan, sebanyak 142 proyek EBT senilai Rp 1,17 triliun yang dikerjakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mangkrak. Hal itu menurutnya dapat dicegah bila regulasi investasi EBT cukup mendukung.
"Sehingga sejak awal pengerjaan proyek EBT tersebut dikerjakan secara profesional. Proyek-proyek ini kan jadi asal-asalan, sebab nantinya setelah diserahkan kepada pemerintah daerah. Lalu Pemda cari mitra swasta. Tapi tidak ada swasta yang mau sebab harga listrik tidak menarik. Sementara, biaya investasi dan pemeliharaannya besar,” ujar Yaser dalam keterangan tertulis, Minggu (17/12/2017).
Yaser mengatakan, pada saat disusun pada 2009, harga EBT dibuat semenarik mungkin guna menarik minat swasta. Namun belakangan, berbagai revisi membuat peminat EBT menurun. Dia mengatakan, kebijakan ESDM akhir-akhir ini membuat perbankan dalam negeri sulit memberikan pinjaman kepada pengusaha karena sudah dipatok dengan tarif tetap dan rendah.
”Pemda juga kesulitan mencari mitra. Tidak ada mitra yang berminat dengan tarif segitu. Dengan tarif flat 85% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP), mana ada swasta yang mau jadi mitra, biarpun bareng pemda," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, penetapan tarif EBT tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017. Misalnya pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB)/Angin, tarif listriknya ditentukan berdasarkan BPP setempat.
Apabila BPP pembangkit setempat di atas rata-rata BPP pembangkit nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTB paling tinggi 85% dari BPP setempat. Namun jika BPP setempat sama atau di bawah rata-rata BPP nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTB ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Yaser mengatakan, dengan tarif seperti saat ini, pengusaha tidak punya waktu untuk mengembalikan modalnya. Makanya, pengusaha tidak punya minat mengambil proyek-proyek EBT yang sudah dibangun pemerintah, sebab biaya investasi mahal sedangkan pendapatan relatif rendah.
“Belum lagi proyek-proyek ini asal-asalan. Kita kalau ambil, harus ada ekstra kapital untuk perbaiki mesin, bendungan, dan infrastruktur pembangkit, ditambah lagi biaya pemeliharaan,” papar dia.
Wakil Ketua Umum BPP Hipmi Yaser Palito mengatakan, sebanyak 142 proyek EBT senilai Rp 1,17 triliun yang dikerjakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mangkrak. Hal itu menurutnya dapat dicegah bila regulasi investasi EBT cukup mendukung.
"Sehingga sejak awal pengerjaan proyek EBT tersebut dikerjakan secara profesional. Proyek-proyek ini kan jadi asal-asalan, sebab nantinya setelah diserahkan kepada pemerintah daerah. Lalu Pemda cari mitra swasta. Tapi tidak ada swasta yang mau sebab harga listrik tidak menarik. Sementara, biaya investasi dan pemeliharaannya besar,” ujar Yaser dalam keterangan tertulis, Minggu (17/12/2017).
Yaser mengatakan, pada saat disusun pada 2009, harga EBT dibuat semenarik mungkin guna menarik minat swasta. Namun belakangan, berbagai revisi membuat peminat EBT menurun. Dia mengatakan, kebijakan ESDM akhir-akhir ini membuat perbankan dalam negeri sulit memberikan pinjaman kepada pengusaha karena sudah dipatok dengan tarif tetap dan rendah.
”Pemda juga kesulitan mencari mitra. Tidak ada mitra yang berminat dengan tarif segitu. Dengan tarif flat 85% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP), mana ada swasta yang mau jadi mitra, biarpun bareng pemda," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, penetapan tarif EBT tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017. Misalnya pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB)/Angin, tarif listriknya ditentukan berdasarkan BPP setempat.
Apabila BPP pembangkit setempat di atas rata-rata BPP pembangkit nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTB paling tinggi 85% dari BPP setempat. Namun jika BPP setempat sama atau di bawah rata-rata BPP nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTB ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Yaser mengatakan, dengan tarif seperti saat ini, pengusaha tidak punya waktu untuk mengembalikan modalnya. Makanya, pengusaha tidak punya minat mengambil proyek-proyek EBT yang sudah dibangun pemerintah, sebab biaya investasi mahal sedangkan pendapatan relatif rendah.
“Belum lagi proyek-proyek ini asal-asalan. Kita kalau ambil, harus ada ekstra kapital untuk perbaiki mesin, bendungan, dan infrastruktur pembangkit, ditambah lagi biaya pemeliharaan,” papar dia.
(fjo)