Soal Pembangunan Infrastruktur, di Mana Kita Berpihak?
A
A
A
JAKARTA - PwC (Price Waterhouse Coopers) pernah meramalkan Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ke empat terbesar di dunia pada tahun 2050 nanti. Data yang diperhitungkan untuk meramal potensi negara kita adalah dari jumlah populasi penduduk produktif yang tinggi, dan ini dianggap akan menjadi sokoguru pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ramalan itu akan keliru kalau ternyata generasi kita yang banyak tersebut ternyata tidak produktif. Malah sebaliknya menjadi beban negara. Banyak faktor yang mempengaruhi, misalnya faktor pendidikan serta juga kekurangsiapan infrastruktur yang seharusnya menunjang generasi jaman nowuntuk mendapat ruang berinovasi dan berkreasi. Pendek kata, idiom “banyak anak banyak rejeki” itu tidak akan berlaku kalau kita lalai dalam mempersiapkan generasi penerus tersebut secara benar.
Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Joni Hermana mengatakan, untuk mencapai itu, maka infrastruktur menjadi prioritas untuk dikembangkan, salah satunya penyediaan listrik bagi rakyat sekaligus untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal ini, secara khusus, Direktur Utama PLN Sofyan Basyir dan Menteri Negara BUMN Rini Soemarno mengundang beberapa Rektor Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta, Selasa (9/1/2018). Dalam jamuan, keduanya menceritakan hasil kunjungan kerja ke China dan membahas pelayanan tenaga listrik oleh PLN di Indonesia ke depan.
Dari hasil “berguru ke China”, mereka ingin PLN mampu meningkatkan pelayanan energi listrik dengan akselerasi yang singkat dan cepat seperti di China. Banyak hal yang diungkit dalam pertemuan, mulai hal yang sifatnya umum sampai hal khusus, seperti teknologi misalnya.
Namun yang menarik untuk dicatat adalah PLN sebenarnya hanya akan mampu memenuhi harapan pemerintah, yaitu sebagai penyedia pelayanan energi listrik bagi masyarakat sekaligus dapat berperan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, adalah apabila ada keberpihakan yang tegas dari pemerintah sendiri. Dan hal itu dimulai dari sejak bahan baku diperoleh, proses produksi sampai bagaimana pemasaran harus dilakukan.
Dalam hal input, PLN tidak akan mampu mewujudkan harapan di atas apabila sistem perundangan kita tidak memberi ruang pada PLN untuk berkreasi, misalnya dalam melakukan restrukturisasi tarif bagi penggunanya. Keberpihakan pemerintah yang ambigu, seolah khawatir bahwa restrukturisasi ini akan menyebabkan gejolak di masyarakat, boleh jadi merupakan kekhawatiran yang berlebihan.
“Direksi PLN sebetulnya bisa melakukan restrukturisasi tarif tanpa mengesampingkan kepentingan masyarakat yang tidak mampu dan wajib untuk dilindungi dari pembebanan tarif yang tidak perlu. Kekakuan peraturan tentang tarif saat ini menyebabkan pihak yang sebenarnya mampu membayar lebih, termasuk perusahaan dan industri, menjadi tidak dapat dikenai tarif secara adil,” ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (9/1/2018).
Padahal, sambung Joni, tarif per kWh yang berlaku saat ini, dengan sistem peraturan yang ada, pun tidak terlalu kompetitif dibandingkan dengan negara tetangga. Bisa jadi restruktrisasi tarif akan menjadi berkeadilan, yang mampu bayar mahal dan yang tidak mampu menjadi lebih proporsional dan fair.
Target pemerintah untuk mencapai prosentase pelayanan EBT (energi baru terbarukan) 23% untuk tahun 2024 juga sulit untuk diraih tanpa ada keterlibatan semua pihak yang saling mendukung secara berjamaah. “Secara strategis, EBT yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di negara kita adalah energi hydro, energi surya dan energi biomass. Yang disebut terakhir ini, apabila dilembangkan secara massif juga akan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat. Namun seperti disinggung di atas, diperlukan kerja sama semua pihak, antar kementrian, bukan hanya PLN,” lanjutnya.
Hal lain yang menjadi kendala bagi PLN adalah, lagi, karena keberadaan batubara sebagai bahan baku penghasil energi listrik utama kita, justru 80% produksinya dieskpor ke berbagai negara di luar negeri sedangkan sisanya yang kemudian dimanfaatkan PLN. Ironisnya harga belinya pun lebih mahal per tonasenya dibandingkan dengan harga yang dijual ke luar negeri. Jelas hal ini menjadikan kesulitan tersendiri, bagaimana PLN mampu produktif dengan penguasaan sumber bahan baku yang tidak memihak.
Besarnya perusahaan pembangkit listrik di China adalah karena mereka juga diberi ruang gerak untuk menjadi industri manufaktur. Hampir semua komponen yang mereka gunakan diproduksi perusahaan mereka sendiri. Sementara PLN sebaliknya, hampir semua komponennya yang digunakan dibeli dari luar negeri. Artinya PLN hanya berfungsi sebagai pengguna teknologi dan pejual jasa saja yang sangat tergantung pada produk asing dan negara lain. Ini berlaku baik untuk pembangunan unit-unit baru maupun untuk pemeliharaan sistem.
Padahal apabila diamati, teknologi pembangkit yang digunakan, sebenarnya tidaklah sulit-sulit amat. Para insinyur Indonesia juga pasti bisanya apabila diberi kesempatan seperti insinyur di China. “Sebagai ilustrasi, kami di ITS telah beberapa kali bekerja sama dengan PLN memperbaiki sistem pembangkit yang rusak atau kurang efisien karena sudah dimakan waktu. Semua berhasil dengan baik dan lancar. Potensi besar seperti ini yang dimiliki berbagai universitas di Indonesia seolah dibiarkan lewat begitu saja,” kata Joni.
Melihat kondisi ini, Joni menyatakan sependapat dengan Menteri Rini yang mengatakan, dengan semangat bahwa BUMN, termasuk PLN harus hadir untuk negeri. Namun di lain pihak, keberhasilan PLN juga sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh “Negara hadir untuk PLN”. Sebab PLN tidak akan berhasil tanpa dukungan total dari pemerintah. Meminjam istilah Menteri Rini yaitu keberpihakan.
“Masalah utama mengapa percepatan pembangunan kita tidak bisa maksimal seperti China, adalah karena keberpihakan kita sendiri yang kurang jelas dan tegas. Siapa sesungguhnya yang dibela dan diprioritaskan selama ini? Rakyat sendiri ataukah rakyat bangsa lain? Life is not only the matter of gaining profit, in fact. Harus ada revolusi mental di sini. Semua pihak, dari atas sampai bawah terutama para pembuat kebijakan harus menjadi agen perubahan dari paradigma berpikir yang ada sekarang ini, kalau kita ingin melakukan lompatan jauh”.
Terkait hal ini, Joni lantas mengambil kisah seekor burung pipit yang berusaha melakukan sesuatu saat melihat Nabi Ibrahim AS dibakar oleh Raja Namrudz yang kejam. Burung pipit itu mengangkut air dengan paruhnya yang kecil untuk memadamkan kobaran api besar yang disulut raja lalim itu. Berulang-alik dia mengangkut air, dan pasti, usaha itu tidak mampu memadamkan api yang sangat besar tersebut.
Burung-burung lain bertanya pada pipit kecil, mengapa dia melakukan itu? Sia-sia dan nyaris tidak memberi hasil apa-apa. Tak dinyana, burung pipit kecil menjawab dengan luar biasa: "Mungkin air yang kubawa tidak akan memadamkan api di bawah sana. Tapi jika nanti Allah bertanya, maka aku bisa memberikan jawaban. Bahwa aku tidak tinggal diam. Aku telah melakukan sesuatu!"
Belajar dari burung pipit ini, Joni meminta seluruh pihak untuk jangan berdiam diri, ambil bagian sebab suatu saat kita akan ditanya, apa yang sudah kita lakukan untuk rakyat dan bangsa kita. Di sisi mana kita berpihak?
Ramalan itu akan keliru kalau ternyata generasi kita yang banyak tersebut ternyata tidak produktif. Malah sebaliknya menjadi beban negara. Banyak faktor yang mempengaruhi, misalnya faktor pendidikan serta juga kekurangsiapan infrastruktur yang seharusnya menunjang generasi jaman nowuntuk mendapat ruang berinovasi dan berkreasi. Pendek kata, idiom “banyak anak banyak rejeki” itu tidak akan berlaku kalau kita lalai dalam mempersiapkan generasi penerus tersebut secara benar.
Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Joni Hermana mengatakan, untuk mencapai itu, maka infrastruktur menjadi prioritas untuk dikembangkan, salah satunya penyediaan listrik bagi rakyat sekaligus untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal ini, secara khusus, Direktur Utama PLN Sofyan Basyir dan Menteri Negara BUMN Rini Soemarno mengundang beberapa Rektor Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta, Selasa (9/1/2018). Dalam jamuan, keduanya menceritakan hasil kunjungan kerja ke China dan membahas pelayanan tenaga listrik oleh PLN di Indonesia ke depan.
Dari hasil “berguru ke China”, mereka ingin PLN mampu meningkatkan pelayanan energi listrik dengan akselerasi yang singkat dan cepat seperti di China. Banyak hal yang diungkit dalam pertemuan, mulai hal yang sifatnya umum sampai hal khusus, seperti teknologi misalnya.
Namun yang menarik untuk dicatat adalah PLN sebenarnya hanya akan mampu memenuhi harapan pemerintah, yaitu sebagai penyedia pelayanan energi listrik bagi masyarakat sekaligus dapat berperan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, adalah apabila ada keberpihakan yang tegas dari pemerintah sendiri. Dan hal itu dimulai dari sejak bahan baku diperoleh, proses produksi sampai bagaimana pemasaran harus dilakukan.
Dalam hal input, PLN tidak akan mampu mewujudkan harapan di atas apabila sistem perundangan kita tidak memberi ruang pada PLN untuk berkreasi, misalnya dalam melakukan restrukturisasi tarif bagi penggunanya. Keberpihakan pemerintah yang ambigu, seolah khawatir bahwa restrukturisasi ini akan menyebabkan gejolak di masyarakat, boleh jadi merupakan kekhawatiran yang berlebihan.
“Direksi PLN sebetulnya bisa melakukan restrukturisasi tarif tanpa mengesampingkan kepentingan masyarakat yang tidak mampu dan wajib untuk dilindungi dari pembebanan tarif yang tidak perlu. Kekakuan peraturan tentang tarif saat ini menyebabkan pihak yang sebenarnya mampu membayar lebih, termasuk perusahaan dan industri, menjadi tidak dapat dikenai tarif secara adil,” ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (9/1/2018).
Padahal, sambung Joni, tarif per kWh yang berlaku saat ini, dengan sistem peraturan yang ada, pun tidak terlalu kompetitif dibandingkan dengan negara tetangga. Bisa jadi restruktrisasi tarif akan menjadi berkeadilan, yang mampu bayar mahal dan yang tidak mampu menjadi lebih proporsional dan fair.
Target pemerintah untuk mencapai prosentase pelayanan EBT (energi baru terbarukan) 23% untuk tahun 2024 juga sulit untuk diraih tanpa ada keterlibatan semua pihak yang saling mendukung secara berjamaah. “Secara strategis, EBT yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di negara kita adalah energi hydro, energi surya dan energi biomass. Yang disebut terakhir ini, apabila dilembangkan secara massif juga akan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat. Namun seperti disinggung di atas, diperlukan kerja sama semua pihak, antar kementrian, bukan hanya PLN,” lanjutnya.
Hal lain yang menjadi kendala bagi PLN adalah, lagi, karena keberadaan batubara sebagai bahan baku penghasil energi listrik utama kita, justru 80% produksinya dieskpor ke berbagai negara di luar negeri sedangkan sisanya yang kemudian dimanfaatkan PLN. Ironisnya harga belinya pun lebih mahal per tonasenya dibandingkan dengan harga yang dijual ke luar negeri. Jelas hal ini menjadikan kesulitan tersendiri, bagaimana PLN mampu produktif dengan penguasaan sumber bahan baku yang tidak memihak.
Besarnya perusahaan pembangkit listrik di China adalah karena mereka juga diberi ruang gerak untuk menjadi industri manufaktur. Hampir semua komponen yang mereka gunakan diproduksi perusahaan mereka sendiri. Sementara PLN sebaliknya, hampir semua komponennya yang digunakan dibeli dari luar negeri. Artinya PLN hanya berfungsi sebagai pengguna teknologi dan pejual jasa saja yang sangat tergantung pada produk asing dan negara lain. Ini berlaku baik untuk pembangunan unit-unit baru maupun untuk pemeliharaan sistem.
Padahal apabila diamati, teknologi pembangkit yang digunakan, sebenarnya tidaklah sulit-sulit amat. Para insinyur Indonesia juga pasti bisanya apabila diberi kesempatan seperti insinyur di China. “Sebagai ilustrasi, kami di ITS telah beberapa kali bekerja sama dengan PLN memperbaiki sistem pembangkit yang rusak atau kurang efisien karena sudah dimakan waktu. Semua berhasil dengan baik dan lancar. Potensi besar seperti ini yang dimiliki berbagai universitas di Indonesia seolah dibiarkan lewat begitu saja,” kata Joni.
Melihat kondisi ini, Joni menyatakan sependapat dengan Menteri Rini yang mengatakan, dengan semangat bahwa BUMN, termasuk PLN harus hadir untuk negeri. Namun di lain pihak, keberhasilan PLN juga sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh “Negara hadir untuk PLN”. Sebab PLN tidak akan berhasil tanpa dukungan total dari pemerintah. Meminjam istilah Menteri Rini yaitu keberpihakan.
“Masalah utama mengapa percepatan pembangunan kita tidak bisa maksimal seperti China, adalah karena keberpihakan kita sendiri yang kurang jelas dan tegas. Siapa sesungguhnya yang dibela dan diprioritaskan selama ini? Rakyat sendiri ataukah rakyat bangsa lain? Life is not only the matter of gaining profit, in fact. Harus ada revolusi mental di sini. Semua pihak, dari atas sampai bawah terutama para pembuat kebijakan harus menjadi agen perubahan dari paradigma berpikir yang ada sekarang ini, kalau kita ingin melakukan lompatan jauh”.
Terkait hal ini, Joni lantas mengambil kisah seekor burung pipit yang berusaha melakukan sesuatu saat melihat Nabi Ibrahim AS dibakar oleh Raja Namrudz yang kejam. Burung pipit itu mengangkut air dengan paruhnya yang kecil untuk memadamkan kobaran api besar yang disulut raja lalim itu. Berulang-alik dia mengangkut air, dan pasti, usaha itu tidak mampu memadamkan api yang sangat besar tersebut.
Burung-burung lain bertanya pada pipit kecil, mengapa dia melakukan itu? Sia-sia dan nyaris tidak memberi hasil apa-apa. Tak dinyana, burung pipit kecil menjawab dengan luar biasa: "Mungkin air yang kubawa tidak akan memadamkan api di bawah sana. Tapi jika nanti Allah bertanya, maka aku bisa memberikan jawaban. Bahwa aku tidak tinggal diam. Aku telah melakukan sesuatu!"
Belajar dari burung pipit ini, Joni meminta seluruh pihak untuk jangan berdiam diri, ambil bagian sebab suatu saat kita akan ditanya, apa yang sudah kita lakukan untuk rakyat dan bangsa kita. Di sisi mana kita berpihak?
(ven)