Jumlah Miliarder Tumbuh Setiap Dua Hari
A
A
A
LONDON - Pertumbuhan miliarder di dunia sangat cepat. Lembaga nirlaba Oxfam melaporkan setiap dua hari tercipta miliarder baru pada periode Maret 2016-Maret 2017.
Itu merupakan kesimpulan dari laporan yang dipublikasikan lem baga nirlaba Oxfam kemarin. Perilisan informasi tersebut bertepatan dengan momen ketika para pemimpin politik dan bisnis berkumpul di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss.
Oxfam juga meng kritisi sistem ekonomi global yang berpihak kepada orang kaya dan mengabaikan orang miskin. “Kekayaan miliarder tumbuh 13% setiap tahun antara 2006-2015. Itu sama dengan enam kali lebih cepat dibandingkan pekerja biasa,” demikian laporan Oxfam.
Disebutkan juga kalau sembilan dari setiap 10 miliarder adalah pria. “Delapan orang kaya memiliki kekayaan yang sama dengan 3,6 juta warga,” kata laporan tersebut. Khusus di Amerika Serikat, tiga orang terkaya memiliki kekayaan sama dengan kekayaan separuh populasi negara tersebut.
Namun demikian, Oxfam mengklaim, ledakan jumlah miliarder adalah bukan tanda ekonomi sedang tumbuh, melainkan gejala sistem ekonomi gagal. “Model ekonomi di dunia tidak bekerja untuk semua orang,” ungkap peneliti Oxfam, Inigo Macias Aymar.
Dia mengkritik distribusi kekayaan sangat mengkhawatirkan karena terkonsentrasi di beberapa tangan. Empat dari setiap lima dolar kekayaan yang dihasilkan pada 2017 berakhir di dompet 1% dari populasi dunia, yakni orang kaya. Itu sama seperti 82% kekayaan yang dihasilkan tahun lalu hanya dikuasai 1% orang kaya.
Sebanyak 3,7 miliar orang di dunia tidak mengalami kenaikan kekayaan pada 2017 lalu. “Itu menunjukkan bagaimana ekonomi kita kalau kekayaan lebih dihargai dibandingkan kerja keras jutaan orang,” ungkap Direktur Eksekutif Oxfam Winnie Byanyima kepada Reuters.
“Hanya sedikit orang yang justru semakin kaya dan jutaan orang di bawah justru terjebak de ngan gaji minim dan kemiskinan,” ujarnya. Byanyima menyalahkan “pengelakan pajak” sebagai penyebab utama ketidakadilan global.
Dia menyarankan para pemimpin menindak “surga pajak” dan mendorong uang untuk program pendidikan, kesehatan, dan menciptakan pekerjaan bagi anak-anak muda. Secara khusus, Byanyima mengkritik Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menghadiri WEF untuk menciptakan “kabinet miliarder” dan mengimplementasi legislasi pajak yang menguntungkan orang kaya AS, bukan warga biasa.
Laporan Oxfam itu berjudul “Ekonomi untuk 99%” menunjukkan kesenjangan kaya dan miskin sangat mengkhawatirkan. Mereka juga menjelaskan bagaimana industri besar dan orang kaya menyebabkan krisis kesenjangan yang diperparah karena penggelapan pajak dan penurunan gaji karyawan.
Paling parah adalah miliarder menggunakan kekuatan mereka untuk memengaruhi politik. Misalnya, para miliarder di Brasil memengaruhi pemilu dan sukses melobi untuk pengurangan pajak. Di negeri ini, miliarder bisa menggagalkan kenaikan pajak.
Apalagi data distribusi kekayaan global, khususnya di India dan China, mengindikasikan bahwa angka kemiskinan dunia sangat mengkhawatirkan. “Sungguh mengkhawatirkan, begitu banyak kekayaan di tangan sedikit orang ketika satu dari 10 orang bertahan hidup kurang dari USD2 sehari (Rp26 ribu). Ketidakadilan menjebak ratusan juta orang hidup dalam kemiskinan. Itu merusak masyarakat kita dan mengabaikan demokrasi,” kata Byanyima.
Di seluruh dunia, kata Byanyima, semua merasa tertinggal jauh. Dia menambahkan, gaji mereka tidak kunjung mengalami kenaikan, tetapi bos mereka justru mendapatkan bo nus hingga jutaan dolar.
“Banyak pelayanan pendidikan dan kesehatan dipotong dan suara rakyat miskin diabadikan pemerintah. Banyak pejabat justru bernyanyi untuk kepentingan bisnis besar dan elite orang kaya,” katanya. Tak mengherankan jika publik di seluruh dunia marah karena ketidakadilan menciptakan gelombang politik di seluruh dunia.
Faktor kesenjangan menjadi pemicu terpilihnya Donald Trump di AS, Presiden Rodrigo Duterte di Filipina, dan Brexit (Britain Exit) di Inggris. Ofxam mencatat tujuh dari 10 orang tinggal di suatu negara melihat kenaikan ketidakadilan dalam kurun waktu 30 tahun.
Antara 1988 dan 2011, pendapatan orang miskin meningkat 10% atau hanya USD65 (Rp867 ribu) per orang. Namun, pendapatan orang kaya hanya 1% dari populasi dunia naik USD11.800 (Rp157 juta) per orang atau naik sebanyak 182 kali dibandingkan orang miskin.
Perempuan Paling Dirugikan
Oxfam mengungkapkan pekerjaan perempuan paling buruk dihantam ketidakadilan global. Mereka mendapatkan gaji lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan pria. Perempuan juga menghadapi ber bagai bentuk tekanan dalam pekerjaan. WEF sebelumnya memperkirakan dibutuhkan 217 tahun agar perempuan mendapatkan gaji yang sama di tempat kerja.
Sedangkan Oxfam memprediksi dibutuhkan waktu 170 tahun bagi perempuan untuk digaji sama dengan lelaki. Oxfam mewawancarai perempuan yang bekerja di pabrik garmen di Vietnam selama 12 jam per hari dan enam hari dalam sepekan. Mereka hanya di gaji USD1 (Rp13 ribu) per jam.
Padahal mereka menghasilkan pakaian untuk brand fashion ternama. Pajak perusahaan di negara miskin digelapkan sedikitnya USD100 miliar (Rp1.428 triliun) setiap tahun.
Uang itu cukup untuk memberikan pendidikan kepada 124 juta orang yang tidak melanjutkan sekolah dan mendanai perawatan kesehatan sehingga bisa mencegah kematian sedikitnya enam juta anak-anak setiap tahun.
Oxfam pun menyerukan agar seluruh pekerja menerima gaji layak, penghapusan kesenjangan gaji berdasarkan gender, dan penegakan hukum bagi pelanggar pajak. Mereka juga menyarankan kenaikan pajak bagi orang kaya. (Andika Hendra)
Itu merupakan kesimpulan dari laporan yang dipublikasikan lem baga nirlaba Oxfam kemarin. Perilisan informasi tersebut bertepatan dengan momen ketika para pemimpin politik dan bisnis berkumpul di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss.
Oxfam juga meng kritisi sistem ekonomi global yang berpihak kepada orang kaya dan mengabaikan orang miskin. “Kekayaan miliarder tumbuh 13% setiap tahun antara 2006-2015. Itu sama dengan enam kali lebih cepat dibandingkan pekerja biasa,” demikian laporan Oxfam.
Disebutkan juga kalau sembilan dari setiap 10 miliarder adalah pria. “Delapan orang kaya memiliki kekayaan yang sama dengan 3,6 juta warga,” kata laporan tersebut. Khusus di Amerika Serikat, tiga orang terkaya memiliki kekayaan sama dengan kekayaan separuh populasi negara tersebut.
Namun demikian, Oxfam mengklaim, ledakan jumlah miliarder adalah bukan tanda ekonomi sedang tumbuh, melainkan gejala sistem ekonomi gagal. “Model ekonomi di dunia tidak bekerja untuk semua orang,” ungkap peneliti Oxfam, Inigo Macias Aymar.
Dia mengkritik distribusi kekayaan sangat mengkhawatirkan karena terkonsentrasi di beberapa tangan. Empat dari setiap lima dolar kekayaan yang dihasilkan pada 2017 berakhir di dompet 1% dari populasi dunia, yakni orang kaya. Itu sama seperti 82% kekayaan yang dihasilkan tahun lalu hanya dikuasai 1% orang kaya.
Sebanyak 3,7 miliar orang di dunia tidak mengalami kenaikan kekayaan pada 2017 lalu. “Itu menunjukkan bagaimana ekonomi kita kalau kekayaan lebih dihargai dibandingkan kerja keras jutaan orang,” ungkap Direktur Eksekutif Oxfam Winnie Byanyima kepada Reuters.
“Hanya sedikit orang yang justru semakin kaya dan jutaan orang di bawah justru terjebak de ngan gaji minim dan kemiskinan,” ujarnya. Byanyima menyalahkan “pengelakan pajak” sebagai penyebab utama ketidakadilan global.
Dia menyarankan para pemimpin menindak “surga pajak” dan mendorong uang untuk program pendidikan, kesehatan, dan menciptakan pekerjaan bagi anak-anak muda. Secara khusus, Byanyima mengkritik Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menghadiri WEF untuk menciptakan “kabinet miliarder” dan mengimplementasi legislasi pajak yang menguntungkan orang kaya AS, bukan warga biasa.
Laporan Oxfam itu berjudul “Ekonomi untuk 99%” menunjukkan kesenjangan kaya dan miskin sangat mengkhawatirkan. Mereka juga menjelaskan bagaimana industri besar dan orang kaya menyebabkan krisis kesenjangan yang diperparah karena penggelapan pajak dan penurunan gaji karyawan.
Paling parah adalah miliarder menggunakan kekuatan mereka untuk memengaruhi politik. Misalnya, para miliarder di Brasil memengaruhi pemilu dan sukses melobi untuk pengurangan pajak. Di negeri ini, miliarder bisa menggagalkan kenaikan pajak.
Apalagi data distribusi kekayaan global, khususnya di India dan China, mengindikasikan bahwa angka kemiskinan dunia sangat mengkhawatirkan. “Sungguh mengkhawatirkan, begitu banyak kekayaan di tangan sedikit orang ketika satu dari 10 orang bertahan hidup kurang dari USD2 sehari (Rp26 ribu). Ketidakadilan menjebak ratusan juta orang hidup dalam kemiskinan. Itu merusak masyarakat kita dan mengabaikan demokrasi,” kata Byanyima.
Di seluruh dunia, kata Byanyima, semua merasa tertinggal jauh. Dia menambahkan, gaji mereka tidak kunjung mengalami kenaikan, tetapi bos mereka justru mendapatkan bo nus hingga jutaan dolar.
“Banyak pelayanan pendidikan dan kesehatan dipotong dan suara rakyat miskin diabadikan pemerintah. Banyak pejabat justru bernyanyi untuk kepentingan bisnis besar dan elite orang kaya,” katanya. Tak mengherankan jika publik di seluruh dunia marah karena ketidakadilan menciptakan gelombang politik di seluruh dunia.
Faktor kesenjangan menjadi pemicu terpilihnya Donald Trump di AS, Presiden Rodrigo Duterte di Filipina, dan Brexit (Britain Exit) di Inggris. Ofxam mencatat tujuh dari 10 orang tinggal di suatu negara melihat kenaikan ketidakadilan dalam kurun waktu 30 tahun.
Antara 1988 dan 2011, pendapatan orang miskin meningkat 10% atau hanya USD65 (Rp867 ribu) per orang. Namun, pendapatan orang kaya hanya 1% dari populasi dunia naik USD11.800 (Rp157 juta) per orang atau naik sebanyak 182 kali dibandingkan orang miskin.
Perempuan Paling Dirugikan
Oxfam mengungkapkan pekerjaan perempuan paling buruk dihantam ketidakadilan global. Mereka mendapatkan gaji lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan pria. Perempuan juga menghadapi ber bagai bentuk tekanan dalam pekerjaan. WEF sebelumnya memperkirakan dibutuhkan 217 tahun agar perempuan mendapatkan gaji yang sama di tempat kerja.
Sedangkan Oxfam memprediksi dibutuhkan waktu 170 tahun bagi perempuan untuk digaji sama dengan lelaki. Oxfam mewawancarai perempuan yang bekerja di pabrik garmen di Vietnam selama 12 jam per hari dan enam hari dalam sepekan. Mereka hanya di gaji USD1 (Rp13 ribu) per jam.
Padahal mereka menghasilkan pakaian untuk brand fashion ternama. Pajak perusahaan di negara miskin digelapkan sedikitnya USD100 miliar (Rp1.428 triliun) setiap tahun.
Uang itu cukup untuk memberikan pendidikan kepada 124 juta orang yang tidak melanjutkan sekolah dan mendanai perawatan kesehatan sehingga bisa mencegah kematian sedikitnya enam juta anak-anak setiap tahun.
Oxfam pun menyerukan agar seluruh pekerja menerima gaji layak, penghapusan kesenjangan gaji berdasarkan gender, dan penegakan hukum bagi pelanggar pajak. Mereka juga menyarankan kenaikan pajak bagi orang kaya. (Andika Hendra)
(nfl)