Empat Jurus Sri Mulyani Bawa RI Keluar dari Middle Income Trap
A
A
A
DEPOK - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, sejak 1985 Indonesia telah masuk dalam kelompok negara berpendatan menengah (middle income trap). Untuk terbebas dari kondisi ini, Indonesia hanya memiliki waktu hingga 2027 untuk mencapai pendapatan per kapita di atas USD12.476.
Untuk mencapai hal tersebut, pertumbuhan per kapita Indonesia harus mencapai rata-rata 5,42% per tahun. Menurutnya, sejak krisis ekonomi pada 1998, pertumbuhan per kapita Indonesia belum mencapai setinggi 5,42%.
"Bila pertumbuhan pendapatan per kapita rata-rata Indonesia hanya 3,5% per tahun, maka Indonesia diperkirakan akan keluar dari perangkap pendapatan menengah pada 2035. Ini berarti visi 100 tahun Indonesia merdeka sulit diraih," katanya saat orasi ilmiahnya di hadapan wisudawan Universitas Indonesia (UI) semester gasal 2018/2019 di Balairung, Sabtu (3/2/2018).
Menurutnya, ada empat faktor yang memberikan peluang bagi Indonesia untuk keluar dari perangkap pendapatan menengah. Pertama, bonus demografi, di mana terdapat koridor waktu 30 tahun ketika rasio ketergantungan mencapai tingkat minumum.
Pada 2013-2020, populasi angkatan kerja diperkirakan bertambah 14,8 juta orang. Jumlahnya akan mencapai 189 juta orang pada 2020. "Manusia adalah aset utama sebuah bangsa. Peningkatan jumlah angkatan kerja yang berpendidikan dan mahir teknologi informasi merupakan aset potensial untuk memacu peningkatan produktivitas," jelasnya.
Kedua, kata Sri adalah urbanisasi. Pertumbuhan populasi perkotaan Indonesia termasuk yang tercepat di dunia, yaitu 4% per tahun. Diperkirakan sebanyak 68% (perkiraan Bank Dunia) atau 60% (perkiraan BPS) penduduk Indonesia akan menghuni wilayah perkotaan pada 2025.
Pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi ini akan meningkatkan permintaan akan perumahan, konsumsi serta mendorong peningkatan investasi dan produktivitas. "Sehingga, diperlukan infrastruktur yang tepat, efektif dan efisien untuk mengakomodasi urbanisasi ini," imbuhnya.
Faktor peluang ketiga, harga komoditi global yang melemah yang memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk memacu diversifikasi ekonomi. Harga komoditi yang tinggi pada beberapa dasawarsa lalu mengakibatkan nilai ekspor komoditi mencapai 65% dari total eskpor sehingga nilai ekspor komoditi berada di atas nilai ekspor industri pengolahan.
"Dengan kebijakan yang tepat, terutama dalam mengatasi kendala investasi di sektor industri pengolagan, anjloknya harga komoditi merupakan suatu berkah tersembunyi," katanya.
Keempat, perubahan ekonomi RRT yang mendorong kenaikan upah buruh di China yang menciptakan peluang berkembangnya investasi pada sektor padat karya. Karena itu, diperlukan kebijakan tepat untuk meningkatkan kualitas dan keahlian tenaga kerja serta kebijakan meningkatkan kualitas dan relevansi lulusan sekolah kejuruan maupun lulusan universitas.
"Untuk menghindari middle income trap, Indonesia harus mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusi dengan faktor kunci adalah produktivitas sumber daya manusia, infrastruktur andal, jaring pengaman sosial yang kuat untuk melindungi mereka yang rentan dan miskin, dan institusi publik yang efisian dan bersih serta sektor swasta yang tumbuh secara sehat dan kompetitif," jelas dia.
Untuk mencapai hal tersebut, pertumbuhan per kapita Indonesia harus mencapai rata-rata 5,42% per tahun. Menurutnya, sejak krisis ekonomi pada 1998, pertumbuhan per kapita Indonesia belum mencapai setinggi 5,42%.
"Bila pertumbuhan pendapatan per kapita rata-rata Indonesia hanya 3,5% per tahun, maka Indonesia diperkirakan akan keluar dari perangkap pendapatan menengah pada 2035. Ini berarti visi 100 tahun Indonesia merdeka sulit diraih," katanya saat orasi ilmiahnya di hadapan wisudawan Universitas Indonesia (UI) semester gasal 2018/2019 di Balairung, Sabtu (3/2/2018).
Menurutnya, ada empat faktor yang memberikan peluang bagi Indonesia untuk keluar dari perangkap pendapatan menengah. Pertama, bonus demografi, di mana terdapat koridor waktu 30 tahun ketika rasio ketergantungan mencapai tingkat minumum.
Pada 2013-2020, populasi angkatan kerja diperkirakan bertambah 14,8 juta orang. Jumlahnya akan mencapai 189 juta orang pada 2020. "Manusia adalah aset utama sebuah bangsa. Peningkatan jumlah angkatan kerja yang berpendidikan dan mahir teknologi informasi merupakan aset potensial untuk memacu peningkatan produktivitas," jelasnya.
Kedua, kata Sri adalah urbanisasi. Pertumbuhan populasi perkotaan Indonesia termasuk yang tercepat di dunia, yaitu 4% per tahun. Diperkirakan sebanyak 68% (perkiraan Bank Dunia) atau 60% (perkiraan BPS) penduduk Indonesia akan menghuni wilayah perkotaan pada 2025.
Pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi ini akan meningkatkan permintaan akan perumahan, konsumsi serta mendorong peningkatan investasi dan produktivitas. "Sehingga, diperlukan infrastruktur yang tepat, efektif dan efisien untuk mengakomodasi urbanisasi ini," imbuhnya.
Faktor peluang ketiga, harga komoditi global yang melemah yang memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk memacu diversifikasi ekonomi. Harga komoditi yang tinggi pada beberapa dasawarsa lalu mengakibatkan nilai ekspor komoditi mencapai 65% dari total eskpor sehingga nilai ekspor komoditi berada di atas nilai ekspor industri pengolahan.
"Dengan kebijakan yang tepat, terutama dalam mengatasi kendala investasi di sektor industri pengolagan, anjloknya harga komoditi merupakan suatu berkah tersembunyi," katanya.
Keempat, perubahan ekonomi RRT yang mendorong kenaikan upah buruh di China yang menciptakan peluang berkembangnya investasi pada sektor padat karya. Karena itu, diperlukan kebijakan tepat untuk meningkatkan kualitas dan keahlian tenaga kerja serta kebijakan meningkatkan kualitas dan relevansi lulusan sekolah kejuruan maupun lulusan universitas.
"Untuk menghindari middle income trap, Indonesia harus mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusi dengan faktor kunci adalah produktivitas sumber daya manusia, infrastruktur andal, jaring pengaman sosial yang kuat untuk melindungi mereka yang rentan dan miskin, dan institusi publik yang efisian dan bersih serta sektor swasta yang tumbuh secara sehat dan kompetitif," jelas dia.
(izz)