Libertarian Entrepreneurs

Minggu, 18 Februari 2018 - 11:09 WIB
Libertarian Entrepreneurs
Libertarian Entrepreneurs
A A A
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com


FENOMENA disrup dua-tiga tahun terakhir ini unconsciously kita sikapi secara positif dan optimistis sebagai pertanda dimasukinya milenium baru yang terang-benderang, penuh dengan produktivitas dan kemakmuran.

Change or die menjadi semacam "slogan pembenar" kejatuhan perusahaan-perusahaan besar (incumbent ) oleh "serangan digital" perusahaan-perusahaan baru (startup) seperti Tokopedia, Traveloka, atau Gojek. Karena, perusahaan-perusahaan besar itu ogah berubah, selayaknyalah jika mereka mati.

Namun, tak banyak yang tahu bahwa disrupsi digital bakal menghasilkan struktur pasar baru yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Sebuah struktur pasar monopolistik yang dikuasai segelintir elite entrepreneurs/investors. Jonathan Taplin, penulis buku Move Fast and Break Things (2017), menyebut mereka sebagai libertarian entrepreneurs/investors.

Mereka adalah sosok-sosok entrepreneurs/investors macam Peter Thiel (PayPal), Elon Musk (Tesla), Sergey Brin-Larry Page (Google), atau Jeff Bezos (Amazon) yang berpandangan progresif-liberal untuk menguasai dan mengontrol ekonomi digital dan mengambil keuntungan maksimal darinya. Welcome to the "winner-takes-all" economy. Welcome to the era of monopoly capitalism.

Celakanya, struktur pasar yang monopolistik ini bakal menghasilkan kesenjangan ekonomi yang kian tajam: yang kaya menjadi sangat kaya dan yang miskin menjadi miskin sekali.

Seorang Jeff Bezos, pemilik Amazon salah satu big disruptor misalnya, memiliki kekayaan USD108 miliar atau Rp1.450 triliun, sekitar 70% APBN Indonesia. Nilai yang pertama hanya "dimakan" oleh satu orang, sementara yang kedua oleh sekitar 265 juta manusia.

Winner Takes All

Siapa pengambil keuntungan dari adanya disrupsi digital? Pertanyaan kritis tersebut harus diajukan agar kita bisa melihat secara lebih terang dunia macam apa yang bakal kita hadapi setelah serentetan disrupsi memorakporandakan ekonomi dunia, termasuk di Indonesia.

Ketika pedagang di Glodok dan Roxi kehilangan pekerjaan karena tokonya kian sepi pembeli atau ketika Matahari dan Ramayana makin banyak menutup gerainya, kira-kira ke mana larinya omzet mereka? Gampang ditebak, ke pemain-pemain baru digital semacam Tokopedia atau Bukalapak.

Pemain-pemain digital itu selayaknya mesin vacuum cleaner, mengisap nilai (omzet) dari perusahaan-perusahaan tradisional tersebut tanpa ampun. Itu di industri ritel.

Sebelumnya, industri media mengalami nasib yang sama dan kini serentetan industri lain (telekomunikasi, keuangan, transportasi, pendidikan, turisme, dan lain-lain) sedang masif terkena gerusan disrupsi digital.

Disrupsi digital begitu merisaukan karena pengisapan kekayaan tersebut ujung-ujungnya akan bermuara ke segelintir perusahaan raksasa yang dikendalikan para libertarian entrepreneurs/investors.

Melalui buku barunya The Four (2017), secara meyakinkan Scott Galloway menunjukkan bahwa ujung-ujungnya pasar di seluruh jagat ini akan dikuasai The Big Four (sering juga disebut The Four Horsemen), yaitu Google, Amazon, Facebook, Apple.

Simpulan Galloway beralasan kalau kita melihat kekuatan monopolistik dari empat raksasa ini: Google menguasai 88% pasar mesin pencari di AS (91% di Eropa), Amazon menguasai 65% penjualan buku dunia (cetak maupun e-book), Google dan Facebook secara bersama-sama menguasai 63% pasar iklan digital di AS, Google dan Apple bersama-sama menguasai 99% pasar OS smartphone.

Penguasaan pasar secara dominan itu baru permulaan. Kini The Big Four kian agresif menguasai pasar di berbagai industri di seluruh dunia melalui akuisisi. Ya, karena kemampuan keuangan mereka hampir tanpa batas untuk mencaplok perusahaan mana pun di dunia, termasuk unicorn dari Indonesia seperti Gojek, Tokopedia, atau Traveloka.

Kalau ditotal, kapitalisasi pasar keempat perusahaan tersebut telah mencapai hampir Rp40.000 triliun atau sekitar 18 kali APBN Indonesia.

Kecewa


Melihat angka-angka penguasaan pasar dari The Big Four tersebut, Tim Berners-Lee pencipta internet (yup: world-wide web/www) barangkali kecewa. Ya, karena pada saat dia menciptakan internet, tujuan mulianya adalah demi memungkinkan umat manusia, tanpa kecuali, untuk berkomunikasi dan bertukar informasi secara mudah dan murah.

Dalam pikiran Berners-Lee, internet akan menjadi medium "milik semua umat manusia" untuk mengakses dan bertukar informasi. Dan memang Berners-Lee tidak kaya seperti Musk, Bezos, atau Page dari penemuannya.

Dia berpikir bahwa internet seharusnya benar-benar gratis, bukannya menjadi lahan bisnis melalui beragam pat-gulipat model bisnis. Namun, yang terjadi kemudian adalah para libertarian entrepreneurs/investors "membajak" internet dan menjadikannya ladang bisnis bernilai miliaran dolar dan kemudian menguasainya.

Melalui layanan seperti search engine, e-mail, atau jejaring sosial, mereka menguasai ekonomi digital secara monopolistik dan mengakumulasi kekayaan dengan ekspansi bisnis yang membabi-buta. Mereka bakal mengisap kekayaan perusahaan-perusahaan di seluruh dunia dengan satu senjata: disrupsi digital.

Milton Friedman, ekonom yang dianggap sebagai mahaguru dari para libertarian entrepreneurs/ investors, punya dogma yang menjadi keyakinan dasar mereka. Begini bunyi dogma tersebut: "There is one and only one responsiblity of a business-to increase its profits".

Kalau demikian adanya, saya menjadi pesimistis atas masa depan internet dan ekonomi digital. Di tangan para libertarian entrepreneurs/ investors, ekonomi digital bakal menciptakan kerusakan dan kegelapan.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5444 seconds (0.1#10.140)