Pemerintah Didesak Sudah Saatnya Nasionalisasi JICT
A
A
A
JAKARTA - Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bergerak cepat dalam menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus perpanjangan kontrak JICT. Keputusan ini juga menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan nasionalisasi pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia.
"Kami akan selalu memantau progres kasus (JICT) ini di KPK. Pemerintah juga bisa menjadikan putusan ini sebagai momentum 'nasionalisasi' dengan mengambil alih operasi JICT oleh Hutchison yang akan berakhir tahun 2019. Selagi tetap menjamin kepastian hukum atas konsesi pelabuhan yang akan datang," ujar Firman.
Lebih lanjut Ia menilai hasil penyidikan KPK penting dalam mengusut kontrak JICT dan kasus serupa yang merugikan Indonesia. Hal terpenting yang perlu ditindaklanjuti adalah kepastian hukum untuk investor, karena investasi di sektor pelabuhan melibatkan dana ratusan juta dolar AS dengan tingkat pengembalian yang lama.
"Justru jika diputus maka ada kepastian hukum dan investor lain yang memiliki niat baik tentu akan happy. Kasus JICT sudah sangat gamblang baik pelanggaran Undang-Undang dan kerugian negaranya. Selain itu JICT sangat layak dikelola oleh Indonesia karena SDM, peralatan dan sistem sudah sangat mumpuni. Investor bisa diberi kesempatan untuk membangun pelabuhan di daerah-daerah yang belum tergarap," paparnya.
Ia menambahkan, dalam hal pengelolaan pelabuhan petikemas TPS Surabaya, pemerintah berhasil melakukan nasionalisasi dari Dubai. Ketidakstabilan kebijakan seperti ini berdampak negatif terhadap investasi pelabuhan. Untuk itu, baik KPK dan pemerintah harus segera memutuskan sebuah sistem hukum yang menjamin kepastian investasi yang sehat hukum dan menguntungkan Indonesia.
"Pemerintah harus segera mengambil alih aset strategis nasional seperti JICT. Dan yang terpenting mengamankan gerbang ekonomi nasional karena peran JICT sangat vital terhadap pergerakan barang ekspor impor nasional. Sampai saat ini banyak ditemukan salah kelola perusahaan oleh perwakilan Hutchison di Indonesia sehingga berdampak kerugian bagi pengguna jasa pelabuhan," ucap Firman.
Sebelumnya, BPK juga menemukan pelanggaran hukum dalam kasus perpanjangan kontrak pelabuhan petikemas TPK Koja, Jakarta. Kontrak ini juga diperpanjang kepada investor Hong Kong Hutchison. Baik kontrak JICT dan TPK Koja keduanya dinyatakan bertentangan dengan hukum, sehingga harus dibatalkan.
BPK menyimpulkan terdapat penyimpangan yang saling terkait dalam kasus kontrak JICT dan Koja oleh Pelindo II kepada Hutchison. Pertama, kedua kontrak tersebut melanggar Undang-Undang nomor 17 tahun 2008 karena dilakukan tanpa izin konsesi pemerintah dan merugikan negara hampir Rp 6 trilyun.
Selanjutnya BPK juga menemukan konflik kepentingan yang dilakukan oleh Deutsche Bank karena bertindak sebagai peminjam dana kepada Pelindo II sekaligus melakukan valuasi yang hasilnya diarahkan kepada perpanjangan kontrak JICT kepada Hutchison.
"Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu, KPK dan Pemerintah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum terhadap kasus JICT dan Koja," tandasnya.
"Kami akan selalu memantau progres kasus (JICT) ini di KPK. Pemerintah juga bisa menjadikan putusan ini sebagai momentum 'nasionalisasi' dengan mengambil alih operasi JICT oleh Hutchison yang akan berakhir tahun 2019. Selagi tetap menjamin kepastian hukum atas konsesi pelabuhan yang akan datang," ujar Firman.
Lebih lanjut Ia menilai hasil penyidikan KPK penting dalam mengusut kontrak JICT dan kasus serupa yang merugikan Indonesia. Hal terpenting yang perlu ditindaklanjuti adalah kepastian hukum untuk investor, karena investasi di sektor pelabuhan melibatkan dana ratusan juta dolar AS dengan tingkat pengembalian yang lama.
"Justru jika diputus maka ada kepastian hukum dan investor lain yang memiliki niat baik tentu akan happy. Kasus JICT sudah sangat gamblang baik pelanggaran Undang-Undang dan kerugian negaranya. Selain itu JICT sangat layak dikelola oleh Indonesia karena SDM, peralatan dan sistem sudah sangat mumpuni. Investor bisa diberi kesempatan untuk membangun pelabuhan di daerah-daerah yang belum tergarap," paparnya.
Ia menambahkan, dalam hal pengelolaan pelabuhan petikemas TPS Surabaya, pemerintah berhasil melakukan nasionalisasi dari Dubai. Ketidakstabilan kebijakan seperti ini berdampak negatif terhadap investasi pelabuhan. Untuk itu, baik KPK dan pemerintah harus segera memutuskan sebuah sistem hukum yang menjamin kepastian investasi yang sehat hukum dan menguntungkan Indonesia.
"Pemerintah harus segera mengambil alih aset strategis nasional seperti JICT. Dan yang terpenting mengamankan gerbang ekonomi nasional karena peran JICT sangat vital terhadap pergerakan barang ekspor impor nasional. Sampai saat ini banyak ditemukan salah kelola perusahaan oleh perwakilan Hutchison di Indonesia sehingga berdampak kerugian bagi pengguna jasa pelabuhan," ucap Firman.
Sebelumnya, BPK juga menemukan pelanggaran hukum dalam kasus perpanjangan kontrak pelabuhan petikemas TPK Koja, Jakarta. Kontrak ini juga diperpanjang kepada investor Hong Kong Hutchison. Baik kontrak JICT dan TPK Koja keduanya dinyatakan bertentangan dengan hukum, sehingga harus dibatalkan.
BPK menyimpulkan terdapat penyimpangan yang saling terkait dalam kasus kontrak JICT dan Koja oleh Pelindo II kepada Hutchison. Pertama, kedua kontrak tersebut melanggar Undang-Undang nomor 17 tahun 2008 karena dilakukan tanpa izin konsesi pemerintah dan merugikan negara hampir Rp 6 trilyun.
Selanjutnya BPK juga menemukan konflik kepentingan yang dilakukan oleh Deutsche Bank karena bertindak sebagai peminjam dana kepada Pelindo II sekaligus melakukan valuasi yang hasilnya diarahkan kepada perpanjangan kontrak JICT kepada Hutchison.
"Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu, KPK dan Pemerintah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum terhadap kasus JICT dan Koja," tandasnya.
(akr)