Pirates of the Internet
A
A
A
MISI Tim Berners-Lee saat merintis dan menciptakan World-Wide Web pada 1988 sangatlah mulia, yaitu untuk menciptakan sebuah platform jejaring elektronik berskala global yang memungkinkan setiap penduduk bumi untuk berkomunikasi data dan informasi secara mudah, terbuka, dan gratis.
Berners-Lee bermimpi suatu saat seluruh umat manusia akan memiliki universal access kepada informasi dan pengetahuan melalui medium yang sekarang kita kenal luas sebagai internet. Dengan universal access ini, diharapkan pemerataan pendidikan, kemajuan peradaban, demokrasi politik, kemakmuran ekonomi dan segudang kebaikan lain akan bisa diwujudkan.
Celakanya, misi mulia tersebut urung terwujud karena tak lama setelah itu muncul segelintir pebisnis oportunis yang dengan kemampuannya di bidang teknologi ”membajak” internet, menjadikannya ladang bisnis bernilai triliunan dolar, dan kemudian menguasainya untuk kepentingan selfish memupuk kekayaan secara berlebihan.
Para ”pembajak internet” ini tak lain adalah para libertarian entrepreneurs/ investors yang dengan ketamakannya memiliki obsesi megalomania untuk mengendalikan dan menguasai ekonomi dunia. Mereka adalah sosok-sosok yang kita elu-elukan selama ini semacam Peter Thiel (PayPal), Larry Page dan Eric Schmidt (Google), Sean Parker (Napster), Jeff Bezos (Amazon), Mark Zuckerberg (Facebook), Evan Williams (Twitter), dan masih banyak yang lain.
Berbekal ideologi libertarianisme (mengacu kepada ajaran ekonom Milton Friedman dan filosof Ayn Rand) secara agresif mereka mengubah internet yang harusnya merupakan ”universal utilities” bagi seluruh umat manusia menjadi imperium bisnis yang secara monopolistik mereka kuasai.
Caranya dengan menciptakan apa yang disebut ”surveillance marketing business ”, yaitu bisnis menjual informasi pribadi kita kepada para pengiklan dengan mengadopsi model bisnis yang awalnya terkesan indah, tapi sesungguhnya sangat membahayakan privasi dan nasib kita. Prinsip model bisnis ini berbunyi: ”If you’re not paying for something, you’re not the customer; you’re the product being sold.
”Dengan menjual data pribadi kita, perusahaan seperti Google, Facebook, Twitter, atau Amazon mengeruk uang miliaran dolar dari internet. Internet menjadi ladang emas bagi para libertarian entrepreneurs/ investors . Ironis, karena Berners-Lee sebagai pencipta internet justru tidak mendapatkan apa-apa dari hasil ciptaannya.
Ia tidak kaya seperti Zuckerberg atau Bezos (Bezos kini adalah orang terkaya sejagat dengan kekayaan sekitar Rp1.500 triliun atau sekitar 70% APBN kita). Ya, karena dari awal ia mempersembahkan ciptaannya bagi umat manusia secara ikhlas, bukan untuk mengeruk kekayaan.
Ketika detail-detail informasi pribadi kita (tulisan surat kita di Gmail, search query kita di Google, twit-twit kita di Twitter, atau posting kita di Facebook) ada di tangan mereka, nasib kita ada di tangan mereka. Nasib kita ditentukan oleh rumus algoritma mereka yang sama sekali tidak kita ketahui.
Selama ini kita hanya sibuk ber-Facebook ria, ngetwit, atau berselancar di mesin pencari Google tanpa kita sadari bahwa sesungguhnya preferensi, perilaku, aspirasi, dan pola pikir kita dibentuk oleh rumus algoritma mereka.
Pertanyaannya, ketika mereka mendapatkan privilesememegang data pribadi kita, apakah mereka bakal bisa memegang amanah? Siapa yang bisa jamin? Mereka akan memperlakukan data pribadi kita semau mereka mengikuti kepentingan bisnis me reka untuk mengeruk profit sebanyak mungkin. Inilah ideologi dasar dari paham libertarianisme yang mereka pegang teguh.
Awalnya memang kita tidak resah. Namun, kini ketika penguasa an mereka terhadap internet mengarah ke hegemoni monopolistik, kita mulai berpikir dan prihatin. Ingat, kini Google sudah menguasai 88% bisnis pencarian di internet (online search) dan iklan berbasis pencarian (search ads). Dengan Android, Google juga menguasai 80% sistem operasi ponsel.
Amazon telah menguasai 70% seluruh penjualan e-book dunia. Sementara Facebook kini telah menguasai 77% pasar jejaring sosial. By-default, memang persaingan di jagat digital/internet mengarah ke persaingan monopolistik: ”winner-takesall”. Persis seperti dikatakan oleh Peter Thiel dalam Zero to One, pasar monopo listik ini terwujud karena empat faktor kunci: propri e tar y technology, economies of scale, network effect, dan the power of branding.
Di tangan para pembajak (ala Jack Sparrow dalam film Pirates of the Caribbean ), internet kini berubah fungsi dari ”universal information platform ” seperti divisikan oleh Berners-Lee menjadi ”citizen surveillance platform ”. Kalau sudah begini, saya menjadi teringat novel legendaris George Orwell berjudul 1984.
Dalam novel itu digambarkan sebuah negara penuh tirani di mana sang penguasa mengawasi setiap gerak-gerik warga negaranya. Saya melihat apa yang digambarkan novel tersebut mirip dengan kondisi saat ini.
Bedanya, yang mengawasi kini bukanlah pemerintah dan para diktator sekejam Hitler atau Mussolini, tapi perusahaan-perusahaan raksasa macam Google, Facebook, atau Amazon. Kalau tren ini terus berlangsung, nanti yang berkuasa bukan lagi negara atau PBB, tapi raksasa- raksasa korporasi digital berikut para pemimpinnya, yaitu para libertarian entrepreneurs/ investors .
Melihat sepak terjang raksasaraksasa digital di atas, saya jadi ingat sejarah East India Company, EIC (di Indonesia kita mengenal VOC), yaitu raksasa korporasi abad ke-17 dari Inggris yang mengelana ke seluruh dunia untuk mencari daerah-daerah jajahan baru agar bisa merampok lada, pala, atau cengkihnya.
Raksasa-raksasa digital abad ke- 21 sesungguhnya mirip dengan EIC maupun VOC di abad ke-17. Bedanya, kini daerah jajahan barunya adalah internet; dan kini lada, pala, dan cengkihnya adalah data kita yang dimonetisasi menjadi kekayaan triliunan dolar.
Masih ada satu kesamaan lagi, baik Google, Amazon, maupun VOC digerakkan oleh para libertarian entrepreneurs/ investors yang tak pernah puas menumpuk kekayaan dan menimbun kekuasaan.
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com
Berners-Lee bermimpi suatu saat seluruh umat manusia akan memiliki universal access kepada informasi dan pengetahuan melalui medium yang sekarang kita kenal luas sebagai internet. Dengan universal access ini, diharapkan pemerataan pendidikan, kemajuan peradaban, demokrasi politik, kemakmuran ekonomi dan segudang kebaikan lain akan bisa diwujudkan.
Celakanya, misi mulia tersebut urung terwujud karena tak lama setelah itu muncul segelintir pebisnis oportunis yang dengan kemampuannya di bidang teknologi ”membajak” internet, menjadikannya ladang bisnis bernilai triliunan dolar, dan kemudian menguasainya untuk kepentingan selfish memupuk kekayaan secara berlebihan.
Para ”pembajak internet” ini tak lain adalah para libertarian entrepreneurs/ investors yang dengan ketamakannya memiliki obsesi megalomania untuk mengendalikan dan menguasai ekonomi dunia. Mereka adalah sosok-sosok yang kita elu-elukan selama ini semacam Peter Thiel (PayPal), Larry Page dan Eric Schmidt (Google), Sean Parker (Napster), Jeff Bezos (Amazon), Mark Zuckerberg (Facebook), Evan Williams (Twitter), dan masih banyak yang lain.
Berbekal ideologi libertarianisme (mengacu kepada ajaran ekonom Milton Friedman dan filosof Ayn Rand) secara agresif mereka mengubah internet yang harusnya merupakan ”universal utilities” bagi seluruh umat manusia menjadi imperium bisnis yang secara monopolistik mereka kuasai.
Caranya dengan menciptakan apa yang disebut ”surveillance marketing business ”, yaitu bisnis menjual informasi pribadi kita kepada para pengiklan dengan mengadopsi model bisnis yang awalnya terkesan indah, tapi sesungguhnya sangat membahayakan privasi dan nasib kita. Prinsip model bisnis ini berbunyi: ”If you’re not paying for something, you’re not the customer; you’re the product being sold.
”Dengan menjual data pribadi kita, perusahaan seperti Google, Facebook, Twitter, atau Amazon mengeruk uang miliaran dolar dari internet. Internet menjadi ladang emas bagi para libertarian entrepreneurs/ investors . Ironis, karena Berners-Lee sebagai pencipta internet justru tidak mendapatkan apa-apa dari hasil ciptaannya.
Ia tidak kaya seperti Zuckerberg atau Bezos (Bezos kini adalah orang terkaya sejagat dengan kekayaan sekitar Rp1.500 triliun atau sekitar 70% APBN kita). Ya, karena dari awal ia mempersembahkan ciptaannya bagi umat manusia secara ikhlas, bukan untuk mengeruk kekayaan.
Ketika detail-detail informasi pribadi kita (tulisan surat kita di Gmail, search query kita di Google, twit-twit kita di Twitter, atau posting kita di Facebook) ada di tangan mereka, nasib kita ada di tangan mereka. Nasib kita ditentukan oleh rumus algoritma mereka yang sama sekali tidak kita ketahui.
Selama ini kita hanya sibuk ber-Facebook ria, ngetwit, atau berselancar di mesin pencari Google tanpa kita sadari bahwa sesungguhnya preferensi, perilaku, aspirasi, dan pola pikir kita dibentuk oleh rumus algoritma mereka.
Pertanyaannya, ketika mereka mendapatkan privilesememegang data pribadi kita, apakah mereka bakal bisa memegang amanah? Siapa yang bisa jamin? Mereka akan memperlakukan data pribadi kita semau mereka mengikuti kepentingan bisnis me reka untuk mengeruk profit sebanyak mungkin. Inilah ideologi dasar dari paham libertarianisme yang mereka pegang teguh.
Awalnya memang kita tidak resah. Namun, kini ketika penguasa an mereka terhadap internet mengarah ke hegemoni monopolistik, kita mulai berpikir dan prihatin. Ingat, kini Google sudah menguasai 88% bisnis pencarian di internet (online search) dan iklan berbasis pencarian (search ads). Dengan Android, Google juga menguasai 80% sistem operasi ponsel.
Amazon telah menguasai 70% seluruh penjualan e-book dunia. Sementara Facebook kini telah menguasai 77% pasar jejaring sosial. By-default, memang persaingan di jagat digital/internet mengarah ke persaingan monopolistik: ”winner-takesall”. Persis seperti dikatakan oleh Peter Thiel dalam Zero to One, pasar monopo listik ini terwujud karena empat faktor kunci: propri e tar y technology, economies of scale, network effect, dan the power of branding.
Di tangan para pembajak (ala Jack Sparrow dalam film Pirates of the Caribbean ), internet kini berubah fungsi dari ”universal information platform ” seperti divisikan oleh Berners-Lee menjadi ”citizen surveillance platform ”. Kalau sudah begini, saya menjadi teringat novel legendaris George Orwell berjudul 1984.
Dalam novel itu digambarkan sebuah negara penuh tirani di mana sang penguasa mengawasi setiap gerak-gerik warga negaranya. Saya melihat apa yang digambarkan novel tersebut mirip dengan kondisi saat ini.
Bedanya, yang mengawasi kini bukanlah pemerintah dan para diktator sekejam Hitler atau Mussolini, tapi perusahaan-perusahaan raksasa macam Google, Facebook, atau Amazon. Kalau tren ini terus berlangsung, nanti yang berkuasa bukan lagi negara atau PBB, tapi raksasa- raksasa korporasi digital berikut para pemimpinnya, yaitu para libertarian entrepreneurs/ investors .
Melihat sepak terjang raksasaraksasa digital di atas, saya jadi ingat sejarah East India Company, EIC (di Indonesia kita mengenal VOC), yaitu raksasa korporasi abad ke-17 dari Inggris yang mengelana ke seluruh dunia untuk mencari daerah-daerah jajahan baru agar bisa merampok lada, pala, atau cengkihnya.
Raksasa-raksasa digital abad ke- 21 sesungguhnya mirip dengan EIC maupun VOC di abad ke-17. Bedanya, kini daerah jajahan barunya adalah internet; dan kini lada, pala, dan cengkihnya adalah data kita yang dimonetisasi menjadi kekayaan triliunan dolar.
Masih ada satu kesamaan lagi, baik Google, Amazon, maupun VOC digerakkan oleh para libertarian entrepreneurs/ investors yang tak pernah puas menumpuk kekayaan dan menimbun kekuasaan.
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com
(nfl)