Ketika Pisau Bermata Dua
A
A
A
PELEMAHAN rupiah yang terjadi di sepanjang awal tahun ini telah menimbulkan "pro-kontra" di kalangan pengusaha. Ada yang senang karena bisa menikmati pelemahan itu, ada juga yang merasa waswas. Pelemahan rupiah memang seperti dua sisi mata pisau. "Di satu sisi menguntungkan, di lain sisi bisa merugikan," ujar Bhima Yudhistira, peneliti Indef, Kamis (8/3/2018) pekan lalu.
Industri yang masuk dalam kelompok waswas adalah industri makanan dan minuman (mamin), farmasi, tekstil, dan petrokimia. Mereka dihantui pelemahan rupiah yang berkepanjangan lantaran bahan baku produksinya masih didominasi bahan impor, yakni rata-rata di atas 60%.
Industri mamin malah menggunakan beberapa bahan baku yang impornya bisa mencapai 100%. Sebut saja misalnya gula dan terigu yang impornya mencapai 100%, sedangkan garam, susu, dan kedelai kandungan impornya mencapai 70%. "Jadi, masih banyak yang tinggi ketergantungannya," kata Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, Rabu (7/3/2018) pekan lalu.
Makanya industri mamin berharap agar pelemahan rupiah ini tidak berkepanjangan. Sebab, kalau berlangsung lama, tentu bisa merepotkan mereka. Pelemahan rupiah yang berlangsung terus akan mengganggu rencana jangka panjang yang sudah disusun, apalagi mereka juga punya kontrak jangka panjang dengan para pembeli dan penyuplai. "Kalau harganya fluktuatif, tentu akan merepotkan kita. Pastinya akan berpengaruh juga terhadap yang lain-lain, seperti biaya logistik dan biaya distribusi," tambah Adhi.
Saat ini, industri mamin memang masih bisa "bertahan" dengan cadangan yang mereka miliki sampai satu bulan ke depan. Jika rupiah terus melemah sampai melewati masa cadangan, mereka akan melakukan sejumlah kalkulasi. Nah, industri mamin ternyata lebih memilih mengurangi keuntungan ketimbang penjualannya yang anjlok.
Lalu siapa saja yang menangguk untung dari pelemahan rupiah ini? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 02-07 Tahun 2018 yang terbit Senin (12/3/2018) hari ini.
Industri yang masuk dalam kelompok waswas adalah industri makanan dan minuman (mamin), farmasi, tekstil, dan petrokimia. Mereka dihantui pelemahan rupiah yang berkepanjangan lantaran bahan baku produksinya masih didominasi bahan impor, yakni rata-rata di atas 60%.
Industri mamin malah menggunakan beberapa bahan baku yang impornya bisa mencapai 100%. Sebut saja misalnya gula dan terigu yang impornya mencapai 100%, sedangkan garam, susu, dan kedelai kandungan impornya mencapai 70%. "Jadi, masih banyak yang tinggi ketergantungannya," kata Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, Rabu (7/3/2018) pekan lalu.
Makanya industri mamin berharap agar pelemahan rupiah ini tidak berkepanjangan. Sebab, kalau berlangsung lama, tentu bisa merepotkan mereka. Pelemahan rupiah yang berlangsung terus akan mengganggu rencana jangka panjang yang sudah disusun, apalagi mereka juga punya kontrak jangka panjang dengan para pembeli dan penyuplai. "Kalau harganya fluktuatif, tentu akan merepotkan kita. Pastinya akan berpengaruh juga terhadap yang lain-lain, seperti biaya logistik dan biaya distribusi," tambah Adhi.
Saat ini, industri mamin memang masih bisa "bertahan" dengan cadangan yang mereka miliki sampai satu bulan ke depan. Jika rupiah terus melemah sampai melewati masa cadangan, mereka akan melakukan sejumlah kalkulasi. Nah, industri mamin ternyata lebih memilih mengurangi keuntungan ketimbang penjualannya yang anjlok.
Lalu siapa saja yang menangguk untung dari pelemahan rupiah ini? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 02-07 Tahun 2018 yang terbit Senin (12/3/2018) hari ini.
(amm)