BI Ungkap Penyebab Pelemahan Rupiah 0,27% Sepanjang Maret 2018
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menyebutkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) mengalami pelemahan sekitar 0,27% hingga 14 Maret 2018. Hal ini terutama disebabkan oleh gejolak di pasar keuangan global.
(Baca Juga: BI: Nilai Tukar Rupiah Belum Sesuai Fundamental
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Doddy Zulferdi mengungkapkan, tren pelemahan ini disebabkan sentimen rencana kenaikan suku bunga oleh The Fed pada akhir bulan ini. Namun, pelemahan nilai tukar mata uang Garuda lebih minim dibanding beberapa negara lain di dunia.
"Rupiah memang masih sedikit melemah, namun dibandingkan negara high yield ciuntry, pelemahan rupiah ini masih cukup minim dan lebih terjaga," katanya di Gedung BI, Jakarta, Rabu (14/3/2018).
Menurutnya, hanya Afrika Selatan yang pelamahan mata uangnya lebih rendah dari Indonesia yaitu hanya sekitar 0,17%. Sementara negara lainnya seperti Turki mata uangnya telah melemah 0,32%, Brazil 0,28% dan Rusia 0,49%.
Dia meyakini, rupiah memiliki peluang besar untuk kembali menguat. Namun, prosesnya akan terjadi pasca pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 21 Maret 2018 mendatang. Hal ini karena berbagai indikator ekonomi dalam negeri Indonesia menunjukkan data yang cukup positif, di antaranya inflasi yang tetap terjaga, pertumbuhan ekonomi lebih baik dan juga cadangan devisa sangat mencukupi.
"Jadi sebenarnya kalau melihat dari sisi domestik masih banyak peluang rupiah untuk kembali menguat di level fundamentalnya. Apalagi setelag FOMC meeting terlaksana nanti pasar akan lebih stabil," tandasnya.
(Baca Juga: BI: Nilai Tukar Rupiah Belum Sesuai Fundamental
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Doddy Zulferdi mengungkapkan, tren pelemahan ini disebabkan sentimen rencana kenaikan suku bunga oleh The Fed pada akhir bulan ini. Namun, pelemahan nilai tukar mata uang Garuda lebih minim dibanding beberapa negara lain di dunia.
"Rupiah memang masih sedikit melemah, namun dibandingkan negara high yield ciuntry, pelemahan rupiah ini masih cukup minim dan lebih terjaga," katanya di Gedung BI, Jakarta, Rabu (14/3/2018).
Menurutnya, hanya Afrika Selatan yang pelamahan mata uangnya lebih rendah dari Indonesia yaitu hanya sekitar 0,17%. Sementara negara lainnya seperti Turki mata uangnya telah melemah 0,32%, Brazil 0,28% dan Rusia 0,49%.
Dia meyakini, rupiah memiliki peluang besar untuk kembali menguat. Namun, prosesnya akan terjadi pasca pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 21 Maret 2018 mendatang. Hal ini karena berbagai indikator ekonomi dalam negeri Indonesia menunjukkan data yang cukup positif, di antaranya inflasi yang tetap terjaga, pertumbuhan ekonomi lebih baik dan juga cadangan devisa sangat mencukupi.
"Jadi sebenarnya kalau melihat dari sisi domestik masih banyak peluang rupiah untuk kembali menguat di level fundamentalnya. Apalagi setelag FOMC meeting terlaksana nanti pasar akan lebih stabil," tandasnya.
(akr)