Indef: UMKM Go Public Harus Dipermudah
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mendesak adanya kemudahan bagi UMKM yang ingin terjun ke Bursa Efek Indonesia (BEI). "Indonesia belum memberi ruang yang cukup bagi perusahaan dan usaha menengah kecil ke bursa. Salah satu alasannya karena perusahaan yang listing di bursa harus memenuhi syarat likuiditas," tuturnya, Jumat (4/5/2018).
BEI memiliki ketentuan hanya perusahaan yang memiliki aset minimal Rp5 miliar yang bisa mencatatkan sahamnya. Menurutnya, persyaratan-persyaratan tersebut cukup memberatkan. Kebijakan tersebut, lanjut Bhima, harus diubah agar UMKM punya kesempatan lebih besar melantai di bursa. "Seharusnya dipermudah; selain soal syarat saham minimum yang harus dilepas ke publik, juga soal ketentuan perusahaan dalam dua tahun setelah IPO wajib untung," ungkapnya.
Selain IPO, menurutnya, UMKM bisa mengambil opsi penerbitan surat utang (obligasi) sebagai instrumen pendanaan lewat pasar modal. Artinya, hasil UMKM dapat diperdagangkan dengan jumlah yang cukup dan berlaku untuk perusahaan pemula atau startup sehingga ruang inkubasi modal tersedia. "Regulasinya mirip sandbox seperti aturan fintech. Jadi, dengan cara itu tidak menutup ruang perusahaan kecil-menengah bisa listing di bursa," tambahnya.
Sebelumnya, pekan lalu, Ketua Umum DPP Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) melalui akun Twitter-nya @Hary_Tanoe, berharap pintu UMKM untuk go public dibuka seluas-luasnya. Itu agar UMKM bisa menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat supaya bisa maju. Pria asal Surabaya, Jawa Timur itu mendorong perusahaan besar dan kecil di Tanah Air untuk go public sehingga menciptakan investasi, lapangan kerja, dan pemerataan. Investasi sangat dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia.
Di sisi lain, kebutuhan lapangan pekerjaan sangat besar di tengah kondisi Indonesia yang mengalami bonus demografi. Selama ini, UMKM menjadi salah satu sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, UMKM menyerap tenaga kerja lebih dari 114 juta orang di hampir 58 juta unit usaha.
(amm)
BEI memiliki ketentuan hanya perusahaan yang memiliki aset minimal Rp5 miliar yang bisa mencatatkan sahamnya. Menurutnya, persyaratan-persyaratan tersebut cukup memberatkan. Kebijakan tersebut, lanjut Bhima, harus diubah agar UMKM punya kesempatan lebih besar melantai di bursa. "Seharusnya dipermudah; selain soal syarat saham minimum yang harus dilepas ke publik, juga soal ketentuan perusahaan dalam dua tahun setelah IPO wajib untung," ungkapnya.
Selain IPO, menurutnya, UMKM bisa mengambil opsi penerbitan surat utang (obligasi) sebagai instrumen pendanaan lewat pasar modal. Artinya, hasil UMKM dapat diperdagangkan dengan jumlah yang cukup dan berlaku untuk perusahaan pemula atau startup sehingga ruang inkubasi modal tersedia. "Regulasinya mirip sandbox seperti aturan fintech. Jadi, dengan cara itu tidak menutup ruang perusahaan kecil-menengah bisa listing di bursa," tambahnya.
Sebelumnya, pekan lalu, Ketua Umum DPP Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) melalui akun Twitter-nya @Hary_Tanoe, berharap pintu UMKM untuk go public dibuka seluas-luasnya. Itu agar UMKM bisa menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat supaya bisa maju. Pria asal Surabaya, Jawa Timur itu mendorong perusahaan besar dan kecil di Tanah Air untuk go public sehingga menciptakan investasi, lapangan kerja, dan pemerataan. Investasi sangat dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia.
Di sisi lain, kebutuhan lapangan pekerjaan sangat besar di tengah kondisi Indonesia yang mengalami bonus demografi. Selama ini, UMKM menjadi salah satu sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, UMKM menyerap tenaga kerja lebih dari 114 juta orang di hampir 58 juta unit usaha.
(amm)