Bea Cukai Berantas Peredaran Barang yang Langgar HaKI
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah meningkatkan perhatian terhadap peredaran barang-barang yang melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) yang berpotensi merugikan perekonomian Indonesia.
Di tahun 2014, survei yang dilaksanakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) bekerja sama dengan organisasi Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) mendapati kerugian ekonomi yang timbul akibat peredaran barang-barang palsu tersebut mencapai lebih dari Rp65 triliun.
"Sebagai bentuk keseriusan pemerintah, Kementerian Keuangan telah menerbitkan aturan terkait pengendalian impor dan ekspor barang yang diduga merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran HaKI. Hal ini dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri serta menciptakan dalam menjalankan usaha bagi para pelaku usaha yang taat pada aturan perpajakan," ujar Humas Bea Cukai Robert M dalam siaran pers, Senin (7/5/2018).
Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.04/2018, Kementerian Keuangan melalui Bea Cukai telah mengatur terkait Perekaman, Penegahan, Jaminan, Penangguhan Sementara, Monitoring, dan Evaluasi Dalam Rangka Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran HaKI.
Mekanisme pengendalian atas impor atau ekspor barang yang diduga dari hasil pelanggaran HaKI nantinya akan menggunakan skema Ex Officio Scheme di mana prosesnya didasarkan dari hasil perekaman pada sistem Perekaman Bea Cukai. Pemilik atau Pemegang Hak atas merek dan/ata hak cipta dapat mengajukan permohonan perekaman data HaKI kepada Bea Cukai.
"Ketentuan terkait pengajuan permohonan perekaman data HaKI dapat dilihat di PMK 40, selain mengatur hal tersebut, diatur juga beberapa hal di antaranya terkait penelitian yang dilakukan oleh Pejabat Bea Cukai terhadap permohonan tersebut," papar Robert.
Dengan telah ditetapkannya regulasi ini, diharapkan akan semakin memberikan kepastian hukum bagi para pemegang Merek dan Hak Cipta. Dengan demikian, potensi kerugian ekonomi yang terjadi akibat tidak terpenuhinya hak negara dalam hal pembayaran pajak dapat dihindarkan.
Di tahun 2014, survei yang dilaksanakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) bekerja sama dengan organisasi Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) mendapati kerugian ekonomi yang timbul akibat peredaran barang-barang palsu tersebut mencapai lebih dari Rp65 triliun.
"Sebagai bentuk keseriusan pemerintah, Kementerian Keuangan telah menerbitkan aturan terkait pengendalian impor dan ekspor barang yang diduga merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran HaKI. Hal ini dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri serta menciptakan dalam menjalankan usaha bagi para pelaku usaha yang taat pada aturan perpajakan," ujar Humas Bea Cukai Robert M dalam siaran pers, Senin (7/5/2018).
Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.04/2018, Kementerian Keuangan melalui Bea Cukai telah mengatur terkait Perekaman, Penegahan, Jaminan, Penangguhan Sementara, Monitoring, dan Evaluasi Dalam Rangka Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran HaKI.
Mekanisme pengendalian atas impor atau ekspor barang yang diduga dari hasil pelanggaran HaKI nantinya akan menggunakan skema Ex Officio Scheme di mana prosesnya didasarkan dari hasil perekaman pada sistem Perekaman Bea Cukai. Pemilik atau Pemegang Hak atas merek dan/ata hak cipta dapat mengajukan permohonan perekaman data HaKI kepada Bea Cukai.
"Ketentuan terkait pengajuan permohonan perekaman data HaKI dapat dilihat di PMK 40, selain mengatur hal tersebut, diatur juga beberapa hal di antaranya terkait penelitian yang dilakukan oleh Pejabat Bea Cukai terhadap permohonan tersebut," papar Robert.
Dengan telah ditetapkannya regulasi ini, diharapkan akan semakin memberikan kepastian hukum bagi para pemegang Merek dan Hak Cipta. Dengan demikian, potensi kerugian ekonomi yang terjadi akibat tidak terpenuhinya hak negara dalam hal pembayaran pajak dapat dihindarkan.
(fjo)