Euforia Politik Jangan Ganggu Ekonomi

Selasa, 03 Juli 2018 - 08:16 WIB
Euforia Politik Jangan Ganggu Ekonomi
Euforia Politik Jangan Ganggu Ekonomi
A A A
JAKARTA - Euforia politik paska pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak serta menjelang tahapan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilu legislatif 2019 jangan sampai menggangu kinerja perekonomian nasional. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di tengah kondisi ekonomi yang masih bergejolak.

Pekan lalu, masyarakat di sejumlah daerah baru saja mengikuti pilkada gubernur, wali kota dan bupati. Dari rangkaian hajatan demokrasi ini, muncul kejutan-kejutan dengan terpilihnya figur pemimpin daerah baru meski pengumuman resminya belum disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Setelah pilkada, rangkaian pesta demokrasi akan berlanjut ke tahapan pilpres dan pileg 2019. Momentum ini diyakini bakal menguras energi para politisi karena mereka harus mengamankan jagoan masing-masing untuk berlaga tahun depan.

Kondisi ini yang dikhawatirkan kalangan pengusaha. Mereka ingin pemerintah berperan menjaga kondisi dan stabilitas dalam negeri kendati euforia politik semakin kentara. Maklum, dalam beberapa bulan terakhir sejumlah indikatir ekonomi dalam negeri masih belum menunjukkan perbaikan signifikan.

Lihat saja nilai tukar rupiah yang kemarin masih melemah dan kini berada di kisaran Rp14.331 per dolar Amerika Serikat (AS) berasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) yang dikutip dari situs resmi BI, kemarin. Pada akhir pekan lalu, Jumat (29/6), rupiah bahkan sempat terpuruk di rekor terendah sejak 2015 lalu yakni di level Rp14.404 per dolar AS.

Demikian juga dengan neraca perdagangan yang hingga Mei lalu masih mengalami defisit USD2,83 miliar. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), di bulan kelima dan keempat 2018, neraca perdagangan Indonesia berturut-turut mengalami defisit sebesar USD1,62 dan USD1,52 miliar. Selama lima bulan pertama di 2018, tercatat hanya bulan Maret neraca perdagangan Indonesia membukukan kinerja positif yakni sebesar USD1,12 miliar.

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia mengakui, saat ini banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan di tengah kondisi global yang tak menentu. Dia mencontohkan, kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar yang masih saja melemah.

“Kalau dari sisi politik, kita maknai bahwa Pilkada itu adalah proses yang harus dilalui secara nasional, sebab itu menjadi hak masing-masing-masing-masing warga negara. Namun bicara ekonomi kita punya banyak pekerjaan rumah, nilai tukar yang masih melemah, naiknya suku bunga ini semua membutuhkan perhatian besar pemerintah,” ujarnya kepada KORAN SINDO di Jakarta, kemarin.

Seperti diberitakan sebelumnya, pada pekan lalu BI menaikkan suku bunga acuan BI 7 Day-Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 5,25%. Ini adalah kenaikan suku bunga acuan ketiga kalinya dalam waktu sebulan setengah akibat terus melemahnya nilai tukar rupiah.Sebelumnya, pada 17 Mei 2018, BI mengerek suku bunga acuan dari semula 4,25% menjadi 4,50%. Selang dua pekan berikutnya, tepatnya pada 30 Mei 2018, suku bunga acuan BI kembali dinaikkan menjadi 4,75%.
Bahlil menambahkan, melihat beberapa indikator ekonomi yang melemah, pemerintah harus tetap konsisten bisa menjaga target pertumbuhan ekonomi, serta asumsi makro lainnya termasuk nilai tukar terhadap dolar dan inflasi sebagaimana tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Menurutnya, dalam kondisi apapun konsumsi masyarakat harus tetap berjalan karena merupakan bagian utama penopang pertumbuhan.

Namun di sisi lain , kata dia, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang kini menjadi 5,25% akan memberikan pengaruh pada harga pokok produksi di kalangan dunia usaha. “Makanya, stabilitas politik harus tetap dijaga dan jangan gaduh. Tetap perhatikan sektor-sektor ekonomi yang vital,” ujar Bahlil.

Dia menambahkan, kebijakan baru yang berkaitan dengan suku bunga dan nilai tukar akan memberikan efek terhadap kenaikan barang produksi. Sehingga, harus dibarengi dengan kebijakan lain atau intervensi yang memudahkan kalangan usaha.

“Misalnya berikan insentif atau stimulus. Sebab bagaimana pun konsumsi harus bergerak sektor riil juga bergerak dan ini bukan tugas yang mudah,” pungkasnya.

Ketua Umum DPP Indonesia National Shipowner’s Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, para pelaku usaha pelayaran nasional mengharapkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang lebih stabil. Menurut Carmelita, stabilitas nilai tukar rupiah tehadap dolar AS sangat dibutuhkan para pelaku usaha nasional dalam rangka menyusun kembali rencana bisnis perusahaan.“Kami harap tentunya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ini cepat stabil. Karena kita perlu menyesuaikan dan menata ulang rencana bisnis jika terjadi fluktuasi nilai tukar mata uang,” katanya.
Menurutnya, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika membuat perusahaan cukup berdampak pada beban biaya perusahaan. Hal ini tidak lepas dari beberapa komponen beban perusahaan yang harus dibayarkan dalam bentuk dolar AS.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah Indonesia mewaspadai dinamika kebijakan perdagangan antara AS dan China yang ketegangannya diperkirakan akan berlanjut dalam jangka waktu yang panjang.

"Indonesia perlu untuk mewaspadai bahwa terjadi dinamika yang tinggi antara negara-negara Barat dan RRC. Dan itu dampaknya menimbulkan `spillover`," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani menyampaikan bahwa gejolak tersebut akan membuat beberapa indikator mengalami pergerakan dan bisa menimbulkan tekanan ke pertumbuhan ekonomi.

"Kita dihadapkan suasana global yang bergerak. Memang dampaknya dengan suku bunga acuan (BI) naik, mungkin pertumbuhan ekonomi akan tertekan itu tidak bisa dihindari," ucap Sri Mulyani.

Lebih lanjut, dia menjelaskan situasi dunia saat ini mengalami kondisi normal baru (new normal) di mana tingkat suku bunga meningkat, adanya ketidakpastian karena perang tarif, serta perubahan harga minyak. Menurutnya, penyesuaian akibat membaiknya perekonomian di AS masih akan terus berlangsung, dan reaksi dari negara-negara lain yang terpengaruh kebijakan AS di bidang perdagangan juga sedang dimulai.

Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan mencoba melakukan bauran kebijakan untuk mengisi kebijakan suku bunga dan relaksasi kredit oleh Bank Indonesia (BI). "Kami lakukan di fiskal melalui insentif, pajak, dan juga sisi belanja. Tujuannya adalah untuk mengurangi tekanan di perekonomian kita," ujar dia.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini M Soemarno mengatakan, perusahaan pelat merah telah bersiap untuk mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah. Pihaknya telah menyiapkan langkah untuk hadapi dengan baik dan semua sudah diantisipasi seperti sebagian BUMN yang telah melakukan lindung nilai (hedging).

Perlu Pendelegasian
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, hal paling krusial ketika tokoh pemerintah menghadapi Pemilu adalah pendelegasian tugas kepada bawahannya yang harus dilakukan secara jelas dan terkoordinasi.

Menurutnya, tahun politik termasuk periode yang riskan dan bisa berpotensi menggangu target pertumbuhan yang dicanangkan pemerintah di kisaran 5,4%. “Belum lagi dari sisi sosial ingin menekan kemiskinan di bawah 10%,” ujar dia.

Bhima menambahkan, jajaran pemerintahan di Kabinet Presiden Jokowi – Jusuf Kalla hendaknya membuktikan bahwa mereka tetap menunjukkan teladan dan profesionalisme dalam tupoksinya.

“Jika gagal mencapai target taruhannya adalah kepercayaan masyarakat akan gerus elektabilitas pemerintah yang berkuasa,” ujar Bhima.

Di bagian lain, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo mengingatkan agar BI tidak menyepelekan kenaikan suku bunga oleh Bank Central Amerika (The Federal Reserve/The Fed). Meski pelemahan nilai tukar rupiah belum menimbulkan kepanikan di pasar, namun BI dimintanya melakukan langkah yang tak biasa agar rupiah tak tekena imbas lebih jauh dari sentimen eksternal.

"Sampai kapan kita terus dihantui kenaikan suku bunga The Fed? Di masa ekonomi global yang tak pasti ini, tidak ada jaminan The Fed tidak akan menaikan suku bunganya kembali. Kita harus bersiap diri dengan menguatkan ekonomi rakyat, seperti sektor pariwisata dan UMKM yang dapat membentengi kita dari ancaman ekonomi global," ucap Bambang Soesatyo saat menerima Gubernur BI Perry Warjiyo dan jajaran Dewan Gubernur BI di ruang kerja Ketua DPR, di Jakarta, kemarin.

Politisi Golkar yang akrab disapa Bamsoet ini menegaskan, situasi perlambatan ekonomi Indonesia yang disebabkan gonjang ganjing ekonomi dunia, terutama dengan adanya perang dagang Amerika dengan China, tidak hanya harus direspons oleh BI melalui kebijakan moneter saja. Tetapi, juga harus didorong oleh kebijakan fiskal yang dijalankan pemerintah. (Ichsan Amin/Hafid Fuad/Sudarsono/Ant)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1240 seconds (0.1#10.140)