Pemerintah Dorong Upaya Pembangunan Kota Ramah Disabilitas
A
A
A
JAKARTA - Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan, pemerintah mengupayakan agar setiap kota memiliki fasilitas untuk membantu para penyandang disabilitas yang memiliki kebutuhan khusus. Oleh karenanya, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyerukan agar pemerintah daerah menciptakan Kota Ramah Disabilitas dalam pemerataan pembangunan di daerah masing-masing.
"Pemerintah daerah, dibantu oleh pemerintah pusat agar membangun fasilitas publik yang dapat mengakomodasi kebutuhan warga penyandang disabilitas yang masih sering terabaikan," kata Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Rosaritas Niken Widiastuti di Jakarta, Senin (30/7/2018).
Menurut Niken, hasil pembangunan yang nyata adalah ketika terdapat pemerataan pembangunan, dimana seluruh elemen warga bisa merasakan dampak dari pembangunan, tak terkecuali kelompok disabilitas. Niken merujuk data dari Bappenas, diperkirakan terdapat 15% jumlah penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Untuk itu, ia menegaskan pemerintah mendorong kota-kota di seluruh Indonesia untuk memperbaiki Inklusitivitas dan kota ramah bagi penyandang disabilitas.
"Kesadaran bersama semua pihak perlu diwujudkan. Keseriusan kepala daerah dan partisipasi publik perlu didorong agar lebih perduli untuk mewujudkan Kota Ramah Disabilitas. Peran serta masyarakat diperlukan untuk mengetahui apa persoalan sesungguhnya yang terjadi di tengah masyarakat dan apa yang dibutuhkan untuk mengatasinya," tegas Niken.
Konkretnya, lanjut Niken, pemerintah daerah diminta membangun akses jalan yang ramah untuk penyadang disabilitas, dilakukan dengan cara membuat trotoar jalan yang terdapat lantai pemandu, jembatan penyebrangan orang (JPO), juga perlu dibuat rambu-rambu yang dapat menjadi panduan bagi kaum disabilitas. Khusus untuk zebracross menjadi akses yang paling mudah dan nyaman bagi penyandang disabilitas agar dapat menyeberangi jalan.
"Contohnya, rambu Zebracross harus dibuat dengan jarak yang tidak terlalu pendek. Dengan begitu maka para pengendara memiliki jarak yang cukup untuk berhenti dan memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk menyebrangi jalan," lanjutnya.
Aspek lain yang harus diperhatikan menurut Niken adalah transportasi umum. Mulai dari akses ke stasiun, halte atau terminal bus harus memiliki jalur-jalur datar dan kesat yang aman dengan tingkat kemiringan maksimal 5% agar dapat dilalui penyandang disabilitas atau disediakan lift khusus untuk penyandang disabilitas untuk mencapai bidang yang lebih tinggi.
Dalam membangun ramp dan lift, jika memang daerah itu lebih rendah atau lebih tinggi dari "peli" atau ketinggian 0,00 dari jalan, maka ramp harus mempunyai railling untuk meredam kemungkinan terburuk, seperti kursi roda yang terpeleset dan jatuh karena tidak dapat dikendalikan. Tombol lift juga harus memiliki ketinggian yang rendah sehingga dapat dijangkau penyadang disabilitas yang menggunakan kursi roda.
"Penyediaan media informasi audio visual perlu disediakan. Akses akses yang melibatkan tombol juga harus mengunakan tombil dengan tambahan tulisan braille. Hal ini agar para penyandang disabilitas mendapatkan informasi yang lengkap," jelas Niken.
Yang terakhir, kata Niken, faktor keamanan juga harus menjadi perhatian bagi pembangunan fasilitas umum yang ramah bagi kaum diabilitas. Penyandang disabilitas harus memiliki pengetahuan yang baik tentang apa yang harus dilakukan pada saat kondisi darurat. Peralatan pertolongan pertama bagi penyandang diasbilitas harus mudah diakses oleh publik. Para petugas pengamanan juga diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup bagi penanganan kondisi darurat bagi para penyandang disabilitas.
"Pemerintah daerah, dibantu oleh pemerintah pusat agar membangun fasilitas publik yang dapat mengakomodasi kebutuhan warga penyandang disabilitas yang masih sering terabaikan," kata Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Rosaritas Niken Widiastuti di Jakarta, Senin (30/7/2018).
Menurut Niken, hasil pembangunan yang nyata adalah ketika terdapat pemerataan pembangunan, dimana seluruh elemen warga bisa merasakan dampak dari pembangunan, tak terkecuali kelompok disabilitas. Niken merujuk data dari Bappenas, diperkirakan terdapat 15% jumlah penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Untuk itu, ia menegaskan pemerintah mendorong kota-kota di seluruh Indonesia untuk memperbaiki Inklusitivitas dan kota ramah bagi penyandang disabilitas.
"Kesadaran bersama semua pihak perlu diwujudkan. Keseriusan kepala daerah dan partisipasi publik perlu didorong agar lebih perduli untuk mewujudkan Kota Ramah Disabilitas. Peran serta masyarakat diperlukan untuk mengetahui apa persoalan sesungguhnya yang terjadi di tengah masyarakat dan apa yang dibutuhkan untuk mengatasinya," tegas Niken.
Konkretnya, lanjut Niken, pemerintah daerah diminta membangun akses jalan yang ramah untuk penyadang disabilitas, dilakukan dengan cara membuat trotoar jalan yang terdapat lantai pemandu, jembatan penyebrangan orang (JPO), juga perlu dibuat rambu-rambu yang dapat menjadi panduan bagi kaum disabilitas. Khusus untuk zebracross menjadi akses yang paling mudah dan nyaman bagi penyandang disabilitas agar dapat menyeberangi jalan.
"Contohnya, rambu Zebracross harus dibuat dengan jarak yang tidak terlalu pendek. Dengan begitu maka para pengendara memiliki jarak yang cukup untuk berhenti dan memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk menyebrangi jalan," lanjutnya.
Aspek lain yang harus diperhatikan menurut Niken adalah transportasi umum. Mulai dari akses ke stasiun, halte atau terminal bus harus memiliki jalur-jalur datar dan kesat yang aman dengan tingkat kemiringan maksimal 5% agar dapat dilalui penyandang disabilitas atau disediakan lift khusus untuk penyandang disabilitas untuk mencapai bidang yang lebih tinggi.
Dalam membangun ramp dan lift, jika memang daerah itu lebih rendah atau lebih tinggi dari "peli" atau ketinggian 0,00 dari jalan, maka ramp harus mempunyai railling untuk meredam kemungkinan terburuk, seperti kursi roda yang terpeleset dan jatuh karena tidak dapat dikendalikan. Tombol lift juga harus memiliki ketinggian yang rendah sehingga dapat dijangkau penyadang disabilitas yang menggunakan kursi roda.
"Penyediaan media informasi audio visual perlu disediakan. Akses akses yang melibatkan tombol juga harus mengunakan tombil dengan tambahan tulisan braille. Hal ini agar para penyandang disabilitas mendapatkan informasi yang lengkap," jelas Niken.
Yang terakhir, kata Niken, faktor keamanan juga harus menjadi perhatian bagi pembangunan fasilitas umum yang ramah bagi kaum diabilitas. Penyandang disabilitas harus memiliki pengetahuan yang baik tentang apa yang harus dilakukan pada saat kondisi darurat. Peralatan pertolongan pertama bagi penyandang diasbilitas harus mudah diakses oleh publik. Para petugas pengamanan juga diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup bagi penanganan kondisi darurat bagi para penyandang disabilitas.
(ven)