Harum Rempah dan Segenggam Asa di Porodisa
A
A
A
TALAUD - Matahari tepat di atas kepala. Hawa panas masih begitu terasa. Seperti tidak menghiraukan teriknya mentari, sepasang kaki yang terlihat begitu kuat menaiki tangga bambu yang disandarkan di pohon. Sesampainya di atas, ganti tangannya lincah memetik buah pala yang sudah matang.
Buah itu dijatuhkan begitu saja dari atas pohon. Pemilik tangan dan kaki tersebut adalah John Mangkole, 66, petani pala dari Desa Rainis, Kecamatan Rainis, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara.
Sekitar 10 menit di atas pohon, John turun. Ganti ia mengambil galah bambu yang di ujungnya diberi pengait besi. Matanya tajam menatap ke atas. Ketika melihat pala yang sudah tua di ujung dahan, galah bambu digunakan untuk memetik. Setelah dirasa tidak ada lagi buah yang tua, ia bergegas mengumpulkan pala yang berserakan.
Belum selesai. Ia mengambil tangga bambu yang lebih panjang dan disandarkan di pohon cengkeh, sekitar 20 meter dari posisi semula. John segera naik ke atas pohon dan memetik cengkih yang sudah tua. Sesekali tangga berayun-ayun diterpa angin kencang. Kali ini cengkih tidak dijatuhkan ke tanah, tapi ditampung di tempatnya yang diikatkan di belakang tubuhnya. Memang tak hanya pala yang ditanam John. Ia juga menanam cengkih dan kelapa di kebunnya seluas 3,5 ha.
Awal Agustus 2018 memang musim panen pala sudah lewat. Sebulan sebelumnya ia dan para petani di Kepulauan Talaud su¬dah memanen pala. Rempah-rempah jenis ini dipanen setiap tiga bulan sekali. Biasanya musim panen adalah Juli, Oktober, Januari, dan April. Jika John memanen sisa-sisa pala dan cengkih yang kebetulan berbuah pada awal Agustus 2018, hal itu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk cengkih dipanen setahun sekali, sedangkan kelapa sepanjang tahun. Namun sudah tiga tahun terakhir, tidak ada panen raya cengkih di Kepulauan Talaud. Hujan yang sering kali turun di musim yang seharusnya kemarau membuat bunga cengkih berguguran. Alhasil hanya sisa-sisa bunga cengkih yang bisa berbuah, itu pun tidak seberapa. Petani pun berharap pada pala dan kopra, yang lebih tahan terhadap cuaca.
Namun masalah lainnya muncul. Harga komoditas pala dan kopra saat ini terjun bebas sejak 3-4 tahun terakhir. Pala kualitas terbaik sebelumnya dihargai Rp78.000 per kg, kini hanya Rp35.000-37.000 per kg.
Kualitas sedang dulu Rp45.000 per kg, kini hanya Rp25.000 per kg. Sedangkan kualitas terendah dulu seharga Rp35.000-37.000, saat ini hanya Rp15.000 per kg. Untuk fuli dari sebelumnya Rp185.000-200.000 per kg kini menjadi Rp125.000 per kg. Sedangkan kopra dulu Rp9 juta per ton, kini hanya Rp3 juta per ton.
Fatmawati, 66, menceritakan betapa susahnya petani akibat anjloknya harga komoditas rempah. Ia memiliki kebon pala 3 ha, kelapa 1,6 ha, dan cengkih 3 ha. Selain bertani, ia juga menjadi pengepul rempah.
Sudah 20 tahun profesi ini dia lakoni. Di tokonya yang kecil di sebuah pertigaan di Desa Beo, Kecamatan Beo, Talaud, setiap hari ada saja petani yang menjual hasil kebun mereka ke Fatmawati. Tidak banyak yang dijual, hanya beberapa kilogram untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Akibat turunnya harga cengkih, pala, dan kopra, kehidupan kami kian susah. Apalagi kami ini menggantungkan hidup dari hasil pertanian,” katanya saat ditemui di tokonya.
Bahkan akibat anjloknya harga rempah, banyak anak yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. “Sering anak tetangga sini yang ke sini jual hasil kebun. Ketika saya tanya kenapa tidak sekolah, jawabnya karena tidak ada biaya,” ujarnya.
Beberapa tahun lalu ketiga harga tinggi, Fatmawati berani mengirimkan hasil rempah ke Manado. Rempah diangkut truk dan dinaikkan kapal. Namun sejak harga turun, dia tidak berani. Pedagang besar yang datang untuk membeli rempah. “Saya punya bos di Manado, sekarang bangkrut,” tuturnya.
Sulitnya ekonomi akibat turunnya harga rempah juga diamini Sobrin, 46, petani lainnya. Ia harus menjadi sopir angkutan gelap untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Tidak tentunya cuaca hingga memengaruhi jumlah panen membuatnya harus pandai-pandai mencari penghasilan. Namun Sobrin terbilang beruntung. Ia yang sudah memiliki mobil sendiri bisa menjadi sopir.
Sementara petani lain biasanya mereka menjadi nelayan ketika musim panen belum datang. Mereka juga biasanya menanam singkong, ubi jalan, jagung hingga sayur mayur di kebun. Sehingga ketika belum musim panen cengkih, pala maupun kopra, mereka masih punya penghasilan. “Minimal bisa untuk konsumsi sendiri di rumah. Untuk lauknya bisa memancing ikan di pantai,” katanya.
Hal yang sama dilakukan Estepanus Arunde, 43. Warga Desa Bitunuris di Pulau Salibabu ini mengandalkan penumpang angkot gelap miliknya. Mobil pribadinya digunakan untuk mengangkut penumpang di Pasar Lirung. “Kalau tidak begini, saya tidak bisa membiaya kuliah anak di Manado,” ujarnya.
Estepanus memiliki kebun seluas 4 ha yang ditanami pala dan kelapa. Ada cerita kenapa ia tidak menanam cengkih. Ia bercerita pada sekitar 1982, Kepulauan Talaud dilanda musim kemarau berkepanjangan. Hampir setahun hujan tidak turun. Akibatnya sebagian besar pohon cengkih milik petani mati. Apalagi saat itu juga ada kebakaran yang menghanguskan tanaman milik petani. “Bapak saya memiliki 3.000 pohon cengkih di lima kebun. Tinggal 800 pohon yang bertahan dari kemarau panjang,” ujarnya.
Setelah kejadian tersebut, petani trauma menanam cengkih. Mereka lebih memilih pala karena tahan terhadap cuaca. “Dari kebun milik saya, sekali panen pala sekitar 300 kg. Sedangkan kelapa 3-4 ton,” tuturnya.
Untuk panen, Estepanus biasanya menyewa sejumlah orang, biasa sampai lima orang. Untuk panen pala, para pekerja ini dibayar Rp100.000 per hari, sedangkan kelapa sistem bagi hasil. Misalnya panen kelapa 3 ton, sebanyak 2 ton untuk pemilik lahan sedangkan 1 ton untuk para pekerja. “Bisa juga per pohon Rp3.000-4.000,” lanjutnya.
Tradisi Turun Temurun
Berkebun merupakan mata pencaharian masyarakat Kepulauan Talaud. Sejak berabad-abad lalu, pala dan cengkih menjadi komoditas utama, selain kopra. Saat ini mayoritas kebun petani hasil warisan orang tua mereka. Ada juga pendatang yang membeli lahan warga lokal, namun biasanya tanah tersebut sudah ditanami pohon. Entah itu cengkih, pala, maupun kopra.
Kepulauan Talaud adalah gugusan pulau-pulau yang berada di utara Indonesia dan berbatasan dengan Filipina. Terdiri dari 20 pulau yaitu Karakelang (terbesar), Mangaran, Salibabu, Miangas, Marampit, Karatung, Kakorotan, dan sejumlah pulau tidak berpenghuni. Luas wilayah secara keseluruhan adalah 27.061,16 km persegi yang terdiri dari dari daratan seluas 1.288,94 km persegi dan lautan seluas 25.772,22 km persegi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Talaud, luas areal tanaman kelapa perkebunan rakyat pada 2016 mengalami penambahan area dari tahun sebelumnya. Tetapi penambahan luas areal ini tidak diikuti oleh peningkatan produksi kelapa, di mana pada 2016 tercatat 18.578,13 ton atau turun 9,03% dibanding tahun sebelumnya.
Sedangkan produksi pala sendiri naik 7,82% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, produksi untuk tanaman cengkih pada 2016 menurun hingga menjadi 1.017,37 ton. Berdasarkan data 2016, lahan perkebunan kelapa seluas 22.143,14 ha, cengkih (3.365,81 ha), dan pala 5.268,04 ha.
Pala dan kelapa dipanen setiap tiga bulan sedangkan untuk tanaman cengkih dipanen setahun sekali. Terkadang juga belum tentu panen, karena tanaman cengkih ada istilah “panen raya” yang terakhir terjadi 3-4 tahun lalu.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Talaud, Femy Sarundaitan membenarkan bahwa di gugusan kepulauan, rempah sudah ditanam secara turun temurun sejak berabad-abad lalu. Masyarakat menggantungkan hidupnya pada pertanian. Sesekali mereka melaut saat musim panen belum tiba.
Terkait anjloknya harga rempah, Femy mengaku pihaknya tidak mampu berbuat banyak. Pihaknya tidak memiliki kuasa untuk stabilisasi harga rempah. Yang bisa dilakukan adalah memperlancar penyebaran rempah hingga ke tangan pembeli.
Selain itu, pihaknya juga melakukan pelatihan kepada warga untuk mengolah daging buah pala menjadi makanan jadi. Misalnya anggur pala, dodol pala, dan manisan. “Juga membuat minyak pala,” katanya.
Sebagai pulau kaya rempah, Kepulauan Talaud menjadi “rebutan” bangsa asing sejak berabad-abad lampau. Diambil dari laman pemkab setempat, Talaud atau Taloda disebut juga Porodisa (paradise).
Ceritanya ketika itu bangsa Portugis datang pertama kali ke Kepulauan Talaud dan menjuluki pulau yang mereka temukan itu dengan kata paradise. Namun karena susah pelafalannya, penduduk setempat mengucapkannya porodisa. Diyakini Portugis menjuluki Kepulauan Talaud dengan surga karena kekayaan rempah di pulau tersebut.
Sedangkan versi nama Taloda berasal dari kata Talo dan Oda. Talo adalah nama orang yang berasal dari Talaud, sedangkan Oda adalah istrinya dari Pulau Mindanau (Filipina). Sehingga Taloda menjadi nama dari keturunan mereka berdua.
Masih diambil dari laman pemkab, petunjuk ataupun bukti-bukti tentang kerajaan Talaud sangat sedikit. Namun yang pasti di Kepulauan Talaud telah berdiri kerajaan sejak zaman Majapahit. Dalam kitab Nagarakretagama karangan Mpu Prapanca, pada zaman Mahapatih Gajah Mada (1364), Talaud disebut sebagai udamakatrayadi atau udamakatraya.
Ketua Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Adat (Tuhan Dalam Tubuh) di Desa Musi, Kecamatan Lirung, Kepulauan Talaud, Arnold Panahal mengatakan, berdasarkan cerita para leluhur, sebelum kedatangan Portugis, Kepulauan Talaud sudah memiliki hubungan dengan bangsa China. “Mereka (bangsa China) sudah datang ke Talaud untuk membeli rempah,” tuturnya.
Pada abad VIII, bangsa Persia yang memiliki hubungan dagang dengan China juga akhirnya berlabuh ke Kepulauan Talaud untuk mengambil langsung aneka rempah. “Namun cerita ini memang hanya dituturkan secara turun temurun dari leluhur kami,” katanya.
Masih cerita leluhur orang Kepulauan Talaud, saat Portugis datang, mereka mencabut pohon cengkih dari Pulau Salibabu hingga ke akar-akarnya dan ditanam di Ternate. Entah cerita tersebut benar atau salah, yang jelas Kepulauan Talaud memiliki kekayaan rempah yang berlimpah sejak dulu kala.
Namun tulang punggung perekonomiannya saat ini anjlok dan mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya berharap harga rempah kembali tinggi sehingga kesejahteraan kembali seperti dahulu.
Buah itu dijatuhkan begitu saja dari atas pohon. Pemilik tangan dan kaki tersebut adalah John Mangkole, 66, petani pala dari Desa Rainis, Kecamatan Rainis, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara.
Sekitar 10 menit di atas pohon, John turun. Ganti ia mengambil galah bambu yang di ujungnya diberi pengait besi. Matanya tajam menatap ke atas. Ketika melihat pala yang sudah tua di ujung dahan, galah bambu digunakan untuk memetik. Setelah dirasa tidak ada lagi buah yang tua, ia bergegas mengumpulkan pala yang berserakan.
Belum selesai. Ia mengambil tangga bambu yang lebih panjang dan disandarkan di pohon cengkeh, sekitar 20 meter dari posisi semula. John segera naik ke atas pohon dan memetik cengkih yang sudah tua. Sesekali tangga berayun-ayun diterpa angin kencang. Kali ini cengkih tidak dijatuhkan ke tanah, tapi ditampung di tempatnya yang diikatkan di belakang tubuhnya. Memang tak hanya pala yang ditanam John. Ia juga menanam cengkih dan kelapa di kebunnya seluas 3,5 ha.
Awal Agustus 2018 memang musim panen pala sudah lewat. Sebulan sebelumnya ia dan para petani di Kepulauan Talaud su¬dah memanen pala. Rempah-rempah jenis ini dipanen setiap tiga bulan sekali. Biasanya musim panen adalah Juli, Oktober, Januari, dan April. Jika John memanen sisa-sisa pala dan cengkih yang kebetulan berbuah pada awal Agustus 2018, hal itu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk cengkih dipanen setahun sekali, sedangkan kelapa sepanjang tahun. Namun sudah tiga tahun terakhir, tidak ada panen raya cengkih di Kepulauan Talaud. Hujan yang sering kali turun di musim yang seharusnya kemarau membuat bunga cengkih berguguran. Alhasil hanya sisa-sisa bunga cengkih yang bisa berbuah, itu pun tidak seberapa. Petani pun berharap pada pala dan kopra, yang lebih tahan terhadap cuaca.
Namun masalah lainnya muncul. Harga komoditas pala dan kopra saat ini terjun bebas sejak 3-4 tahun terakhir. Pala kualitas terbaik sebelumnya dihargai Rp78.000 per kg, kini hanya Rp35.000-37.000 per kg.
Kualitas sedang dulu Rp45.000 per kg, kini hanya Rp25.000 per kg. Sedangkan kualitas terendah dulu seharga Rp35.000-37.000, saat ini hanya Rp15.000 per kg. Untuk fuli dari sebelumnya Rp185.000-200.000 per kg kini menjadi Rp125.000 per kg. Sedangkan kopra dulu Rp9 juta per ton, kini hanya Rp3 juta per ton.
Fatmawati, 66, menceritakan betapa susahnya petani akibat anjloknya harga komoditas rempah. Ia memiliki kebon pala 3 ha, kelapa 1,6 ha, dan cengkih 3 ha. Selain bertani, ia juga menjadi pengepul rempah.
Sudah 20 tahun profesi ini dia lakoni. Di tokonya yang kecil di sebuah pertigaan di Desa Beo, Kecamatan Beo, Talaud, setiap hari ada saja petani yang menjual hasil kebun mereka ke Fatmawati. Tidak banyak yang dijual, hanya beberapa kilogram untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Akibat turunnya harga cengkih, pala, dan kopra, kehidupan kami kian susah. Apalagi kami ini menggantungkan hidup dari hasil pertanian,” katanya saat ditemui di tokonya.
Bahkan akibat anjloknya harga rempah, banyak anak yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. “Sering anak tetangga sini yang ke sini jual hasil kebun. Ketika saya tanya kenapa tidak sekolah, jawabnya karena tidak ada biaya,” ujarnya.
Beberapa tahun lalu ketiga harga tinggi, Fatmawati berani mengirimkan hasil rempah ke Manado. Rempah diangkut truk dan dinaikkan kapal. Namun sejak harga turun, dia tidak berani. Pedagang besar yang datang untuk membeli rempah. “Saya punya bos di Manado, sekarang bangkrut,” tuturnya.
Sulitnya ekonomi akibat turunnya harga rempah juga diamini Sobrin, 46, petani lainnya. Ia harus menjadi sopir angkutan gelap untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Tidak tentunya cuaca hingga memengaruhi jumlah panen membuatnya harus pandai-pandai mencari penghasilan. Namun Sobrin terbilang beruntung. Ia yang sudah memiliki mobil sendiri bisa menjadi sopir.
Sementara petani lain biasanya mereka menjadi nelayan ketika musim panen belum datang. Mereka juga biasanya menanam singkong, ubi jalan, jagung hingga sayur mayur di kebun. Sehingga ketika belum musim panen cengkih, pala maupun kopra, mereka masih punya penghasilan. “Minimal bisa untuk konsumsi sendiri di rumah. Untuk lauknya bisa memancing ikan di pantai,” katanya.
Hal yang sama dilakukan Estepanus Arunde, 43. Warga Desa Bitunuris di Pulau Salibabu ini mengandalkan penumpang angkot gelap miliknya. Mobil pribadinya digunakan untuk mengangkut penumpang di Pasar Lirung. “Kalau tidak begini, saya tidak bisa membiaya kuliah anak di Manado,” ujarnya.
Estepanus memiliki kebun seluas 4 ha yang ditanami pala dan kelapa. Ada cerita kenapa ia tidak menanam cengkih. Ia bercerita pada sekitar 1982, Kepulauan Talaud dilanda musim kemarau berkepanjangan. Hampir setahun hujan tidak turun. Akibatnya sebagian besar pohon cengkih milik petani mati. Apalagi saat itu juga ada kebakaran yang menghanguskan tanaman milik petani. “Bapak saya memiliki 3.000 pohon cengkih di lima kebun. Tinggal 800 pohon yang bertahan dari kemarau panjang,” ujarnya.
Setelah kejadian tersebut, petani trauma menanam cengkih. Mereka lebih memilih pala karena tahan terhadap cuaca. “Dari kebun milik saya, sekali panen pala sekitar 300 kg. Sedangkan kelapa 3-4 ton,” tuturnya.
Untuk panen, Estepanus biasanya menyewa sejumlah orang, biasa sampai lima orang. Untuk panen pala, para pekerja ini dibayar Rp100.000 per hari, sedangkan kelapa sistem bagi hasil. Misalnya panen kelapa 3 ton, sebanyak 2 ton untuk pemilik lahan sedangkan 1 ton untuk para pekerja. “Bisa juga per pohon Rp3.000-4.000,” lanjutnya.
Tradisi Turun Temurun
Berkebun merupakan mata pencaharian masyarakat Kepulauan Talaud. Sejak berabad-abad lalu, pala dan cengkih menjadi komoditas utama, selain kopra. Saat ini mayoritas kebun petani hasil warisan orang tua mereka. Ada juga pendatang yang membeli lahan warga lokal, namun biasanya tanah tersebut sudah ditanami pohon. Entah itu cengkih, pala, maupun kopra.
Kepulauan Talaud adalah gugusan pulau-pulau yang berada di utara Indonesia dan berbatasan dengan Filipina. Terdiri dari 20 pulau yaitu Karakelang (terbesar), Mangaran, Salibabu, Miangas, Marampit, Karatung, Kakorotan, dan sejumlah pulau tidak berpenghuni. Luas wilayah secara keseluruhan adalah 27.061,16 km persegi yang terdiri dari dari daratan seluas 1.288,94 km persegi dan lautan seluas 25.772,22 km persegi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Talaud, luas areal tanaman kelapa perkebunan rakyat pada 2016 mengalami penambahan area dari tahun sebelumnya. Tetapi penambahan luas areal ini tidak diikuti oleh peningkatan produksi kelapa, di mana pada 2016 tercatat 18.578,13 ton atau turun 9,03% dibanding tahun sebelumnya.
Sedangkan produksi pala sendiri naik 7,82% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, produksi untuk tanaman cengkih pada 2016 menurun hingga menjadi 1.017,37 ton. Berdasarkan data 2016, lahan perkebunan kelapa seluas 22.143,14 ha, cengkih (3.365,81 ha), dan pala 5.268,04 ha.
Pala dan kelapa dipanen setiap tiga bulan sedangkan untuk tanaman cengkih dipanen setahun sekali. Terkadang juga belum tentu panen, karena tanaman cengkih ada istilah “panen raya” yang terakhir terjadi 3-4 tahun lalu.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Talaud, Femy Sarundaitan membenarkan bahwa di gugusan kepulauan, rempah sudah ditanam secara turun temurun sejak berabad-abad lalu. Masyarakat menggantungkan hidupnya pada pertanian. Sesekali mereka melaut saat musim panen belum tiba.
Terkait anjloknya harga rempah, Femy mengaku pihaknya tidak mampu berbuat banyak. Pihaknya tidak memiliki kuasa untuk stabilisasi harga rempah. Yang bisa dilakukan adalah memperlancar penyebaran rempah hingga ke tangan pembeli.
Selain itu, pihaknya juga melakukan pelatihan kepada warga untuk mengolah daging buah pala menjadi makanan jadi. Misalnya anggur pala, dodol pala, dan manisan. “Juga membuat minyak pala,” katanya.
Sebagai pulau kaya rempah, Kepulauan Talaud menjadi “rebutan” bangsa asing sejak berabad-abad lampau. Diambil dari laman pemkab setempat, Talaud atau Taloda disebut juga Porodisa (paradise).
Ceritanya ketika itu bangsa Portugis datang pertama kali ke Kepulauan Talaud dan menjuluki pulau yang mereka temukan itu dengan kata paradise. Namun karena susah pelafalannya, penduduk setempat mengucapkannya porodisa. Diyakini Portugis menjuluki Kepulauan Talaud dengan surga karena kekayaan rempah di pulau tersebut.
Sedangkan versi nama Taloda berasal dari kata Talo dan Oda. Talo adalah nama orang yang berasal dari Talaud, sedangkan Oda adalah istrinya dari Pulau Mindanau (Filipina). Sehingga Taloda menjadi nama dari keturunan mereka berdua.
Masih diambil dari laman pemkab, petunjuk ataupun bukti-bukti tentang kerajaan Talaud sangat sedikit. Namun yang pasti di Kepulauan Talaud telah berdiri kerajaan sejak zaman Majapahit. Dalam kitab Nagarakretagama karangan Mpu Prapanca, pada zaman Mahapatih Gajah Mada (1364), Talaud disebut sebagai udamakatrayadi atau udamakatraya.
Ketua Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Adat (Tuhan Dalam Tubuh) di Desa Musi, Kecamatan Lirung, Kepulauan Talaud, Arnold Panahal mengatakan, berdasarkan cerita para leluhur, sebelum kedatangan Portugis, Kepulauan Talaud sudah memiliki hubungan dengan bangsa China. “Mereka (bangsa China) sudah datang ke Talaud untuk membeli rempah,” tuturnya.
Pada abad VIII, bangsa Persia yang memiliki hubungan dagang dengan China juga akhirnya berlabuh ke Kepulauan Talaud untuk mengambil langsung aneka rempah. “Namun cerita ini memang hanya dituturkan secara turun temurun dari leluhur kami,” katanya.
Masih cerita leluhur orang Kepulauan Talaud, saat Portugis datang, mereka mencabut pohon cengkih dari Pulau Salibabu hingga ke akar-akarnya dan ditanam di Ternate. Entah cerita tersebut benar atau salah, yang jelas Kepulauan Talaud memiliki kekayaan rempah yang berlimpah sejak dulu kala.
Namun tulang punggung perekonomiannya saat ini anjlok dan mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya berharap harga rempah kembali tinggi sehingga kesejahteraan kembali seperti dahulu.
(poe)