Pemerintah Tunda Proyek 35.000 Megawatt

Kamis, 06 September 2018 - 13:14 WIB
Pemerintah Tunda Proyek 35.000 Megawatt
Pemerintah Tunda Proyek 35.000 Megawatt
A A A
JAKARTA - Pemerintah memutuskan untuk menunda sejumlah proyek ketenagalistrikan 35.000 megawatt (MW). Hal itu guna mengendalikan impor demi menyelamatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus melemah.

Beberapa proyek strategis nasional bidang kelistrikan perlu ditata ulang. Dulu awalnya selesai 2019, sekarang ditunda sampai 2021 dan ada yang sampai 2026. "Jadi, digeser sesuai kebutuhan listrik nasional,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, penundaan tersebut sesuai dengan kebutuhan listrik nasional saat ini dengan pertumbuhan konsumsi sebesar 6%. Pertumbuhan 6% itu, kata Jonan, lebih rendah dari realisasi tahun lalu yang tumbuh mencapai 7%.

Jonan menambahkan, penundaan proyek 35.000 MW merupakan proyek yang belum financial close atau belum memulai konstruksi. Pihaknya meyakini penundaan proyek itu mampu mengurangi pengadaan impor di dalam negeri.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, beban impor akibat penundaan proyek 35.000 MW diperkirakan berkurang mencapai USD8-10 miliar. Adapun total investasi proyek 35.000 yang mengalami penundaan sebesar USD24-25 miliar.

Meski begitu, kata Jonan, penundaan proyek 35.000 MW tidak mengurangi target pemerintah dalam mencapai rasio elektrifikasi nasional sebesar 99% tahun depan. ”Untuk rasio elektrifikasi tetap. Kalau hari ini (kemarin) 97,13% mungkin akhir tahun bisa mencapai 97,7%. Jadi, saya yakin target bisa tercapai,” kata dia.

Tak berhenti di situ, untuk menyelamatkan rupiah, pemerintah juga mendorong penggunaan komponen dalam negeri untuk proyek-proyek ketenagalistrikan nasional.

Dia menyebut rata-rata tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk proyek ketenagalistrikan mencapai 20-40%. Rata-ratauntukproyek PLTU berkapasitas besar antara 25-600 MW realisasi TKDN sebesar 37,2%. Adapun proyek PLTU berkapasitas kecil antara 15-25 MW realisasi TKDN mencapai 60,4-70,2%.

Sedangkan untuk PLTA realisasi TKDN masih 20%, PLTP kapasitas 10-60 MW TKDN 30%, dan PLTGU sekitar 30%. Sementarauntuktransmisi 150 kV realisasinya sudah capai 58% dan untuk kapasitas 275 kV sebesar 59% dan untuk gardu induk rata-rata realisasinya mencapai 50-60%. ”Biasanya TKDN antara 20-40%. Ada yang lebih itu, bisa 50-60% tapi ratarata 20-40%. Sebab itu perlu adanya peningkatan,” ujar dia.

Untuk meningkatkan TKDN, katanya, pemerintah secara tegas tidak akan menyetujui rencana impor barang yang sudah ada di dalam negeri dengan spesifikasi dan kualitas sama.

”Kementerian Perindustrian akan memfinalisasi daftar barang-barang yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Kalau sudah bisa diproduksi di dalam negeri, master list akan kita coba untuk tidak dimasukkan,” kata dia.

Selain itu, pemerintah juga mulai memperketat impor barang untuk industri hulu minyak dan gas bumi (migas). Tujuannya meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dan menyehatkan neraca pembayaran. Namun, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar belum mau menyebutnya secara spesifik untuk proyek-proyek migas.

”Menyangkut aksi korporasi itu, serahkan ke Pertamina dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara,” kata dia. Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Refor Miners Institute Komaidi Notonegoro menilai, penundaan sejumlah proyek listrik 35.000 MW relatif membantu pemerintah menguatkan rupiah apabila penundaan pengadaan proyek dilakukan tahun ini.

Meski begitu, pemerintah juga perlu meninjau kembali sejauh mana pengaruh penundaan pengadaan tersebut terhadap keekonomian proyekproyek kelistrikan. ”Karena kalau ditunda kemudian ketika pengadaan ulang harga barangnya naik, maka akan membebani keekonomian proyek. Saya kira hal ini juga penting untuk ditinjau kembali oleh pemerintah,” ujar dia saat dihubungi KORAN SINDOdi Jakarta, kemarin.

Menurut dia, hal sama juga akan dialami industri migas. Adapun memperketat impor proyek-proyek migas, baik dari hulu sampai hilir, harus melihat keekonomian proyek bukan saja secara jangka pendek menyelamatkan rupiah, tapi juga dampaknya terhadap peningkatan produksi migas.

”Misalnya saja proyek onstreamharus segera imporpipa, tapitidakjalan karena proyeknya ditunda. Maka ada sesuatu harus dikorbankan, yaitu peningkatan produksi. Padahal di satu sisi, pemerintah meminta produksi terus ditingkatkan,” ujarnya.

Komaidi juga mengungkap, perbedaan krisis 1998 dengan kondisi fundamental rupiah sekarang. Pada saat 1998, shock therapy-nya berat karena rupiah terdepresiasi sangat dalam. Pada September 1997, rupiah berada di level Rp3.030 per dolar AS danterdepresiasihingga254% pada September 1998 menjadi Rp10.725 per dolar AS.

Sementarapada September2017, rupiah ada pada level Rp13.345 per dolar AS dan melemah hanya 11% per 3 September 2018 menjadi Rp14.815 per dolar AS.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4761 seconds (0.1#10.140)