Berlebihan Jika Pengiriman Jamaah Haji Perlemah Rupiah

Senin, 10 September 2018 - 19:06 WIB
Berlebihan Jika Pengiriman Jamaah Haji Perlemah Rupiah
Berlebihan Jika Pengiriman Jamaah Haji Perlemah Rupiah
A A A
MEKKAH - Kementerian Agama (Kemenag) menyatakan kebutuhan valuta asing (valas) untuk operasional haji jauh lebih kecil ketimbang valas untuk impor migas dan pembayaran utang korporasi yang jatuh tempo pada periode tertentu di tahun berjalan.

Karena itu, pihaknya tidak sependapat dengan penilaian mantan Deputi Senior Bank Indonesia Anwar Nasution yang menilai pemberangkatan jamaah haji adalah salah satu penyebab melemahnya nilai tukar rupiah karena menguras devisa negara.

"Terlalu berlebihan jika pemberangkatan jamaah haji dianggap melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD). Banyak faktor lain yang mempengaruhi lemahnya nilai tukar rupiah," kata Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Siskohat Kemenag, Ramadhan Harisman dalam keterangan tertulisnya di Mekkah, Senin (10/9/2018).

Bicara hitungan angka, ia memaparkan, total biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji reguler tahun ini sebesar Rp14,1 triliun, berupa mata uang rupiah dan riyal (SAR). Dari total angka tersebut, pembiayaan dalam mata uang Saudi sebesar SAR2,1 miliar atau USD560 juta.

Itu pun tidak digelontorkan langsung, melainkan secara bertahap dalam 4-5 bulan masa operasional haji. Sedangkan sisanya dibayar dalam bentuk rupiah, termasuk ongkos penerbangan haji.

Selain itu, pembayaran setoran awal dan setoran pelunasan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) oleh jamaah juga menggunakan rupiah. "Dengan demikian, pada saat pembayarannya tidak berpengaruh terhadap kebutuhan SAR maupun USD dalam negeri," ujarnya.

Tak bisa dipungkiri, selama musim haji memang terjadi perpindahan devisa ke Arab Saudi. Semua negara mengalami hal sama karena pelaksanaan ibadah haji dan umrah hanya di Tanah Suci. Namun, pemerintah berupaya mengimbanginya dengan distribusi ekonomi kepada warga Indonesia yang bermukim di Saudi. Setidaknya membantu sebagian dari mereka yang pendapatannya amat bergantung dari pelaksanaan haji dan umrah.

"Di antara mukimin (warga negara Indonesia yang bekerja di Arab Saudi) itu ada yang bekerja untuk pebisnis Saudi yang hidup dari siklus haji dan umrah. Ada yang kita rekrut jadi pendukung petugas haji, ada juga yang berjualan ke jamaah. Mereka jugalah yang memenuhi kebutuhan konsumsi jamaah haji khusus. Pendapatan mereka kembali ke kampung halaman sebagai devisa," terangnya.

Di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah mengupayakan kebijakan yang memihak ekonomi dalam negeri. Misalnya, perangkat jamaah haji seperti seragam dan kain ihram yang disediakan oleh bank penerima setoran harus berasal dari produk usaha kecil dan menengah (UKM).

Katering jamaah selama di Tanah Suci wajib menggunakan menu nusantara dengan bumbu masak dari Indonesia. Setiap penyedia katering juga diharuskan merekrut juru masak berpaspor Indonesia.

Gerai makanan Indonesia seperti warung padang dan warteg memang masih minim di kota tujuan haji di Saudi. Tapi, kata Ramadhan, bukan berarti hal itu menjadi penyebab melemahnya nilai tukar rupiah sebagaimana disebut Anwar Nasution.

"Restoran Turki menjamur di Mekkah dan Madinah, tapi buktinya tak bisa juga membantu mengurangi depresiasi mata uang lira Turki terhadap dolar AS. Bahkan, lira mengalami depresiasi yang lebih besar daripada rupiah," Ramadhan memberi perbandingan.

Ramadhan memastikan bahwa kebijakan pemerintah terkait haji didasarkan pada kepentingan nasional. Secara spesifik, kebijakan itu memihak umat Islam sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia. Sejak lima tahun silam, kebijakan penyelenggaraan haji diselaraskan dengan penguatan ekonomi syariah.

Setoran biaya haji harus melalui bank syariah dan seluruh dana haji sudah dipindahkan dari bank konvensional ke bank syariah. Pengelolaan keuangan haji juga diwajibkan menggunakan platform syariah sebagaimana amanat UU 34 tahun 2014.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5946 seconds (0.1#10.140)