Dibayangi Sanksi AS Terhadap Iran, Harga Minyak Stabil
A
A
A
SINGAPURA - Kendati dibayangi sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap industri perminyakan Iran, harga minyak mentah dunia pada perdagangan hari ini terpantau stabil. Harga minyak tertahan oleh tanda-tanda akan adanya peningkatan pasokan oleh produsen utama, termasuk AS dan Arab Saudi, yang diyakini dapat menutupi gangguan pasokan dari Iran.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS CLc1 pada perdagangan hari ini berada di angka USD67,61 per barel, naik USD7 sen dari harga penutupan terakhirnya. Sementara minyak mentah Brent berjangka LCOc1 naik USD11 sen menjadi USD77,48 per barel.
"Pasar minyak mentah saat ini mixed," ungkap bank ANZ melalui catatannya, seperti dilansir Reuters, Selasa (11/9/2018). ANZ mengacu pada sanksi Washington terhadap ekspor minyak Iran yang akan diberlakukan mulai November. Selain sekutu dekatnya, Washington juga memberikan tekanan pada negara lain untuk memangkas impor minyak dari Iran.
Bank ANZ menilai harga tak bergejolak dengan adanya spekulasi bahwa di kemudian hari Arab Saudi dan Rusia akan mengisi kesenjangan pasokan setelah sanksi diberlakukan bagi Iran.
Sekretaris Energi AS Rick Perry diketahui bertemu dengan Menteri Energi Saudi Khalid al-Falih pada hari Senin (10/9) di Washington. Departemen Energi AS menyatakan, pemerintahan Trump mendorong negara-negara penghasil minyak besar untuk menjaga output tinggi menjelang sanksi tersebut. Perry juga akan bertemu dengan Menteri Energi Rusia Alexander Novak pada Kamis (13/9) mendatang di Moskow.
Rusia, Amerika Serikat, dan Arab Saudi adalah tiga produsen minyak terbesar dunia sejauh ini, memenuhi sekitar sepertiga dari hampir 100 juta barel per hari (bph) dari konsumsi minyak mentah harian.
Output gabungan oleh ketiga produsen ini telah meningkat 3,8 juta bph sejak September 2014, lebih dari puncak produksi 3 juta bph yang dikelola Iran selama tiga tahun terakhir.
Dengan pengetatan pasar minyak mentah Timur Tengah karena sanksi AS terhadap Iran, banyak penyuling Asia mencari pasokan alternatif. Korea Selatan misalnya, impor minyak mentah negara itu dari AS kemungkinan akan mencapai rekor pada bulan November.
Pada saat yang sama, produsen minyak Amerika juga mencari pembeli baru untuk minyak mentah yang dijual ke China, mengantisipasi terhentinya permintaan dari negara itu karena sengketa perdagangan antara Washington dan Beijing.
Para pedagang menilai faktor-faktor ini membuka lebar peluang diskon minyak mentah WTI AS versus Brent menjadi hampir USD10 per barel, terbesar sejak Juni.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS CLc1 pada perdagangan hari ini berada di angka USD67,61 per barel, naik USD7 sen dari harga penutupan terakhirnya. Sementara minyak mentah Brent berjangka LCOc1 naik USD11 sen menjadi USD77,48 per barel.
"Pasar minyak mentah saat ini mixed," ungkap bank ANZ melalui catatannya, seperti dilansir Reuters, Selasa (11/9/2018). ANZ mengacu pada sanksi Washington terhadap ekspor minyak Iran yang akan diberlakukan mulai November. Selain sekutu dekatnya, Washington juga memberikan tekanan pada negara lain untuk memangkas impor minyak dari Iran.
Bank ANZ menilai harga tak bergejolak dengan adanya spekulasi bahwa di kemudian hari Arab Saudi dan Rusia akan mengisi kesenjangan pasokan setelah sanksi diberlakukan bagi Iran.
Sekretaris Energi AS Rick Perry diketahui bertemu dengan Menteri Energi Saudi Khalid al-Falih pada hari Senin (10/9) di Washington. Departemen Energi AS menyatakan, pemerintahan Trump mendorong negara-negara penghasil minyak besar untuk menjaga output tinggi menjelang sanksi tersebut. Perry juga akan bertemu dengan Menteri Energi Rusia Alexander Novak pada Kamis (13/9) mendatang di Moskow.
Rusia, Amerika Serikat, dan Arab Saudi adalah tiga produsen minyak terbesar dunia sejauh ini, memenuhi sekitar sepertiga dari hampir 100 juta barel per hari (bph) dari konsumsi minyak mentah harian.
Output gabungan oleh ketiga produsen ini telah meningkat 3,8 juta bph sejak September 2014, lebih dari puncak produksi 3 juta bph yang dikelola Iran selama tiga tahun terakhir.
Dengan pengetatan pasar minyak mentah Timur Tengah karena sanksi AS terhadap Iran, banyak penyuling Asia mencari pasokan alternatif. Korea Selatan misalnya, impor minyak mentah negara itu dari AS kemungkinan akan mencapai rekor pada bulan November.
Pada saat yang sama, produsen minyak Amerika juga mencari pembeli baru untuk minyak mentah yang dijual ke China, mengantisipasi terhentinya permintaan dari negara itu karena sengketa perdagangan antara Washington dan Beijing.
Para pedagang menilai faktor-faktor ini membuka lebar peluang diskon minyak mentah WTI AS versus Brent menjadi hampir USD10 per barel, terbesar sejak Juni.
(fjo)