Pemerintah Diminta Evaluasi Kinerja KJRI Penang
A
A
A
JAKARTA - Upaya diplomasi untuk perlindungan hak-hak calon maupun tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri harus menjadi perhatian pemerintah, termasuk TKI nonprosedural atau tanpa dokumen resmi.
Misalnya di Malaysia, dari data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, diperkirakan terdapat 2,7 juta warga negara Indonesia dan hampir separuhnya merupakan TKI nonprosedural atau tanpa dokumen resmi. Akibatnya, mereka secara hukum tidak terlindungi keberadaanya di Negara Jiran ini.
Ketua Biro Pelayanan Luar Negeri dan Diplomasi Publik DPP PKS Farouk Abdullah Alwyni memberikan perhatian khusus terhadap persoalan TKI di Malaysia karena dari sisi jumlah paling banyak ketimbang di negara lainnya, seperti di Timur Tengah, Taiwan ataupun Hong Kong.
"September lalu saya berkesempatan untuk berkumpul bersama warga Indonesia yang tinggal di Penang. Pada kesempatan itu saya banyak mendengar persoalan masyarakat kita di Penang," ungkap Farouk dalam keterangan tertulis, Senin (1/10/2018).
Lantaran ketidakjelasan status, kata dia, banyak yang mengalami kesulitan. Anak-anak TKI non-prosedural menghadapi akses pendidikan yang terbatas. Anak-anak buruh migran hanya bisa mengenyam pendidikan hanya di sekolah agama, sebagian lagi bisa masuk sekolah umum tapi tidak mendapatkan sertifikat atau ijazah.
Dari pengakuan warga Indonesia yang tinggal di Penang, lanjut dia, untuk pulang kampung ketika ada keperluan mendesak juga tidak mudah. Mereka harus mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) yang pengurusannya sangat rumit dan butuh biaya tidak sedikit mengingat kondisi mereka sudah overstayed.
Di satu sisi, keinginan hidup di Malaysia membuat mereka rentan terjebak oleh perusahaan-perusahaan setempat yang mengklaim bisa mengurus pemutihan status dengan mendapatkan dokumen resmi (visa kerja). Salah satunya lewat program penempatan kembali (rehiring) kerja di Malaysia. Adapun biaya yang dikeluarkan sekitar RM5.000-RM7.500 yang disisihkan dari hasil kerja.
Celakanya, kata dia, banyak yang tertipu calo. Surat izin kerja tidak keluar sedangkan perusahaan yang menawarkan jasa tersebut hilang tak karuan.
Farouk yang tengah menyelesaikan studi doktoral riset (S-3) di Universiti Sains Malaysia ini menilai, banyaknya TKI irregular yang menggunakan jasa calo dan memilih jalur gelap karena pihak KJRI Penang tidak bisa memberikan pelayanan dan perlindungan yang optimum kepada segenap WNI di Malaysia.
Di mata sebagian pekerja migran, kata dia, KJRI Penang khususnya bagian keimigrasian tidak mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi TKI. Padahal, terlepas dari statusnya, mereka adalah WNI yang tetap berhak dilayani dan di lindungi semaksimal mungkin.
Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, & Development (CISFED) ini menambahkan, nasib TKI di Malaysia ini sebenarnya merupakan persoalan nasional yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait di Jakarta. Boleh jadi, kasus serupa juga terjadi di negara tujuan penempatan TKI lainnya.
Atas dasar itu, Farouk mendesak pemerintah memastikan KBRI pada umumnya dan KJRI Penang khususnya dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan profesional. Dengan demikian, semua buruh migran diharapkan bisa mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak-haknya sesuai amanat Undang Undang No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
"Ke depan, perlu dilakukan diplomasi yang lebih aktif dengan pemerintah Malaysia untuk mencari solusi yang permanen atas persoalan warga Indonesia yang hidup di sana, di samping diplomasi aktif lainnya di berbagai negara yang mempunyai persoalan pekerja migran yang sama," pungkasnya.
Misalnya di Malaysia, dari data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, diperkirakan terdapat 2,7 juta warga negara Indonesia dan hampir separuhnya merupakan TKI nonprosedural atau tanpa dokumen resmi. Akibatnya, mereka secara hukum tidak terlindungi keberadaanya di Negara Jiran ini.
Ketua Biro Pelayanan Luar Negeri dan Diplomasi Publik DPP PKS Farouk Abdullah Alwyni memberikan perhatian khusus terhadap persoalan TKI di Malaysia karena dari sisi jumlah paling banyak ketimbang di negara lainnya, seperti di Timur Tengah, Taiwan ataupun Hong Kong.
"September lalu saya berkesempatan untuk berkumpul bersama warga Indonesia yang tinggal di Penang. Pada kesempatan itu saya banyak mendengar persoalan masyarakat kita di Penang," ungkap Farouk dalam keterangan tertulis, Senin (1/10/2018).
Lantaran ketidakjelasan status, kata dia, banyak yang mengalami kesulitan. Anak-anak TKI non-prosedural menghadapi akses pendidikan yang terbatas. Anak-anak buruh migran hanya bisa mengenyam pendidikan hanya di sekolah agama, sebagian lagi bisa masuk sekolah umum tapi tidak mendapatkan sertifikat atau ijazah.
Dari pengakuan warga Indonesia yang tinggal di Penang, lanjut dia, untuk pulang kampung ketika ada keperluan mendesak juga tidak mudah. Mereka harus mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) yang pengurusannya sangat rumit dan butuh biaya tidak sedikit mengingat kondisi mereka sudah overstayed.
Di satu sisi, keinginan hidup di Malaysia membuat mereka rentan terjebak oleh perusahaan-perusahaan setempat yang mengklaim bisa mengurus pemutihan status dengan mendapatkan dokumen resmi (visa kerja). Salah satunya lewat program penempatan kembali (rehiring) kerja di Malaysia. Adapun biaya yang dikeluarkan sekitar RM5.000-RM7.500 yang disisihkan dari hasil kerja.
Celakanya, kata dia, banyak yang tertipu calo. Surat izin kerja tidak keluar sedangkan perusahaan yang menawarkan jasa tersebut hilang tak karuan.
Farouk yang tengah menyelesaikan studi doktoral riset (S-3) di Universiti Sains Malaysia ini menilai, banyaknya TKI irregular yang menggunakan jasa calo dan memilih jalur gelap karena pihak KJRI Penang tidak bisa memberikan pelayanan dan perlindungan yang optimum kepada segenap WNI di Malaysia.
Di mata sebagian pekerja migran, kata dia, KJRI Penang khususnya bagian keimigrasian tidak mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi TKI. Padahal, terlepas dari statusnya, mereka adalah WNI yang tetap berhak dilayani dan di lindungi semaksimal mungkin.
Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, & Development (CISFED) ini menambahkan, nasib TKI di Malaysia ini sebenarnya merupakan persoalan nasional yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait di Jakarta. Boleh jadi, kasus serupa juga terjadi di negara tujuan penempatan TKI lainnya.
Atas dasar itu, Farouk mendesak pemerintah memastikan KBRI pada umumnya dan KJRI Penang khususnya dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan profesional. Dengan demikian, semua buruh migran diharapkan bisa mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak-haknya sesuai amanat Undang Undang No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
"Ke depan, perlu dilakukan diplomasi yang lebih aktif dengan pemerintah Malaysia untuk mencari solusi yang permanen atas persoalan warga Indonesia yang hidup di sana, di samping diplomasi aktif lainnya di berbagai negara yang mempunyai persoalan pekerja migran yang sama," pungkasnya.
(fjo)