Industri Asuransi Umum Siap Dukung Asuransi Barang Milik Pemerintah

Rabu, 10 Oktober 2018 - 22:43 WIB
Industri Asuransi Umum Siap Dukung Asuransi Barang Milik Pemerintah
Industri Asuransi Umum Siap Dukung Asuransi Barang Milik Pemerintah
A A A
NUSA DUA - Industri asuransi umum nasional mengaku siap mendukung rencana asuransi barang milik pemerintah. Sebagai langkah awal, konsorsium asuransi umum akan mengcover aset bangunan milik Kementerian Keuangan senilai Rp144 triliun. Pembahasan masih harus dilakukan untuk melakukan penghitungan suku premi yang harus dibayar pemerintah.

Direktur PT Reasuransi MAIPARK Indonesia, Heddy Agus Pritasa mengatakan pemerintah akan segera mewujudkan skema asuransi barang milik negara untuk tahun anggaran 2019 dalam pembahasan APBN-P. Meskipun banyak hal yang masih dikaji namun langkah awal adalah mengasuransikan aset milik Kementerian Keuangan. Nilai aset yang akan di cover mencapai Rp144 triliun berupa bangunan di seluruh Indonesia.

"Rencananya akan ada konsorsium atas nama AAUI. Kami punya pengalaman dalam model penghitungan suku premi yang akan diajukan ke pemerintah. Masih banyak yang harus dibahas bersama anggota AAUI lainnya," ujar Heddy saat dihubungi SINDOnews, Rabu (10/10/2018).

Direktur Eksekutif AAUI Dody Dalimunthe mengatakan skema asuransi barang milik negara atau Disaster Risk Financing & Insurance (DRFI) yang disiapkan pemerintah akan menjadi solusi pembiayaan karena selama ini terus beban negara saat terjadi bencana. Peranan asuransi bencana ini akan merubah paradigma pembiayaan tanggap bencana menjadi mitigasi risiko. Bentuknya dengan transfer risiko ke perusahaan asuransi.

Asuransi bencana tersebut akan membuat biaya yang dikeluarkan pemerintah dari yang semula fluktuatif dan berat akan berubah menjadi flat dan lebih ringan. "Pemerintah cukup mengalokasikan dana untuk membayar premi asuransi. Apabila terjadi bencana, kerugian akan dibayarkan oleh perusahaan asuransi," ujar Dody.

Direktur Utama PT Reasuransi Indonesia Utama (persero), Adi Pramana mengatakan pihaknya sambut baik rencana asuransi bencana pemerintah dan siap mendukung untuk meringankan beban negara. Karena selama ini kerusakan aset negara langsung menggerus APBN. Dengan pembayaran premi asuransi yang hanya sepersekian maka beban APBN menjadi berkurang. Karena perusahaan swasta juga dapat terlibat jika terjadi klaim kerusakan bangunan aset negara untuk antisipasi bencana.

"Pembayaran preminya harus dianggarkan. Jadi kalau untuk tahun 2019, maka harusnya dianggarkan pembayaran premi dalam APBN 2019. Kami juga siap mendorong anak perusahaan untuk turut serta," ujar Adi, Rabu (10/10).

Pertimbangan asuransi barang milik negara ini karena Indonesia memang menjadi salah satu negara yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia termasuk 35 negara di dunia dengan risiko tinggi terjadinya korban jiwa akibat bencana.

Sebagai gambaran besarnya kerugian dan pendanaan yang diakibatkan oleh bencana, di antara tahun 2004-2013, Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp126,7 triliun.

Selama 12 tahun terakhir, pemerintah rata-rata menyediakan dana cadangan untuk bencana sebesar Rp3,1 triliun. Sementara bencana seperti gempa dan tsunami di Aceh tahun 2014 mencapai Rp51,4 triliun. Jurang pembiayaan tersebut menjadi salah satu sebab Indonesia terpapar risiko fiskal akibat bencana alam.

Karena itu, pemerintah Indonesia sedang menyiapkan peta jalan (roadmap) mengenai pembiayaan dan asuransi risiko bencana, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan keynote speech pada seminar yang bertema "Disaster Risk Finance and Insurance" di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua Bali, Rabu (10/10).

Kerugian yang diderita atas bencana tidak sedikit. Sementara kemampuan pemerintah dalam menyediakan pendanaan untuk bencana dengan dampak yang ditimbulkannya, sangat terbatas. Karena itu, dalam Pertemuan Tahunan IMF-WBG yang berlangsung di Bali kali ini, Indonesia mengajak para peserta yang hadir dari berbagai negara untuk saling berbagi dan menemukan solusi yang tepat, khususnya dalam hal pembiayaan dan asuransi risiko bencana.

"Momen ini menjadi momen yang tepat karena kita baru saja mengalami bencana, dan mencari solusi yang tepat apabila terjadi bencana. Bagaimana upaya kita mengatasi bencana dengan ketahanan fiskal yang terjaga, dan tidak hanya tergantung pada kerjasama internasional," ujar Jusuf Kalla.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa penanganan bencana di Indonesia masih sangat tergantung pada APBN dan APBD, bahkan harus merealokasi anggaran.

"Kita perlu mengidentifikasi semua risiko bencana alam dan memikirkan mekanisme fiskal serta instrumen keuangan terbaik untuk mendukung rehabilitasi yang paling efektif dan paling cepat. Sebuah strategi jangka panjang untuk membangun ketahanan (resilience) terhadap bencana, khususnya dari sisi fiskal," kata Sri Mulyani.

Fokus terbesar ketika bencana terjadi adalah bagaimana membantu korban, melakukan recovery dan melakukan rekonstruksi. "Namun kita jarang sekali membahas soal transfer risiko, termasuk untuk pembiayaan. Pengelolaan bencana menjadi tidak tersinergikan dan terintegrasi," katanya.

Karena itu, Sri Mulyani juga menyatakan Indonesia membuka diri untuk menimba pengalaman dari negara-negara lain mengenai pembiayaan bencana. "Kami ingin belajar dari Filipina yang sudah mengasuransikan gedung-gedung pemerintahan daerah, belajar dari Maroko yang sudah mengasuransikan UMKM dan rumah-rumah penduduk berpenghasilan rendah," ungkap Sri Mulyani.

Karena itu menurutnya, pada tahun anggaran 2019 mendatang, semua gedung pemerintah akan diasuransikan, meski belum termasuk rumah-rumah penduduk menengah dan bawah karena mekanisme asuransi untuk itu belum tersedia.

Selain ingin berbagi tentang pendanaan bencana seperti instrumen asuransi yang bisa dengan segera dicairkan, pada sisi lain Indonesia juga ingin melihat negara-negara lain dalam menangani pembiayaan bencana. Berdasarkan pengalaman selama ini, pembiayaan bencana hanya cenderung fokus pada tahap emergency, recovery dan rekonstruksi, sehingga relatif tidak menyentuh pembiayaan dalam aspek transfer risiko.

Seminar yang merupakan usulan Indonesia ini juga dihadiri Presiden Bank Dunia, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, serta dua menteri dari Jepang dan Filipina. Meski merupakan usulan Indonesia, negara-negara yang hadir pada pertemuan tahunan IMF-World Bank Group di Bali kali ini juga merasa perlu terlibat aktif dalam pembahasan karena semua negara berpotensi menghadapi bencana.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4747 seconds (0.1#10.140)