Ekonomi Indonesia Tumbuh Sehat, Ini Indikatornya
A
A
A
JAKARTA - Laporan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (The Organisation for Economic Co-operation and Development, OECD) terbaru mengungkapkan, ekonomi Indonesia tumbuh dengan sehat bilamana diukur dari beberapa indikator ekonomi kunci, di antaranya tingkat inflasi yang stabil, kemiskinan dan ketimpangan serta defisit fiskal yang menurun, dan adanya respons kebijakan moneter yang tepat dalam situasi ekonomi yang tengah bergerak dinamis.
Laporan itu dirilis 10 Oktober 2018 bersamaan dengan kegiatan Annual Meeting IMF-World Bank di Nusa Dua Bali. Laporan setebal 149 tersebut menegaskan kemampuan pemerintah Indonesia mengelola dengan baik perekonomiannya di tengah gejolak ekonomi dunia belakangan ini.
OECD sendiri merupakan organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi yang beranggotakan 36 negara Eropa dan Amerika Utara ditambah Jepang dan Korea Selatan. Indonesia, bersama dengan Brazil, India, dan China, atau BRIC menjadi key partners dari OECD yang didirikan pada tahun 1961 dan berpusat di Paris. “Kami menyambut baik laporan tersebut,” ujar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu (13/10/2018).
Untuk membuat ekspansi ekonomi Indonesia ini terus berlanjut, Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan penerimaan negara untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. "Selain itu juga perlu memperbaiki outcome pendidikan dan pelatihan vokasional serta kesehatan agar bonus demograsi berdampak optimal," katanya.
Pada bagian akhir laporan OECD juga dielaborasi bagaimana sektor pariwisata berperan bagi pembangunan daerah dan kelestarian lingkungan. Dalam diskusi yang berlangsung selama 1 jam tersebut, Moeldoko menanyakan kerja sama internasional di bidang perpajakan khususnya bagi perusahaan multinasional yang bergerak di dunia digital yang bersifat lintas negara. Terkait itu, Mr. Schaal mengatakan OECD memiliki program untuk para pemeriksa pajak tanpa batas.
"Di ASEAN, PMA mencapai 250-280 miliar dolar. Sekitar 50% bertempat di Singapura, dan sebagiannya lagi paling besar pasti di Indonesia. Bagaimana praktik-praktik yang tidak ilegal namun mengurangi penerimaan negara perlu lebih dipahami bersama,” tegasnya.
Khusus mengenai pendidikan dan pelatihan vokasi, OECD menyampaikan bahwa sistem yang diterapkan di Indonesia lebih cenderung seperti di Jerman, yaitu menggabungkan antara job training dan kelas (dual system). Perbaikan pendidikan dan pelatihan vokasi dianggap pilihan yang tepat untuk memastikan pertumbuhan menjadi inklusif. OECD bisa mendukung Pemerintah untuk lebih menyempurnakan kebijakan ini.
Kepala Staf Kepresidenan juga meminta agar OECD memberikan masukan terkait dengan pembangunan sektor pertanian. “Lahan yang sempit dan fatigue, modal, teknologi, manajemen, dan pengolahan pasca panen adalah lima masalah yang dihadapi oleh petani Indonesia,“ ujar Moeldoko, yang juga menjabat sebagai Ketua HKTI.
Terkait permintaan itu, OECD menyampaikan pernah mengeluarkan laporan tentang Pertanian di Indonesia tahun 2010 dan bersedia mendiskusikan dengan tim Trade and Agiculture di Paris. Namun tentang bagaimana memajukan sektor pertanian, Mr. Schaal berujar, “Kuncinya ada pada produktivitas, teknologi termasuk digital economy, dan keberlanjutan.”
“OECD pasti sudah mengamati keberhasilan dan kegagalan dari banyak negara. Kita berharap OECD akan terus memberikan feedback kepada kita karena kita tidak ingin mengulangi kesalahan yang terjadi di tempat lain,” tegasnya.
Laporan itu dirilis 10 Oktober 2018 bersamaan dengan kegiatan Annual Meeting IMF-World Bank di Nusa Dua Bali. Laporan setebal 149 tersebut menegaskan kemampuan pemerintah Indonesia mengelola dengan baik perekonomiannya di tengah gejolak ekonomi dunia belakangan ini.
OECD sendiri merupakan organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi yang beranggotakan 36 negara Eropa dan Amerika Utara ditambah Jepang dan Korea Selatan. Indonesia, bersama dengan Brazil, India, dan China, atau BRIC menjadi key partners dari OECD yang didirikan pada tahun 1961 dan berpusat di Paris. “Kami menyambut baik laporan tersebut,” ujar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu (13/10/2018).
Untuk membuat ekspansi ekonomi Indonesia ini terus berlanjut, Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan penerimaan negara untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. "Selain itu juga perlu memperbaiki outcome pendidikan dan pelatihan vokasional serta kesehatan agar bonus demograsi berdampak optimal," katanya.
Pada bagian akhir laporan OECD juga dielaborasi bagaimana sektor pariwisata berperan bagi pembangunan daerah dan kelestarian lingkungan. Dalam diskusi yang berlangsung selama 1 jam tersebut, Moeldoko menanyakan kerja sama internasional di bidang perpajakan khususnya bagi perusahaan multinasional yang bergerak di dunia digital yang bersifat lintas negara. Terkait itu, Mr. Schaal mengatakan OECD memiliki program untuk para pemeriksa pajak tanpa batas.
"Di ASEAN, PMA mencapai 250-280 miliar dolar. Sekitar 50% bertempat di Singapura, dan sebagiannya lagi paling besar pasti di Indonesia. Bagaimana praktik-praktik yang tidak ilegal namun mengurangi penerimaan negara perlu lebih dipahami bersama,” tegasnya.
Khusus mengenai pendidikan dan pelatihan vokasi, OECD menyampaikan bahwa sistem yang diterapkan di Indonesia lebih cenderung seperti di Jerman, yaitu menggabungkan antara job training dan kelas (dual system). Perbaikan pendidikan dan pelatihan vokasi dianggap pilihan yang tepat untuk memastikan pertumbuhan menjadi inklusif. OECD bisa mendukung Pemerintah untuk lebih menyempurnakan kebijakan ini.
Kepala Staf Kepresidenan juga meminta agar OECD memberikan masukan terkait dengan pembangunan sektor pertanian. “Lahan yang sempit dan fatigue, modal, teknologi, manajemen, dan pengolahan pasca panen adalah lima masalah yang dihadapi oleh petani Indonesia,“ ujar Moeldoko, yang juga menjabat sebagai Ketua HKTI.
Terkait permintaan itu, OECD menyampaikan pernah mengeluarkan laporan tentang Pertanian di Indonesia tahun 2010 dan bersedia mendiskusikan dengan tim Trade and Agiculture di Paris. Namun tentang bagaimana memajukan sektor pertanian, Mr. Schaal berujar, “Kuncinya ada pada produktivitas, teknologi termasuk digital economy, dan keberlanjutan.”
“OECD pasti sudah mengamati keberhasilan dan kegagalan dari banyak negara. Kita berharap OECD akan terus memberikan feedback kepada kita karena kita tidak ingin mengulangi kesalahan yang terjadi di tempat lain,” tegasnya.
(akr)