Ekonomi Inggris Diramal Tumbuh Negatif Dalam Tiga Tahun ke Depan
A
A
A
LONDON - Pertumbuhan ekonomi Inggris diperkirakan bakal berada dalam zona negatif dalam tiga tahun ke depan, seperti disampaikan Ernst and Young Item Club. Sementara proses negosiasi Brexit atau keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa (UE) yang tidak juga mencapai kesepakatan bisa menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan lebih lanjut lagi.
Seperti dilansir BBC, Senin (15/10/2018) EY Item Club memprediksi pertumbuhan PDB Inggris tahun ini mencapai 1,3% dan menyentuh 1,5% pada 2019, mendatang. Perkiraan tersebut lebih rendah pada pandangan sebelumnya, yakni tiga bulan lalu. Diterangkan angka-angka tersebut didasarkan pada asumsi bahwa Inggris dan Uni Eropa akan menyetujui persyaratan transisi.
Jika hal itu tidak terjadi, maka kondisinya bisa "secara signifikan lebih lemah". Apabila ramalan tersebut ternyata akurat, maka 2018 akan menjadi tahun terburuk bagi pertumbuhan ekonomi Inggris sejak krisis keuangan. Howard Archer, penasihat ekonomi utama untuk EY Item Club, mengatakan: "Ketidakpastian yang meningkat saat menjelang dan setelah keluarnya Inggris dapat memicu kehati-hatian bisnis dan konsumen,"
"Ini adalah faktor penting yang mendorong kami untuk memangkas perkiraan PDB untuk 2018 dan 2019," sambung Howard. Awal tahun ini, EY Item Club memperkirakan bahwa Inggris akan melakukan peningkatan dua tingkat suku bunga dan dua lagi pada tahun depan. Namun menyusul keputusan Bank of England pada bulan Agustus untuk menaikkan suku bunga dari 0,5% menjadi 0,75% sehingga diyakini tidak ada lagi kenaikan hingga Agustus 2019.
Ditambah kemungkinan lainnya dua langkah lagi untuk mengkerek suku bunga di 2020. "The EY Item Club mencurigai bahwa Bank of England ingin melihat bukti yang berkelanjutan bahwa ekonomi Inggris bertahan relatif baik setelah Brexit terjadi pada akhir Maret, sebelum menaikkan suku bunga," tambahnya.
Kepala ekonom EY Mark Gregory menerangkan, perekonomian Inggris akan mengalami periode pertumbuhan ekonomi yang rendah setidaknya selama tiga tahun ke depan, sehingga sektor bisnis perlu mengenali ini dan melakukan penyesuaian. "Mereka juga harus mempertimbangkan sisi negatif terhadap ekonomi yang turun tajam jika Brexit tanpa kesepakatan dan membuat persiapan untuk skenario semacam itu," lanjutnya.
Gregory mengungkapkan "pendekatan yang bijaksana" bagi perusahaan untuk menguji ketahanan bisnis mereka, terutama arus kas, terhadap periode gangguan parah, diikuti oleh penurunan selama tiga atau empat kuartal. "Bahkan jika proses Brexit berjalan lancar, risiko siklus ekonomi Inggris masih akan menjadi latihan yang bermanfaat. Sekarang adalah saatnya untuk mulai memikirkan bentuk masa depan setiap bisnis Inggris setelah 2020," tambahnya.
Seperti dilansir BBC, Senin (15/10/2018) EY Item Club memprediksi pertumbuhan PDB Inggris tahun ini mencapai 1,3% dan menyentuh 1,5% pada 2019, mendatang. Perkiraan tersebut lebih rendah pada pandangan sebelumnya, yakni tiga bulan lalu. Diterangkan angka-angka tersebut didasarkan pada asumsi bahwa Inggris dan Uni Eropa akan menyetujui persyaratan transisi.
Jika hal itu tidak terjadi, maka kondisinya bisa "secara signifikan lebih lemah". Apabila ramalan tersebut ternyata akurat, maka 2018 akan menjadi tahun terburuk bagi pertumbuhan ekonomi Inggris sejak krisis keuangan. Howard Archer, penasihat ekonomi utama untuk EY Item Club, mengatakan: "Ketidakpastian yang meningkat saat menjelang dan setelah keluarnya Inggris dapat memicu kehati-hatian bisnis dan konsumen,"
"Ini adalah faktor penting yang mendorong kami untuk memangkas perkiraan PDB untuk 2018 dan 2019," sambung Howard. Awal tahun ini, EY Item Club memperkirakan bahwa Inggris akan melakukan peningkatan dua tingkat suku bunga dan dua lagi pada tahun depan. Namun menyusul keputusan Bank of England pada bulan Agustus untuk menaikkan suku bunga dari 0,5% menjadi 0,75% sehingga diyakini tidak ada lagi kenaikan hingga Agustus 2019.
Ditambah kemungkinan lainnya dua langkah lagi untuk mengkerek suku bunga di 2020. "The EY Item Club mencurigai bahwa Bank of England ingin melihat bukti yang berkelanjutan bahwa ekonomi Inggris bertahan relatif baik setelah Brexit terjadi pada akhir Maret, sebelum menaikkan suku bunga," tambahnya.
Kepala ekonom EY Mark Gregory menerangkan, perekonomian Inggris akan mengalami periode pertumbuhan ekonomi yang rendah setidaknya selama tiga tahun ke depan, sehingga sektor bisnis perlu mengenali ini dan melakukan penyesuaian. "Mereka juga harus mempertimbangkan sisi negatif terhadap ekonomi yang turun tajam jika Brexit tanpa kesepakatan dan membuat persiapan untuk skenario semacam itu," lanjutnya.
Gregory mengungkapkan "pendekatan yang bijaksana" bagi perusahaan untuk menguji ketahanan bisnis mereka, terutama arus kas, terhadap periode gangguan parah, diikuti oleh penurunan selama tiga atau empat kuartal. "Bahkan jika proses Brexit berjalan lancar, risiko siklus ekonomi Inggris masih akan menjadi latihan yang bermanfaat. Sekarang adalah saatnya untuk mulai memikirkan bentuk masa depan setiap bisnis Inggris setelah 2020," tambahnya.
(akr)