Hadapi Revolusi Industri 4.0, Siapkan Tenaga Kerja Terampil
A
A
A
Era Revolusi Industri 4.0 menjadi tantangan sekaligus peluang. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) memandang perlu untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni dan terampil dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Salah satunya dengan penguatan sekolah vokasi. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah membuat Grand Design Pelatihan Vokasi. Pemerintah memberikan akses yang seluas-luasnya untuk tenaga kerja atau pencari kerja mengikuti pelatihan baik di Balai Latihan Kerja (BLK), industri, atau program magang yang diharapkan bisa masuk ke pasar kerja dan berwirausaha.
Mengacu pada hasil riset McKinsley Global Institute (MGI) yang diolah dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, Indonesia memiliki potensi menjadi negara ekonomi ke-7 terbesar di dunia pada 2030 mendatang.
Namun syarat utamanya adalah Indonesia harus memiliki 113 juta tenaga kerja terampil pada saat itu sebagai indikator kemapanan daya saing tenaga kerja. Sayangnya, berdasarkan hasil riset Badan Perencanaan dan Pengembangan Kementerian Ketena gaker jaan (Barenbangnaker) yang diolah dari data BPS pada 2015, jumlah tenaga kerja terampil yang dimiliki Indonesia saat ini adalah 57 juta orang saja.
Artinya Indonesia membutuhkan supply tenaga kerja terampil per tahun dari 2016- 2030 sekitar sebanyak 3,7 juta/tahun. Masing-masing 1,59 juta tenaga kerja level ahli tersertifikasi, 0,46 juta tenaga kerja level teknisi atau analis tersertifikasi, dan 1,85 juta tenaga kerja level operator atau pelak sana terser tifikasi.
“Hal inilah yang menjadi tantangan kita bersama untuk memenuhinya,” ujar Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri di Jakarta, belum lama ini. Hanif meyakini, melalui kerja sama semua pihak, Indonesia akan mampu bertahan menghadapi era Revolusi Industri 4.0 dengan segala peluang dan tantangannya yang massif.
Dulu saat memasuki Revolusi Industri 1.0, 2.0 dan 3.0, awalnya juga dipenuhi banyak respons kekhawatiran, namun pada akhirnya bisa bertahan dan melampauinya.
Demikian pula menghadapi Revolusi Indus tri 4.0, semua orang heboh. “Tapi saya yakinat the end juga bisa survive. Hanya masalahnya tahapan Revolusi Industri 1.0 hingga Revolusi Indus tri 3.0 berjalan lebih predictable karena waktunya lebih panjang,” ujarnya.
Menurut Hanif, untuk menghadapi Revolusi Industri4.0 dan konsekuensi yang muncul di tingkat industri, pekerja yang terampil (skillfull) perlu disiapkan. Selain itu, juga diperlukan skema perlindungan tenaga kerja di masa depan.
“Pemerintah, industri dan serikat pekerja, dunia usaha, LSM dan kalangan serta perguruan tinggi harus mengatasinya secara bersama. Semua pihak harus ngepung persoalan ini sehingga investasi SDM bisa merespon perubahan-perubahan yang begitu cepat terjadi,” tutur Hanif.
Hanif menjelaskan, Revolusi Industri4.0 adalah proses produksi di seluruh dunia yang mengombinasikan tiga unsur penting, yakni manusia, mesin/robot, dan big data. Kombinasi tiga unsur itu akan menggerakkan seluruh produksi menjadi lebih efisien dan lebih cepat dan lebih massif.
Kondisi ini akan mengubah banyak hal, termasuk perubahan di tingkat industri. Industri akan bertransformasi karena proses produksinya berubah. Ketika proses produksi berubah, proses bisnisnya juga berubah. “Contohnya isu job security. Dalam dunia sekarang ini, pasti konsepnya juga berubah dan responnya kita juga berubah,” katanya.
Hanif menambahkan, hingga saat ini pemerintah terus melakukan pemetaan pekerjaan di masa depan khususnya di sektor dan profesi yang tumbuh atau yang tak lagi relevan.
“Ketika pekerjaan berubah maka hal ketiga yang berubah adalah tuntutan skills-nya. Ketika tuntutan skills-nya berubah, bagaimana skema pendidikan dan pelatihan kita juga harus berubah,” katanya.
Hanif menegaskan, isu pelatihan vokasi (vocational training) perlu mendapat perhatian penting karena memiliki kelenturan dalam mendorong perubahan skills di masyarakat. Pemerintah juga telah membuat rencana program pelatihan vokasi.
Salah satunya melalui program-program pelatihan dan sertifikasi serta pelatihan peningkatan produktivitas bersumber dari APBN yang dilaksanakan di Balai Latihan Kerja (BLK), baik BLK Pemerintah, Swasta (LPKS, BLK Komunitas), Pemagangan, Balai Peningkatan Produkvitas (BPP) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
Sampai saat ini, kata Hanif, jumlah BLK milik pemerintah sebanyak 303 BLK. Pada 2017 lalu, telah dibangun BLK komunitas sebanyak 50 BLK dan sudah bisa melatih sebanyak 4.000 orang. Tahun ini, segera terbangun sebanyak 75 BLK komunitas. Berdasarkan Instruksi Presiden tahun 2019 agar dibangun lagi 1.000 BLK Komunitas.
Sementara itu, Deputi Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Tubagus Achmad Choesni mengatakan Revolusi Industri4.0 akan ditandai dengan pengembangan industri yang digerakkan oleh teknologi dan perubahan ekonomi berbasis platform.
“Artinya selain peningkatan produktivitas kualitas produksi, tapi juga memerlukan tenaga kerja yang lebih adaptif,” kata Tubagus.
Salah satunya dengan penguatan sekolah vokasi. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah membuat Grand Design Pelatihan Vokasi. Pemerintah memberikan akses yang seluas-luasnya untuk tenaga kerja atau pencari kerja mengikuti pelatihan baik di Balai Latihan Kerja (BLK), industri, atau program magang yang diharapkan bisa masuk ke pasar kerja dan berwirausaha.
Mengacu pada hasil riset McKinsley Global Institute (MGI) yang diolah dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, Indonesia memiliki potensi menjadi negara ekonomi ke-7 terbesar di dunia pada 2030 mendatang.
Namun syarat utamanya adalah Indonesia harus memiliki 113 juta tenaga kerja terampil pada saat itu sebagai indikator kemapanan daya saing tenaga kerja. Sayangnya, berdasarkan hasil riset Badan Perencanaan dan Pengembangan Kementerian Ketena gaker jaan (Barenbangnaker) yang diolah dari data BPS pada 2015, jumlah tenaga kerja terampil yang dimiliki Indonesia saat ini adalah 57 juta orang saja.
Artinya Indonesia membutuhkan supply tenaga kerja terampil per tahun dari 2016- 2030 sekitar sebanyak 3,7 juta/tahun. Masing-masing 1,59 juta tenaga kerja level ahli tersertifikasi, 0,46 juta tenaga kerja level teknisi atau analis tersertifikasi, dan 1,85 juta tenaga kerja level operator atau pelak sana terser tifikasi.
“Hal inilah yang menjadi tantangan kita bersama untuk memenuhinya,” ujar Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri di Jakarta, belum lama ini. Hanif meyakini, melalui kerja sama semua pihak, Indonesia akan mampu bertahan menghadapi era Revolusi Industri 4.0 dengan segala peluang dan tantangannya yang massif.
Dulu saat memasuki Revolusi Industri 1.0, 2.0 dan 3.0, awalnya juga dipenuhi banyak respons kekhawatiran, namun pada akhirnya bisa bertahan dan melampauinya.
Demikian pula menghadapi Revolusi Indus tri 4.0, semua orang heboh. “Tapi saya yakinat the end juga bisa survive. Hanya masalahnya tahapan Revolusi Industri 1.0 hingga Revolusi Indus tri 3.0 berjalan lebih predictable karena waktunya lebih panjang,” ujarnya.
Menurut Hanif, untuk menghadapi Revolusi Industri4.0 dan konsekuensi yang muncul di tingkat industri, pekerja yang terampil (skillfull) perlu disiapkan. Selain itu, juga diperlukan skema perlindungan tenaga kerja di masa depan.
“Pemerintah, industri dan serikat pekerja, dunia usaha, LSM dan kalangan serta perguruan tinggi harus mengatasinya secara bersama. Semua pihak harus ngepung persoalan ini sehingga investasi SDM bisa merespon perubahan-perubahan yang begitu cepat terjadi,” tutur Hanif.
Hanif menjelaskan, Revolusi Industri4.0 adalah proses produksi di seluruh dunia yang mengombinasikan tiga unsur penting, yakni manusia, mesin/robot, dan big data. Kombinasi tiga unsur itu akan menggerakkan seluruh produksi menjadi lebih efisien dan lebih cepat dan lebih massif.
Kondisi ini akan mengubah banyak hal, termasuk perubahan di tingkat industri. Industri akan bertransformasi karena proses produksinya berubah. Ketika proses produksi berubah, proses bisnisnya juga berubah. “Contohnya isu job security. Dalam dunia sekarang ini, pasti konsepnya juga berubah dan responnya kita juga berubah,” katanya.
Hanif menambahkan, hingga saat ini pemerintah terus melakukan pemetaan pekerjaan di masa depan khususnya di sektor dan profesi yang tumbuh atau yang tak lagi relevan.
“Ketika pekerjaan berubah maka hal ketiga yang berubah adalah tuntutan skills-nya. Ketika tuntutan skills-nya berubah, bagaimana skema pendidikan dan pelatihan kita juga harus berubah,” katanya.
Hanif menegaskan, isu pelatihan vokasi (vocational training) perlu mendapat perhatian penting karena memiliki kelenturan dalam mendorong perubahan skills di masyarakat. Pemerintah juga telah membuat rencana program pelatihan vokasi.
Salah satunya melalui program-program pelatihan dan sertifikasi serta pelatihan peningkatan produktivitas bersumber dari APBN yang dilaksanakan di Balai Latihan Kerja (BLK), baik BLK Pemerintah, Swasta (LPKS, BLK Komunitas), Pemagangan, Balai Peningkatan Produkvitas (BPP) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
Sampai saat ini, kata Hanif, jumlah BLK milik pemerintah sebanyak 303 BLK. Pada 2017 lalu, telah dibangun BLK komunitas sebanyak 50 BLK dan sudah bisa melatih sebanyak 4.000 orang. Tahun ini, segera terbangun sebanyak 75 BLK komunitas. Berdasarkan Instruksi Presiden tahun 2019 agar dibangun lagi 1.000 BLK Komunitas.
Sementara itu, Deputi Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Tubagus Achmad Choesni mengatakan Revolusi Industri4.0 akan ditandai dengan pengembangan industri yang digerakkan oleh teknologi dan perubahan ekonomi berbasis platform.
“Artinya selain peningkatan produktivitas kualitas produksi, tapi juga memerlukan tenaga kerja yang lebih adaptif,” kata Tubagus.
(don)