Pertumbuhan Ekonomi Masih Cukup Kuat
A
A
A
JAKARTA - Kinerja ekonomi kuartal III/2018 yang tumbuh 5,17% memicu optimisme di tengah gejolak ekonomi global. Kendati angkanya lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya yang mencapai 5,27%, beberapa sektor mengalami pertumbuhan signifikan.
Di antara beberapa faktor yang bisa menjadi acuan adalah membaiknya neraca perdagangan pada Oktober lalu yang membukukan surplus USD230 juta. Di samping itu, laporan terkini Bank Indonesia (BI) menyebutkan bahwa cadangan devisa pada bulan yang sama juga naik menjadi USD115,2 miliar, lebih tinggi dibanding September 2018 yang hanya USD114,8 miliar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, secara keseluruhan ekonomi pada kuartal III/2018 cukup tahan terhadap gejolak ekonomi global. Menurutnya, sektor konsumsi rumah tangga dan investasi pada periode tersebut juga masih cukup baik.
“Saya kira itu cukup baik untuk menghadapi gejolak yang sedang berakumulasi dari normalisasi kebijakan moneter di negara maju, kemudian perang dagang, harga minyak yang meningkat. Jadi, pada akhirnya market mengapresiasi itu,” ujar Darmin di Jakarta kemarin.
Menurut Darmin, data-data ekonomi terbaru itulah yang menyebabkan nilai tukar rupiah menguat dalam beberapa hari ter akhir. Berdasarkan kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), kemarin nilai tukar rupiah berada di level Rp14.764 per dolar AS.
Angka tersebut membaik dibanding posisi pada Senin (5/11), yaitu rupiah diper da gangkan di level Rp14.962 per dolar AS dan Selasa (6/11) Rp14.891 per dolar AS.
“Artinya, di ba wah Rp15.000 itu karena intinya ada konsumsi rumah tangga dan investasi, syukur ada ekspor. Susah mengharapkan ekspor di situasi perang dagang. Hampir tidak ada negara yang membaik ekspornya maupun pertumbuhan industrinya dalam periode perang dagang,” tutur Darmin.
Dia optimistis pada kuartal IV/2018 pertumbuhan ekonomi bakal mencapai 5,2% sehingga hingga akhir tahun rata-rata pertumbuhan eko nomi bisa 5,2%. Meski demikian, harus ada kebijakan tambahan untuk mendukungnya. “Harus dipersiapkan dalam waktu dekat dan tidak lama kita bisa keluarkan,” ungkapnya. Menurut Darmin, paling tidak ada satu perluasan insentif pajak yang sedang diselesaikan, termasuk yang belum dikeluarkan seperti supertax deduction dan perluasan insentif pajak yang lain.
“Kemudian ada juga revisi DNI (daftar negatif investasi). Ya, jangan tahun ini, kita akan usahakan dalam waktu cepat. Mudah-mudahan 2-3 minggu ke depan,” katanya.
Terkait penguatan rupiah, ujar Darmin, salah satu penyebabnya adalah karena pasar melihat bahwa mata uang garuda sudah undervalue. “Pasar menganggap rupiah itu sudah terlalu murah sehingga dia masuk, beli, dan akhirnya rupiah menguat. Memang ada yang namanya bank investasi yang mengatakan itu sehingga modal asingnya ada yang mulai masuk yang membuat rupiah mulai menguat,” ungkapnya.
Meski begitu, Darmin belum bisa memastikan apakah penguatan rupiah ini sementara atau jangka panjang. Hal ini bergantung dari kebijakan dari Amerika Serikat (AS) dan perkembangan perang dagang.
“Ya, tergantung karena AS pun masih akan menaikkan tingkat suku bunganya. Kemudian perang dagang nanti entah bagaimana. Kita belum bisa bilang,” kilahnya.
Optimisme juga disampaikan oleh Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo, bahwa pertum buhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,2%. Hal tersebut terbantu karena adanya perhelatan akbar Asian Games ada World Bank Annual Meeting yang digelar pada Oktober lalu. “Jadi kemungkinan konsumsi akan tinggi di Desember itu bisa jadi drive di kuartal IV dan tahun 2018 optimistis masih 5,2%,” katanya.
Dia melanjutkan, pada kuartal IV/2018, konsumsi rumah tangga masih akan memberikan kontribusi cukup baik sehingga bisa jadi motor perekonomian. “Begitu juga dengan ekspor dan investasi masih tinggi,” katanya.
Kendati demikian, kata Dody, sektor perdagangan masih harus menjadi perhatian karena pertumbuhan impor cenderung lebih tinggi dibanding pertumbuhan impor. “Meskipun ekspor sebenarnya sudah tumbuh, kecepatannya di bawah impor. Kedepan pemerintah akan mendorong investasi, akan ada insentif. Termasuk tax holiday, pembangunan KEK akan didorong, dan akan masuk dana baru untuk mendorong ekonomi,” paparnya.
Konsumsi Jadi Andalan
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menilai perekonomian Indonesia masih cukup baik mengingat adanya berbagai tekanan dari luar. Shinta menjelaskan, pertumbuhan ekonomi kuartal III/ 2018 lebih tinggi dari pertumbuhan kuartal yang sama di 2017 dan 2016.
“Ekonomi kita masih cukup baik, namun target APBN 2018 yang 5,4% rasanya tidak mungkin. Dengan kondisi saat ini, angka 5,15- 5,2% rasanya masih cukup memungkinkan karena masih ada belanja pemilu dan konsumsi Natal dan Tahun Baru,” ujarnya.
Menurut Shinta, konsumsi di sektor politik juga akan menopang pertumbuhan. Hal ini terlihat dari sisi pengeluaran untuk lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT) yang pertumbuhannya 8,5%.
“Pembentukan modal terhadap bruto (PMTB) juga naik cukup tinggi sehingga kita bisa melihat pertumbuhan ekonomi yang terjaga nanti,” ungkapnya. Shinta melanjutkan, tahun depan tantangan global diperkirakan mulai mereda. Perang dagang dan kenaikan suku bunga The Fed mungkin masih akan terus terjadi, namun dampaknya akan lebih bisa diatur dan diprediksi.
Selain itu, tantangan terbesar masih dari sisi kemudahan berusaha. Hal ini tecermin dari peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) Indo nesia 2019 yang turun satu peringkat ke posisi 73 dari 190 negara.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, meski pertumbuhan ekonomi di kuartal III/2018 masih cukup kuat karena ditopang sektor konsumsi rumah tangga dan pemerintah, hal itu harus diimbangi dengan pertumbuhan di sektor produktif. “Kalau pemulihan daya beli masyarakat dan stimulus fiskal meningkatkan sektor produktif, pertumbuhan akan bisa lebih berkelanjutan. Kalau hanya memacu sektor konsumtif, dikhawatirkan hanya temporer,” ujarnya.
Dia memperkirakan pada kuartal IV/2018 pertumbuhan ekonomi masih akan berada di kisaran 5,1% dengan catatan stabilitas harga kebutuhan pokok dan elastisitas kesempatan kerja bisa terjaga.
Ekonom Universitas Gadjah Mada, A Tony Prasetiantono, memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini tidak akan mencapai 5,4%, melainkan hanya di level 5,2%. Alasannya, gairah konsumsi yang tidak cukup besar, yaitu hanya tumbuh 5%. “Padahal konsumsi rumah tangga memberi kontribusi 55% terhadap pembentukan PDB,” kata Tony saat dihubungi kemarin.
“Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% adalah paling realistis pada 2018, sedangkan ekonomi di angka 5,3% atau bahkan 5,4% boleh dibilang realistis untuk 2019.”
Pengamat ekonomi dari ADB Institute, Eric Alexander Sugandi, mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2018 akan berada pada kisaran 5,1-5,2% secara year on year (yoy) atau lebih mendekati 5,2%. Dari sisi pengeluaran, pen dorong utama pertum buhan masih tetap pada sektor investasi dan ekspor. Lalu disusul oleh konsumsi rumah tangga. “Dan ini akan terbantu faktor Natal dan liburan akhir tahun,” kata Eric. (Oktiani Endarwati/ Kunthi Fahmar Sandy)
Di antara beberapa faktor yang bisa menjadi acuan adalah membaiknya neraca perdagangan pada Oktober lalu yang membukukan surplus USD230 juta. Di samping itu, laporan terkini Bank Indonesia (BI) menyebutkan bahwa cadangan devisa pada bulan yang sama juga naik menjadi USD115,2 miliar, lebih tinggi dibanding September 2018 yang hanya USD114,8 miliar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, secara keseluruhan ekonomi pada kuartal III/2018 cukup tahan terhadap gejolak ekonomi global. Menurutnya, sektor konsumsi rumah tangga dan investasi pada periode tersebut juga masih cukup baik.
“Saya kira itu cukup baik untuk menghadapi gejolak yang sedang berakumulasi dari normalisasi kebijakan moneter di negara maju, kemudian perang dagang, harga minyak yang meningkat. Jadi, pada akhirnya market mengapresiasi itu,” ujar Darmin di Jakarta kemarin.
Menurut Darmin, data-data ekonomi terbaru itulah yang menyebabkan nilai tukar rupiah menguat dalam beberapa hari ter akhir. Berdasarkan kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), kemarin nilai tukar rupiah berada di level Rp14.764 per dolar AS.
Angka tersebut membaik dibanding posisi pada Senin (5/11), yaitu rupiah diper da gangkan di level Rp14.962 per dolar AS dan Selasa (6/11) Rp14.891 per dolar AS.
“Artinya, di ba wah Rp15.000 itu karena intinya ada konsumsi rumah tangga dan investasi, syukur ada ekspor. Susah mengharapkan ekspor di situasi perang dagang. Hampir tidak ada negara yang membaik ekspornya maupun pertumbuhan industrinya dalam periode perang dagang,” tutur Darmin.
Dia optimistis pada kuartal IV/2018 pertumbuhan ekonomi bakal mencapai 5,2% sehingga hingga akhir tahun rata-rata pertumbuhan eko nomi bisa 5,2%. Meski demikian, harus ada kebijakan tambahan untuk mendukungnya. “Harus dipersiapkan dalam waktu dekat dan tidak lama kita bisa keluarkan,” ungkapnya. Menurut Darmin, paling tidak ada satu perluasan insentif pajak yang sedang diselesaikan, termasuk yang belum dikeluarkan seperti supertax deduction dan perluasan insentif pajak yang lain.
“Kemudian ada juga revisi DNI (daftar negatif investasi). Ya, jangan tahun ini, kita akan usahakan dalam waktu cepat. Mudah-mudahan 2-3 minggu ke depan,” katanya.
Terkait penguatan rupiah, ujar Darmin, salah satu penyebabnya adalah karena pasar melihat bahwa mata uang garuda sudah undervalue. “Pasar menganggap rupiah itu sudah terlalu murah sehingga dia masuk, beli, dan akhirnya rupiah menguat. Memang ada yang namanya bank investasi yang mengatakan itu sehingga modal asingnya ada yang mulai masuk yang membuat rupiah mulai menguat,” ungkapnya.
Meski begitu, Darmin belum bisa memastikan apakah penguatan rupiah ini sementara atau jangka panjang. Hal ini bergantung dari kebijakan dari Amerika Serikat (AS) dan perkembangan perang dagang.
“Ya, tergantung karena AS pun masih akan menaikkan tingkat suku bunganya. Kemudian perang dagang nanti entah bagaimana. Kita belum bisa bilang,” kilahnya.
Optimisme juga disampaikan oleh Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo, bahwa pertum buhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,2%. Hal tersebut terbantu karena adanya perhelatan akbar Asian Games ada World Bank Annual Meeting yang digelar pada Oktober lalu. “Jadi kemungkinan konsumsi akan tinggi di Desember itu bisa jadi drive di kuartal IV dan tahun 2018 optimistis masih 5,2%,” katanya.
Dia melanjutkan, pada kuartal IV/2018, konsumsi rumah tangga masih akan memberikan kontribusi cukup baik sehingga bisa jadi motor perekonomian. “Begitu juga dengan ekspor dan investasi masih tinggi,” katanya.
Kendati demikian, kata Dody, sektor perdagangan masih harus menjadi perhatian karena pertumbuhan impor cenderung lebih tinggi dibanding pertumbuhan impor. “Meskipun ekspor sebenarnya sudah tumbuh, kecepatannya di bawah impor. Kedepan pemerintah akan mendorong investasi, akan ada insentif. Termasuk tax holiday, pembangunan KEK akan didorong, dan akan masuk dana baru untuk mendorong ekonomi,” paparnya.
Konsumsi Jadi Andalan
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menilai perekonomian Indonesia masih cukup baik mengingat adanya berbagai tekanan dari luar. Shinta menjelaskan, pertumbuhan ekonomi kuartal III/ 2018 lebih tinggi dari pertumbuhan kuartal yang sama di 2017 dan 2016.
“Ekonomi kita masih cukup baik, namun target APBN 2018 yang 5,4% rasanya tidak mungkin. Dengan kondisi saat ini, angka 5,15- 5,2% rasanya masih cukup memungkinkan karena masih ada belanja pemilu dan konsumsi Natal dan Tahun Baru,” ujarnya.
Menurut Shinta, konsumsi di sektor politik juga akan menopang pertumbuhan. Hal ini terlihat dari sisi pengeluaran untuk lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT) yang pertumbuhannya 8,5%.
“Pembentukan modal terhadap bruto (PMTB) juga naik cukup tinggi sehingga kita bisa melihat pertumbuhan ekonomi yang terjaga nanti,” ungkapnya. Shinta melanjutkan, tahun depan tantangan global diperkirakan mulai mereda. Perang dagang dan kenaikan suku bunga The Fed mungkin masih akan terus terjadi, namun dampaknya akan lebih bisa diatur dan diprediksi.
Selain itu, tantangan terbesar masih dari sisi kemudahan berusaha. Hal ini tecermin dari peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) Indo nesia 2019 yang turun satu peringkat ke posisi 73 dari 190 negara.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, meski pertumbuhan ekonomi di kuartal III/2018 masih cukup kuat karena ditopang sektor konsumsi rumah tangga dan pemerintah, hal itu harus diimbangi dengan pertumbuhan di sektor produktif. “Kalau pemulihan daya beli masyarakat dan stimulus fiskal meningkatkan sektor produktif, pertumbuhan akan bisa lebih berkelanjutan. Kalau hanya memacu sektor konsumtif, dikhawatirkan hanya temporer,” ujarnya.
Dia memperkirakan pada kuartal IV/2018 pertumbuhan ekonomi masih akan berada di kisaran 5,1% dengan catatan stabilitas harga kebutuhan pokok dan elastisitas kesempatan kerja bisa terjaga.
Ekonom Universitas Gadjah Mada, A Tony Prasetiantono, memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini tidak akan mencapai 5,4%, melainkan hanya di level 5,2%. Alasannya, gairah konsumsi yang tidak cukup besar, yaitu hanya tumbuh 5%. “Padahal konsumsi rumah tangga memberi kontribusi 55% terhadap pembentukan PDB,” kata Tony saat dihubungi kemarin.
“Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% adalah paling realistis pada 2018, sedangkan ekonomi di angka 5,3% atau bahkan 5,4% boleh dibilang realistis untuk 2019.”
Pengamat ekonomi dari ADB Institute, Eric Alexander Sugandi, mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2018 akan berada pada kisaran 5,1-5,2% secara year on year (yoy) atau lebih mendekati 5,2%. Dari sisi pengeluaran, pen dorong utama pertum buhan masih tetap pada sektor investasi dan ekspor. Lalu disusul oleh konsumsi rumah tangga. “Dan ini akan terbantu faktor Natal dan liburan akhir tahun,” kata Eric. (Oktiani Endarwati/ Kunthi Fahmar Sandy)
(nfl)