Resto Indonesia Mendunia

Minggu, 25 November 2018 - 10:45 WIB
Resto Indonesia Mendunia
Resto Indonesia Mendunia
A A A
Hari Kamis-Jumat (22–23 November) lalu adalah hari bersejarah bagi Indonesia karena hari itu untuk pertama kalinya kita mengumpulkan sekitar 100 pemilik resto Indonesia di luar negeri (”resto diaspora”) di ajang Wonderful Indonesia Gastronomy Forum (WIGF): Diaspora Restaurant yang dibesut Kementerian Pariwisata.

Mereka datang ke Jakarta untuk meneguhkan tekad melakukan diplomasi kuliner agar masakan-masakan hebat Indonesia bisa mendunia dan diterima konsumen global.

Seperti halnya pizza (Italia), tom yam (Thailand), atau sushi (Jepang), kita ingin masakan-masakan hebat kita seperti soto, rendang, sate, nasi goreng, dan gado-gado bisa diterima masyarakat dunia.

Emosional
Bertemu dengan para pemilik resto diaspora sungguh memicu muatan emosional. Bayangkan, selama ini mereka berjuang sendiri di negeri orang, negara lalai. Begitu negara hadir mengulurkan tangan, mereka begitu trenyuh dan tak henti-hentinya berterima kasih.

Jangan dikira mengelola resto di negeri orang itu gampang. Mereka betul-betul menjadi CEO aliaschief of everything officer. Karena semua urusan mulai dari manajemen resto, keuangan, jualan, masak atau bahkan cuci piring mereka kerjakan sendiri.

Semua dilakukan secara oneman show karena memang biaya tenaga kerja di negaranegara Eropa atau di Amerika mahal minta ampun. Tak sedikit resto Indonesia di luar negeri yang tutup karena pemiliknya tak kuat lagi mengelolanya.

Tak jarang pula resto-resto Indonesia itu berpindah pemilik dan beralih fungsi menjadi resto Thailand atau resto Jepang karena mendirikan dan mengelola resto Thailand dan Jepang jauh lebih mudah.

Kenapa? Karena negara mereka hadir sebagai ”dewa penolong” membantu pengadaan bumbu dan bahan baku, memberikansoft loan pendirian resto, dan aktif membantu promosi.

Lalu bagaimana membantu resto diaspora untuk mengembangkan diri sekaligus menyebarkan masakan Indonesia ke seluruh dunia? Caranya bisa melalui dua jalur, yaitu business to government(B2G) dan business to business (B2B).

B2G
Jalur B2G dilakukan melalui campur tangan pemerintah secara aktif dalam melancarkan bisnis resto diaspora. Domain peran pemerintah di sini mencakup: kebijakan dan regulasi, orkestrasi Indonesia Inc (kolaborasi unsur pentahelix: government, business, academician, media, komunitas), lobi ke negara/pemerintah lokal hingga aktivasi promosi secara langsung.

Di salah satu sesi WIGF ada cerita menarik yang disampaikan pemilik resto di Shanghai. Awalnya ia menggunakan santan Kara asal Indonesia untuk masakannya, tetapi sejak setahun terakhir ia menggunakan produk santan Thailand.

Pasalnya harga santan Kara di Shanghai dua kali lipat dari nharga santan Thailand. Kenapa begitu? Karena produk santan Thailand menikmati bea masuk impor yang rendah berkat lobi-lobi dan kebijakan strategis Pemerintah Thailand.

Mengenai peran negara dalam membantu resto diaspora, kita wajib belajar dari Thailand. Melalui program Kitchen of the World sejak 1990-an, Thailand aktif mendorong resto diaspora Thailand sehingga kini mampu ”menjajah” dunia dengan jumlah puluhan ribu Thai resto di seluruh dunia.

Pemerintah Thailand agresif mendorong resto diasporanya dengan beragam strategi seperti memberikan soft loanhingga 100.000 dolar untuk pendirian Thai resto di luar negeri, strategi sistematik untuk menyebarkan national food ke seluruh dunia, hingga mengembangkan infrastruktur globalcold-chain food logistic untuk menopang operasi Thai resto di seluruh dunia.

B2B
Sementara itu jalur B2B bisa dilakukan dengan mengerahkan partisipasi perusahaanperusahaan Indonesia, khususnya yang memasarkan produk dan memiliki operasi di luar negeri, untuk membantu operasi resto diaspora.

Satu inisiatif yang sama sekali baru di WIGF ini adalah menyambungkan kepentingan perusahaan-perusahaan nasional kita dengan resto diaspora. Di sini Kemenpar melalui co-branding team-nya menjadi ”mak comblang” mempertemukan kepentingan perusahaan-perusahaan nasional dengan para pemilik resto diaspora.

Ambil contoh, BRI memiliki nasabah prioritas (wealth management), yaitu orang-orang kaya yang berpotensi menjadi partner/investor bagi pemilik resto diaspora. Maka BRI bisa menggelar business matching, mempertemukan nasabahnya dengan para pemilik resto diaspora. Perlu diketahui, partner/investor merupakan kendala paling krusial bagi pemilik resto diaspora dalam mengembangkan jaringan restonya.

Contoh lain, Suwe Ora Jamu (kedai jamu dan produsen jamu kemasan) dan Javara (produsen pangan lokal khas Indonesia seperti beras, rempah-rempah, kacang hijau, minyak, hingga rumput laut) yang hadir di WIGF kemarin misalnya bisa melakukan kerja sama B2B dengan resto diaspora untuk menyebarkan jamu ke seluruh dunia atau memasok kebutuhan bumbu dan rempah-rempah.

Ada banyak format kerja sama B2B yang bisa dilakukan. Kebetulan co-branding team Kemenpar sudah mengurasi sekitar 130 perusahaan/brand nasional yang siap untuk bekerja sama mendukung resto diaspora di seluruh dunia.

Mari kita mainkan. Inilah indahnya kolaborasi, yaitu ketika seluruh elemen bangsa (pentahelix) bergandengan tangan dan bersatu-padu untuk membantu resto diaspora.

Visinya jelas: membawa soto, rendang, atau nasi goreng ”menjajah” dunia dengan memanfaatkan resto diaspora sebagai channel pemasaran. Viva resto diaspora, viva kuliner Indonesia.

YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0759 seconds (0.1#10.140)