Indonesia Butuh 4 Juta Wirausaha Baru
A
A
A
JAKARTA - Indonesia membutuhkan sedikitnya 4 juta wirausaha baru untuk turut mendorong penguatan struktur ekonomi.
Saat ini, rasio wirausaha di dalam negeri masih sekitar 3,1% dari total populasi penduduk. ”Agar Indonesia menjadi negara maju, pemerintah terus memacu pertumbuhan wirausaha, termasuk industri kecil dan menengah (IKM), sekaligus meningkatkan produktivitas dan daya saingnya pada era digital,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulisnya kemarin.
Menurut Menperin, meski rasio wirausaha di Indonesia sudah melampaui standar internasional, yakni sebesar 2%, Indonesia perlu menggenjot lagi untuk mengejar capaian negara tetangga.
Dia mencontohkan, Singapura saat ini sudah mencapai angka 7%. Sementara Malaysia berada di level 5%. Apabila dihitung dengan populasi penduduk Indonesia sekitar 260 juta jiwa, jumlah wirausaha nasional mencapai 8,06 juta jiwa.
Airlangga menjelaskan, dalam menghadapi era revolusi industri 4.0, pihaknya telah menggagas platform ecommerce bertajuk e-Smart IKM. Ini sebagai salah satu upaya strategis pemerintah guna membangun sistem database IKM yang diintegrasikan melalui beberapa market place yang sudah ada di Indonesia.
”Revolusi industri 4.0 memang sesuatu tantangan yang harus kita persiapkan dengan matang, misalnya melalui program pengembangan IKM berbasis digital,” ungkapnya. Sejak diluncurkan pada Januari 2017, peserta yang telah mengikuti e-Smart IKM lebih dari 4.000 pelaku usaha dengan total omzet sudah mencapai Rp1,3 miliar.
Di samping itu, pemerintah juga menggulirkan program Laku Pandai (Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif). Ini merupakan program dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk penyediaan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya melalui kerja sama dengan pihak lain (agen bank) dan didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.
”Laku Pandai juga salah satu platform digital untuk jualan tanpa barang kelihatan, seperti voucher pulsa telepon atau listrik. Ini bisa menambah profit pelaku usaha kita,” tuturnya.
Menperin juga memberikan apresiasi kepada PT HM Sampoerna yang telah bekerja keras untuk memberdayakan usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia melalui program Sampoerna Retail Community (SRC).
”Dengan pengembangan platform digital, maka SRC juga tidak perlu takut untuk berkompetisi dengan pasar modern atau minimarket. Kemampuan bersaing yang sudah dimiliki harus terus dikembangkan,” ungkapnya.
Hingga kini, SRC telah mencakup 90.000 peritel dari 34 provinsi dan 480 kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), pertumbuhan industri ritel pada kuartal I/2018 mencapai 7–7,5% dan berkontribusi hingga 60% untuk perekonomian nasional. Peritel yang berbasis UKM ini juga memberi dampak terhadap kualitas hidup masyarakat di sekitarnya, antara lain melalui penyerapan tenaga kerja.
Pemberdayaan IKM Rokok
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mendukung pemberdayaan usaha kecil menengah (UKM) rokok, di antaranya melalui pembatalan pemberlakuan PMK No 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang berakibat harga rokok tidak jadi naik.
”Kita sadari bersama bahwa rokok merupakan sumber utama omzet para pedagang UKM sehingga pembatalan kenaikan cukai ini dapat mempertahankan pendapatan para peritel,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam rilis kemarin.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, industri pengolahan hasil tembakau mempunyai peranan penting dalam peningkatan ekonomi negara.
Bahkan, sesuai Perpres No 28/2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, industri hasil tembakau termasuk salah satu sektor yang dikembangkan dengan tetap memperhatikan keseimbangan dalam hal penyerapan tenaga kerja, penerimaan dan kesehatan.
”Industri hasil tembakau yang bersumber pada kearifan lokal telah mampu bersaing dan bertahan menjadi industri dalam negeri yang memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa melalui penyerapan tenaga kerja dan kontribusi kepada pendapatan negara melalui cukai,” kata Airlangga.
Pada 2017, penerimaan cukai dari sektor industri hasil tembakau mencapai Rp147,7 triliun, meningkat 7,1% dibanding tahun 2016 sebesar Rp137,9 triliun. Selanjutnya, pada 2016, nilai ekspor rokok menembus USD784 juta, meningkat menjadi USD866 juta pada 2017.
”Sektor ini juga telah mempe kerjakan sebanyak 7 juta petani,” imbuhnya. Pemerintah juga memutuskan untuk merelaksasi industri rokok dari daftar negatif investasi (DNI) yang merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi ke-XVI.
Airlangga mengatakan, kebijakan ini dilakukan untuk membantu tumbuhnya sektor IKM pengolahan tembakau. Hal ini mengingat jumlah industri rokok yang terus turun. (Oktiani Endarwati)
Saat ini, rasio wirausaha di dalam negeri masih sekitar 3,1% dari total populasi penduduk. ”Agar Indonesia menjadi negara maju, pemerintah terus memacu pertumbuhan wirausaha, termasuk industri kecil dan menengah (IKM), sekaligus meningkatkan produktivitas dan daya saingnya pada era digital,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulisnya kemarin.
Menurut Menperin, meski rasio wirausaha di Indonesia sudah melampaui standar internasional, yakni sebesar 2%, Indonesia perlu menggenjot lagi untuk mengejar capaian negara tetangga.
Dia mencontohkan, Singapura saat ini sudah mencapai angka 7%. Sementara Malaysia berada di level 5%. Apabila dihitung dengan populasi penduduk Indonesia sekitar 260 juta jiwa, jumlah wirausaha nasional mencapai 8,06 juta jiwa.
Airlangga menjelaskan, dalam menghadapi era revolusi industri 4.0, pihaknya telah menggagas platform ecommerce bertajuk e-Smart IKM. Ini sebagai salah satu upaya strategis pemerintah guna membangun sistem database IKM yang diintegrasikan melalui beberapa market place yang sudah ada di Indonesia.
”Revolusi industri 4.0 memang sesuatu tantangan yang harus kita persiapkan dengan matang, misalnya melalui program pengembangan IKM berbasis digital,” ungkapnya. Sejak diluncurkan pada Januari 2017, peserta yang telah mengikuti e-Smart IKM lebih dari 4.000 pelaku usaha dengan total omzet sudah mencapai Rp1,3 miliar.
Di samping itu, pemerintah juga menggulirkan program Laku Pandai (Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif). Ini merupakan program dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk penyediaan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya melalui kerja sama dengan pihak lain (agen bank) dan didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.
”Laku Pandai juga salah satu platform digital untuk jualan tanpa barang kelihatan, seperti voucher pulsa telepon atau listrik. Ini bisa menambah profit pelaku usaha kita,” tuturnya.
Menperin juga memberikan apresiasi kepada PT HM Sampoerna yang telah bekerja keras untuk memberdayakan usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia melalui program Sampoerna Retail Community (SRC).
”Dengan pengembangan platform digital, maka SRC juga tidak perlu takut untuk berkompetisi dengan pasar modern atau minimarket. Kemampuan bersaing yang sudah dimiliki harus terus dikembangkan,” ungkapnya.
Hingga kini, SRC telah mencakup 90.000 peritel dari 34 provinsi dan 480 kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), pertumbuhan industri ritel pada kuartal I/2018 mencapai 7–7,5% dan berkontribusi hingga 60% untuk perekonomian nasional. Peritel yang berbasis UKM ini juga memberi dampak terhadap kualitas hidup masyarakat di sekitarnya, antara lain melalui penyerapan tenaga kerja.
Pemberdayaan IKM Rokok
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mendukung pemberdayaan usaha kecil menengah (UKM) rokok, di antaranya melalui pembatalan pemberlakuan PMK No 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang berakibat harga rokok tidak jadi naik.
”Kita sadari bersama bahwa rokok merupakan sumber utama omzet para pedagang UKM sehingga pembatalan kenaikan cukai ini dapat mempertahankan pendapatan para peritel,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam rilis kemarin.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, industri pengolahan hasil tembakau mempunyai peranan penting dalam peningkatan ekonomi negara.
Bahkan, sesuai Perpres No 28/2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, industri hasil tembakau termasuk salah satu sektor yang dikembangkan dengan tetap memperhatikan keseimbangan dalam hal penyerapan tenaga kerja, penerimaan dan kesehatan.
”Industri hasil tembakau yang bersumber pada kearifan lokal telah mampu bersaing dan bertahan menjadi industri dalam negeri yang memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa melalui penyerapan tenaga kerja dan kontribusi kepada pendapatan negara melalui cukai,” kata Airlangga.
Pada 2017, penerimaan cukai dari sektor industri hasil tembakau mencapai Rp147,7 triliun, meningkat 7,1% dibanding tahun 2016 sebesar Rp137,9 triliun. Selanjutnya, pada 2016, nilai ekspor rokok menembus USD784 juta, meningkat menjadi USD866 juta pada 2017.
”Sektor ini juga telah mempe kerjakan sebanyak 7 juta petani,” imbuhnya. Pemerintah juga memutuskan untuk merelaksasi industri rokok dari daftar negatif investasi (DNI) yang merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi ke-XVI.
Airlangga mengatakan, kebijakan ini dilakukan untuk membantu tumbuhnya sektor IKM pengolahan tembakau. Hal ini mengingat jumlah industri rokok yang terus turun. (Oktiani Endarwati)
(nfl)