Digitalisasi, Langkah IPC Menjadi Pengelola Pelabuhan Kelas Dunia

Minggu, 25 November 2018 - 13:27 WIB
Digitalisasi, Langkah IPC Menjadi Pengelola Pelabuhan Kelas Dunia
Digitalisasi, Langkah IPC Menjadi Pengelola Pelabuhan Kelas Dunia
A A A
JAKARTA - Hujan lebat yang mengguyur Jakarta disertai angin kencang sehari sebelumnya tak membuat kawasan sekitar pelabuhan Tanjung Priok tergenang air. Hari masih pagi, belum banyak truk pengangkut kontainer yang antre masuk pelabuhan Jumat (23/11/2018) lalu. Menjelang siang, truk-truk pengangkut kontainer mulai berdatangan dari arah pintu keluar jalan tol.

Meskipun ukuran truk rata-rata besar, namun tak terlihat antrean panjang di pintu masuk pelabuhan. Bisa jadi, para sopir truk pengangkut kontainer itu sudah memiliki IPC Smart Card yang digunakan untuk masuk melalui e-pass di pelabuhan Tanjung Priok.

Dulu, kawasan Tanjung Priok terkenal dengan kawasan yang berdebu, kumuh, macet, semrawut dan kerap menghadirkan bau tak sedap dari air yang lama menggenang. Namun, kini suasananya berubah total, bersih dan rapih. Kawasan pelabuhan paling sibuk di Indonesia ini terlihat modern dan canggih. Indonesia Port Corporation (IPC), begitulah PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) dikenal, sangat serius mengelola pelabuhan di kawasan Jakarta Utara ini sebagai penggerak roda perekonomian nasional.

Tanjung Priok merupakan pelabuhan andalan logistik nasional. Distribusi barang untuk kebutuhan domestik maupun ekspor barang ke mancanegara banyak dilakukan dari pelabuhan ini, juga kegiatan impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, total barang dalam negeri yang dimuat dari pelabuhan Tanjung Priok mencapai 10.410.490 ton hingga September 2018. Sementara pada 2017 mencapai 13.356.653 ton, dan pada 2016 sebesar 14.550.753 ton. Sedangkan pada 2015 barang yang dimuat dari pelabuhan Tanjung Priok mencapai 13.810.112 ton, pada 2014 hanya 11.920.026 ton.

Untuk barang dalam negeri yang dibongkar di pelabuhan Tanjung Priok hingga September 2018 mencapai 8.761.471 ton. Periode 2017 mencapai 12.279.220 ton, kemudian 2016 sebesar 12.514.106 ton, pada periode 2015 sebesar 14.451.942 ton dan pada 2014 mencapai 16.895.032 ton. Volume bongkar muat barang di pelabuhan Tanjung Priok merupakan yang terbesar di Indonesia. Peran vital pelabuhan Tanjung Priok sebagai gerbang logistik nasional dan kegiatan ekspor impor membuat IPC terus melakukan transformasi agar mampu memenangkan kompetisi di era baru pelabuhan saat ini. Transformasi yang dilakukan tidak hanya dari sisi fasilitas dan infrastruktur baru, juga peningkatan kemampuan para karyawannya.

Salah satu wujud transformasi yang dilakukan IPC yakni mengembangkan platform digital. Proses digitalisasi ini dilakukan agar IPC bisa memiliki daya saing lebih, tak hanya di dalam negeri tapi juga bersaing di kancah global. "Di era sekarang yang serba digital, digitalisasi yang dilakukan IPC merupakan sebuah terobosan pelabuhan dengan standar dunia," kata Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi kepada SINDOnews.

Hampir di seluruh dunia, digitalisasi sektor transportasi dan logistik berjalan cepat. Banyak teknologi baru yang dihadirkan oleh pengelola pelabuhan. Perkembangan cepat digitalisasi di pelabuhan ini menandai sebuah era baru pelabuhan di dunia. Selain berfokus pada penurunan biaya logistik, digitalisasi pelabuhan juga ditujukan untuk meningkatkan produktivitas pelabuhan.

Digitalisasi pelabuhan sudah menjadi tren di era baru pelabuhan. Operator-operator pelabuhan di dunia berlomba melakukan digitalisasi dan menciptakan business model baru. Mereka ingin mempertahankan keunggulan kompetitif. Sehingga, menilai perlu mengembangkan pola pikir digital, menerapkan teknologi smart port agar tetap produktif, ramah pelanggan, ramah lingkunga dan efisien. Teknologi smart port merupakan sistem multistakeholder berbasis digital yang bisa diakses oleh para pemangku kepentingan.

Digitalisasi pelabuhan di dunia sudah sampai pada penggunaan teknologi blockchain dengan platform yang terhubung layanan berbasis cloud, perangkat dan aplikasi seluler, serta teknologi Internet of Things (IOT) lainnya. Singapura misalnya, memanfaatkan teknologi blockchain untuk mempermudah segala aspek kegiatan kepelabuhanan. Teknologi ini dimanfaatkan untuk mempersingkat masa tunggu kapal (dwelling time), juga untuk melakukan verifikasi transaksi terkait ekspor dan impor barang. Sehingga, poses pengurusan dokumen menjadi lebih cepat.

Pelabuhan lain yang sudah melakukan digitalisasi yakni pelabuhan Rotterdam, Belanda dan pelabuhan Hamburg, Jerman. Dengan menghadirkan teknologi smart port pelabuhan-pelabuhan itu terkoneksi dengan para pemangku kepentingan. Teknologi smart port yang dikembangkan di pelabuhan-pelabuhan itu mampu mengevaluasi data infrastruktur, lalu lintas dan pergerakan kapal serta perpindahan kargo.

Tak hanya Rotterdam dan Hamburg, pelabuhan Antwerp, Belgia, sudah menggunakan platform pertukaran data yang mampu mengumpulkan dan menganalisis data dari forwarder (perusahaan jasa pengiriman barang), bea cukai, dan data dari pelabuhan lainnya. Platform yang dikembangkan oleh salah satu pelabuhan tersibuk di Eropa itu bisa memantau waktu kedatangan kapal, bobot kontainer, waktu yang dibutuhkan untuk bongkar muat dan lahan yang dibutuhkan untuk menyimpan kontainer. Penggunaan platform ini berhasil mengurangi biaya logistik, mengurangi penumpukan kontainer di pelabuhan Antwerp karena kebutuhan kontainer bisa disesuaikan dengan kebutuhan pengguna jasa pelabuhan. Selain itu, teknologi smart port yang diterapkan berhasil mengurangi emisi gas buang, karena antrean truk yang masuk ke pelabuhan berkurang.

Tak hanya dari aspek bisnis, penerapan smart port juga membuat pelabuhan menjadi ramah lingkungan. Karena penggunaan energi terutama listrik dan volume limbah bisa dikontrol secara real time. Di pelabuhan Valencia, Spanyol misalnya, penerapan teknologi pencahayaan terminal berbasis gerak yang hanya menyala ketika kendaraan berada di sekitarnya bisa mengurangi konsumsi energi hingga 80%. Pelabuhan Hamburg juga mengadopsi teknologi pencahayaan serupa di jalan-jalan pelabuhan.

Lalu bagaimana dengan IPC? Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini tak mau ketinggalan. IPC melakukan serangkaian langkah strategis untuk meningkatkan produktivitas logistik melalui digitalisasi. Diantaranya menghadirkan vessel traffic system (VTS), peti kemas dan non peti kemas terminal operation system, dan platform marine operating system (MOS). Juga aplikasi auto tally, auto gate serta e-service. Sistem ini tak hanya diaplikasikan di Tanjung Priok, namun seluruh pelabuhan yang dikelola IPC.

Langkah strategis lainnya yang diimplementasikan IPC untuk mewujudkan pelabuhan yang produktif dan efisien, yakni menerapkan sistem informasi layanan tunggal secara elektronik berbasis internet (inaportnet). Sistem ini meliputi e-registration, e-booking, e-tracking dan tracing, e-payment, e-billing dan e-care.

IPC juga menghadirkan aplikasi TPS Online. Aplikasi ini membantu otoritas kepabeanan (Bea Cukai) lebih cepat memonitor pergerakan kontainer di Tempat Penimbunan Sementara (TPS). Sehingga lebih cepat merespons Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang diajukan oleh pemilik barang. Keuntungan lain dari aplikasi TPS online ini, selain mengurangi proses pemeriksaan secara manual, terminal peti kemas bisa mencocokkan keaslian dokumen Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) yang diunggah pemilik barang melalui aplikasi e-service dengan data yang ada di Bea Cukai. Hal ini bisa mencegah keluarnya peti kemas yang belum memiliki izin dari Bea Cukai.

"Digitalisasi di IPC sebenarnya sudah ada sejak lama melalui Electronic Data Interchange. Tapi saat itu terkendala infrastruktur teknologi informasi. Nah, sekarang dengan infrastruktur yang sudah berkembang pesat, saya yakin IPC bisa lebih cepat melakukan digitalisasi," ujar Siswanto Rusdi.

Jika infrastruktur teknologi informasi (TI) yang dikembangkan oleh IPC sudah berjalan, maka IPC akan memiliki bank data, sehingga akan semakin mudah meningkatkan produktivitas pelabuhan. Sebab, dengan adanya bank data, IPC bisa menghitung berapa kapasitas angkutan barang di masing-masing pelabuhan yang dikelola, berapa besar space yang tersedia untuk menyimpan kontainer di masing-masing pelabuhan, juga berapa lama dwelling time di masing-masing pelabuhan. Sehingga bisa segera dicarikan solusi jika terjadi permasalahan.

Singapura, kata Siswanto, menjadikan bank data yang terkoneksi dengan pelabuhan lain di luar negeri sebagai salah satu alat untuk meningkatkan produktivitasnya. Alhasil, Singapura berhasil mengelola hingga 30 juta Twenty-foot Equivalent Units (TEUs) kontainer dari Malaysia, Indonesia dan Thailand. Diharapkan, dengan digitalisasi, IPC bisa bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan lainnya baik di Asia maupun dunia. "Yang paling penting, IPC harus sering melakukan sosialisasi kepada para stakeholder atas inovasi-inovasinya. Karena, tidak semua stakeholder melek teknologi. Digitalisasi IPC ini lima langkah lebih maju dibandingkan kemampuan perusahaan-perusahaan forwarder, jadi perlu ada edukasi sehingga perusahaan forwarder bisa menyesuaikan diri," cetusnya.

Direktur Utama IPC Elvyn G. Masassya di berbagai kesempatan menegaskan, IPC memiliki visi untuk menjadi operator pelabuhan kelas dunia yang unggul dalam operasional dan pelayanan. IPC sangat berkepentingan meningkatkan kualitas tata kelola sistem teknologi informasinya, yang menjadi tulang punggung dalam menerapkan digitalisasi di semua lini pelayanan.

Di era baru pelabuhan saat ini, IPC memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi digital di semua lini, agar pelayanan yang diberikan IPC semakin cepat, lebih mudah, dan lebih murah.

Digitalisasi yang dilakukan IPC salah satunya ditujukan agar antarpelabuhan segera terkoneksi dengan baik. Sehingga, produk dan layanan kepelabuhanan di Indonesia juga menjadi semakin baik. "Kami menyiapkan pelabuhan modern yang nantinya mampu meningkatkan efektivitas layanan pelabuhan serta efisiensi sumber daya yang dibutuhkan di pelabuhan," katanya.

Digitalisasi yang dilakukan IPC diyakini banyak pihak akan memberikan keuntungan di masa depan. Dengan digitalisasi, IPC juga dinilai telah menjalankan kegiatan bisnis yang transparan dan akuntabel. "Digitalisasi pelabuhan memang sudah keharusan, di banyak negara sudah dilakukan karena proses bisnisnya di era digital harus serba transparam, dan IPC jangan sampai tertinggal," ujar pengamat maritim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Raja Oloan Saut Gurning.

Namun demikian, masih ada tantangan yang harus ditaklukkan IPC. Salah satunya, tantangan dari luar berupa kemampuan penguasaan teknologi. IPC perlu mencari solusi agar proses digitalisasi bisa diterima dan diikuti oleh seluruh pemangku kepentingan. Sebab, transformasi yang dilakukan IPC akan mengubah proses bisnis yang semi otomatis menjadi otomatis melalui platform digital. IPC dituntut agar bisa memahami apa yang menjadi kebutuhan pelanggan. Dengan demikian, saat digitalisasi diterapkan secara total, seluruh pemangku kepentingan sudah siap.

"IPC perlu melakukan edukasi digitalisasi yang sedang dilakukan seperti apa. Jangan sampai nanti sudah investasi dengan nilai besar namun hasilnya tidak maksimal karena pengguna jasanya ternyata tidak siap," tegas Saut Gurning.

Beberapa hal yang masih perlu mendapat perhatian lebih adalah mengenai infrastruktur pendukung digitalisasi, seperti infrastruktur listrik dan jaringan internet. Sebab, dua hal tersebut dinilai sebagai faktor penunjang lancarnya proses digitalisasi. Pasokan listrik yang handal dan jaringan internet berkecepatan tinggi akan mempermudah penerapan digitalisasi di pelabuhan-pelabuhan IPC.

"Jika ada masalah di pasokan listrik dan jaringan internet, tentu akan menghambat. Perlu juga dipikirkan mengenai cyber security. Karena di era serba digital ini banyak sekali terjadi pencurian data," katanya.

Siswanto Rusdi maupun Saut Gurning sependapat apabila peran pemerintah dalam mendukung kesuksesan digitalisasi yang dilakukan IPC lebih diperbesar. Apalagi, pelabuhan-pelabuhan yang dikelola IPC menjadi pintu gerbang mendongkrak devisa. Salah satu bentuk dukungan yang diharapkan yakni penyelesaian persoalan infrastruktur di luar pelabuhan. Misalnya, akses jalan menuju pelabuhan yang kerap macet, dan kualitas infrastruktur lainnya yang masih rendah. Kemacetan yang parah akan berdampak pada penumpukan barang sehingga menghambat distribusi barang.

"Contohnya kemacetan di jalan menuju pelabuhan yang sering dikeluhkan pelaku usaha, untuk mengatasinya perlu campur tangan pemerintah. Jangan semuanya dibebankan ke IPC," tegas Siswanto.
Pintu Gerbang Meningkatkan Devisa
Selain sebagai pintu gerbang kegiatan ekspor dan impor barang serta komoditas, IPC juga menjadi pintu gerbang ekspor produk automotif ke mancanegara. Perusahaan-perusahaan automotif yang memiliki pabrik di Indonesia melakukan ekspor melalui pelabuhan khusus yang dikelola oleh anak usaha IPC yakni PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk (IPCC Terminal).

Pelabuhan khusus ekspor automotif yang sedang melakukan transformasi menjadi digital car terminal ini sudah memiliki fasilitas lengkap untuk jasa vehicle processing center (vpc), equipment processing center (epc), dan port stock.

Digitalisasi yang sudah dilakukan dan sedang ditingkatkan itu mendapat respons positif Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Menurut Sekjen Gaikindo Kukuh Kumara, dengan menggunakan platform digital, produktivitas pengiriman barang dari pelabuhan yang dikelola IPC dan IPCC Terminal akan meningkat. "Tentu ini akan semakin efisien. Untuk mobil misalnya, delivery menjadi cepat dan bisa di update posisinya sudah sampai dimana. Kita sudah menggunakan barcode Vehicle Identification Number (VIN) yang sudah tersambung dengan pelabuhan, jadi semakin mudah memantaunya," tegasnya.

Konektivitas antara pelabuhan dengan pabrik yang sudah berlangsung, berhasil mendatangkan efisiensi bagi industri. Saat pabrik selesai melakukan produksi dan akan mengirimkan kendaraan ke pelabuhan, hanya perlu mengirimkan datanya. Saat kendaraan tiba di pelabuhan, ada gate auto system yang membaca barcode VIN sehingga proses masuk kendaraan berjalan cepat. Jadwal pengapalan pun bisa di monitor secara online.

Digitalisasi pelabuhan juga berdampak pada proses delivery kendaraan kepada konsumen menjadi semakin pasti. Tidak hanya kendaraan yang di ekspor, tapi juga kendaraan yang di distribusikan di dalam negeri. Karena dealer bisa mengetahui kapan kendaraan akan tiba di tujuan. "Meskipun masih perlu dihitung lagi nilainya, tapi ini (digitalisasi) juga bisa meningkatkan devisa karena kegiatan ekspor berjalan lancar, cepat dan efisien," kata Kukuh.

Dari catatan Gaikindo, pada periode Januari hingga September 2018, total ekspor mobil dalam bentuk Completely Build Up (CBU) melalui pelabuhan IPCC Terminal, menembus angka 187.752 unit, tumbuh 10,4% dibandingkan periode yang sama 2017. Daihatsu mengekspor 84.387 unit mobil sepanjang Januari-September 2018. Kemudian Toyota 69.131 unit, Suzuki 18.202 unit, Mitsubishi melakukan ekspor sebesar 12.261 unit. Sedangkan Hino melakukan ekspor sebanyak 2.055 unit, dan Hyundai mengapalkan 1.716 unit mobil ke mancanegara. Untuk ekspor terurai (Completely Knock Down) pada periode Januari-September 2018, Toyota mengekspor 32.040 unit, dan Suzuki 28.920 unit.

Tak hanya ekspor kendaraan utuh yang dilakukan melalui IPCC Terminal, ekspor komponen juga dilakukan dari tempat ini. Toyota misalnya, mengekspor komponen mobil pada Januari-September 2018 mencapai 62.968.001 unit. Sementara ekspor komponen Hino mencapai 655.309 unit. Sedangkan Honda mengapalkan 514.998 unit komponen.

Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam menilai, yang menjadi persoalan logistik bukan lagi proses di pelabuhan, apalagi saat ini digitalisasi di pelabuhan milik IPC terus berkembang. Tetapi ada pada infrastruktur menuju ke pelabuhan. "Yang jadi problem itu lalu lintas dari Karawang (pabrik) ke Tanjung Priok. Sekarang 4 jam, jika tidak ada perbaikan (infrastruktur) menurut riset kami pada 2022 bisa 9 jam. Jadi problem terbesar bukan ada di pelabuhan tetapi menuju pelabuhan," tegasnya.

Bob menilai, digitalisasi memang sudah harus dilakukan, karena saat ini perkembangan teknologi berjalan cepat. Dampak yang diharapkan dari digitalisasi pun tak sekadar mempercepat dwelling time tetapi mencakup banyak hal. "Untuk kami, dwelling time di pelabuhan sudah di bawah satu hari. Tetapi jika ingin lebih kompetitif lagi kuncinya teknologi. Di pelabuhan Singapura sudah menerapkan industri 4.0 jadi tidak ada lagi dokumen yang harus ditenteng," katanya.

Kegiatan kepelabuhanan ke depan akan semakin kompleks, karena melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingan. Karenanya, agar digitalisasi pelabuhan benar-benar efektif, para pemangku kepentingan harus melakukan lebih dari sekadar mengadopsi teknologi. Sebaliknya, para pemangku kepentingan harus bekerja bersama-sama agar platform dan layanan yang memudahkan para pemangku kepentingan itu bisa mendatangkan efisiensi pada ekosistem kepelabuhanan secara keseluruhan.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.6658 seconds (0.1#10.140)