Pemerintah, Kampus dan Pengusaha Berkolaborasi Produksi Minyak Atsiri
A
A
A
CIKARANG - Pemerintah berupaya menjembatani kepentingan antara pengusaha, petani, dan akademisi di industri kesehatan, aromatika, dan kecantikan. Hal ini diperlukan guna memenuhi kebutuhan bahan baku yang diperlukan industri untuk permitaan pasar.
“Selama ini bahan baku 45% impor. Minyak nilam saja kami beli dari Singapura dengan harga lumayan,” kata Kilala Tilaar dari Martha tilaar Foundation seusai mengikuti Focus Group Discussion bertema “Optimalisasi Pemanfaatan Hutan Bukan Kayu: Minyak Atsiri dan Turunannya” di Rumah Bali Kampoeng Djamoe Organik Martha Tilaar di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, akhir pekan ini.
Padahal, ungkap Kilala, perusahaan di Singapura mendapatkannya secara murah. Sebab mereka membeli secara komoditas lalu diolah dan dikembalikan lagi ke Indonesia. “Sama seperti kopi,” imbuhnya.
Dikatakannya, Martha Tilaar telah berhasil menjual industri ini ke dunia. Namun mereka meminta ada nilai tambah di produk, baik itu story culture, biodiversity, dan teknologinya (bisa uji manfaat dan proses organiknya).
“Kalau jualan komoditinya kan capek karena hasilnya kecil. Tapi kalau sudah disentuh teknologi harga jualnya bisa lima kali lipat. Dan keuntungan ini bisa dibagikan ke petani,” klaim Kilala.
Bahkan, lanjut dia, Petani bisa mendapatkan harga minimal 20% lebih tinggi dari pasar. “Peneliti juga dapat imbalan atas teknologi yang dipatenkan. Orang Eropa tren marketnya sekarang seperti ini, healty living dan natural life,” ujarnya.
Merespons kebutuhan industri, pemerintah pun tergerak untuk menyatukan kepentingan-kepentingan tersebut guna menjawab kebutuhan pasar kesehatan, kecantikan, dan aromatika. “Kami ingin mendorong lembaga litbang di perguruan tinggi untuk fokus bagaimana mengembangkan bibit hingga pengolahannya menjadi minyak tunggal. Karena nilai jual atau tambahnya ada di minyak tunggal,” kata Santosa Yudo Wardono, Dirjen Penguatan Inovasi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Pihaknya ingin memetakan Litbang Perguruan Tinggi yang memiliki teknologi dibutuhkan guna dikolaborasikan dengan industri. Saat ini sudah ada Universitas Brawijaya yang mempunyai kemampuan mengolah bahan baku menjadi minyak tunggal.
“Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan punya teknologi bibit minyak kayu putih. Kami ingin dari skala laboratorium ke industri walaupun volumenya masih terbatas,” harap Santosa.
Selain itu, pihaknya juga akan menggandeng pemerintah daerah (pemda). Harapannya pemda akan memobilisasi masyarakat untuk memproduksi bahan baku. “Kami juga mengajak Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia untuk berperan serta memanfaatkan lahannya untuk digunakan sebagai penanaman bahan baku,” imbuhnya.
Untuk diketahui, minyak atsiri atau yang disebut juga dengan essential oils, etherial oils, atau volatile oils adalah komoditi ekstrak alami dari jenis tumbuhan yang berasal dari daun, bunga, kayu, biji-bijian bahkan putik bunga. Setidaknya ada 150 jenis minyak atsiri yang selama ini diperdagangkan di pasar internasional dan 40 jenis di antaranya dapat diproduksi di Indonesia. Meskipun banyak jenis minyak atsiri yang bisa diproduksi di Indonesia, baru sebagian kecil jenis minyak atsiri yang telah berkembang dan sedang dikembangkan di Indonesia.
Kegunaan minyak atsiri sangat banyak, tergantung dari jenis tumbuhan yang diambil hasil sulingannya. Minyak atsiri digunakan sebagai bahan baku dalam perisa (penyedap rasa/flavour) maupun pewangi. Industri kosmetik dan parfum menggunakan minyak atsiri sebagai bahan pewangi pembuatan sabun, pasta gigi, samphoo, lotion, dan parfum.
Sedangkan industri makanan menggunakan minyak atsiri setelah mengalami pengolahan sebagai perasa atau menambah cita rasa. Lalu industri farmasi menggunakannya sebagai obat antinyeri, antiinfeksi, dan pembunuh bakteri. Fungsi minyak atsiri sebagai fragrance juga digunakan untuk menutupi bau tak sedap bahan-bahan lain seperti obat pembasmi serangga yang diperlukan oleh industri bahan pengawet dan bahan insektisida.
“Selama ini bahan baku 45% impor. Minyak nilam saja kami beli dari Singapura dengan harga lumayan,” kata Kilala Tilaar dari Martha tilaar Foundation seusai mengikuti Focus Group Discussion bertema “Optimalisasi Pemanfaatan Hutan Bukan Kayu: Minyak Atsiri dan Turunannya” di Rumah Bali Kampoeng Djamoe Organik Martha Tilaar di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, akhir pekan ini.
Padahal, ungkap Kilala, perusahaan di Singapura mendapatkannya secara murah. Sebab mereka membeli secara komoditas lalu diolah dan dikembalikan lagi ke Indonesia. “Sama seperti kopi,” imbuhnya.
Dikatakannya, Martha Tilaar telah berhasil menjual industri ini ke dunia. Namun mereka meminta ada nilai tambah di produk, baik itu story culture, biodiversity, dan teknologinya (bisa uji manfaat dan proses organiknya).
“Kalau jualan komoditinya kan capek karena hasilnya kecil. Tapi kalau sudah disentuh teknologi harga jualnya bisa lima kali lipat. Dan keuntungan ini bisa dibagikan ke petani,” klaim Kilala.
Bahkan, lanjut dia, Petani bisa mendapatkan harga minimal 20% lebih tinggi dari pasar. “Peneliti juga dapat imbalan atas teknologi yang dipatenkan. Orang Eropa tren marketnya sekarang seperti ini, healty living dan natural life,” ujarnya.
Merespons kebutuhan industri, pemerintah pun tergerak untuk menyatukan kepentingan-kepentingan tersebut guna menjawab kebutuhan pasar kesehatan, kecantikan, dan aromatika. “Kami ingin mendorong lembaga litbang di perguruan tinggi untuk fokus bagaimana mengembangkan bibit hingga pengolahannya menjadi minyak tunggal. Karena nilai jual atau tambahnya ada di minyak tunggal,” kata Santosa Yudo Wardono, Dirjen Penguatan Inovasi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Pihaknya ingin memetakan Litbang Perguruan Tinggi yang memiliki teknologi dibutuhkan guna dikolaborasikan dengan industri. Saat ini sudah ada Universitas Brawijaya yang mempunyai kemampuan mengolah bahan baku menjadi minyak tunggal.
“Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan punya teknologi bibit minyak kayu putih. Kami ingin dari skala laboratorium ke industri walaupun volumenya masih terbatas,” harap Santosa.
Selain itu, pihaknya juga akan menggandeng pemerintah daerah (pemda). Harapannya pemda akan memobilisasi masyarakat untuk memproduksi bahan baku. “Kami juga mengajak Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia untuk berperan serta memanfaatkan lahannya untuk digunakan sebagai penanaman bahan baku,” imbuhnya.
Untuk diketahui, minyak atsiri atau yang disebut juga dengan essential oils, etherial oils, atau volatile oils adalah komoditi ekstrak alami dari jenis tumbuhan yang berasal dari daun, bunga, kayu, biji-bijian bahkan putik bunga. Setidaknya ada 150 jenis minyak atsiri yang selama ini diperdagangkan di pasar internasional dan 40 jenis di antaranya dapat diproduksi di Indonesia. Meskipun banyak jenis minyak atsiri yang bisa diproduksi di Indonesia, baru sebagian kecil jenis minyak atsiri yang telah berkembang dan sedang dikembangkan di Indonesia.
Kegunaan minyak atsiri sangat banyak, tergantung dari jenis tumbuhan yang diambil hasil sulingannya. Minyak atsiri digunakan sebagai bahan baku dalam perisa (penyedap rasa/flavour) maupun pewangi. Industri kosmetik dan parfum menggunakan minyak atsiri sebagai bahan pewangi pembuatan sabun, pasta gigi, samphoo, lotion, dan parfum.
Sedangkan industri makanan menggunakan minyak atsiri setelah mengalami pengolahan sebagai perasa atau menambah cita rasa. Lalu industri farmasi menggunakannya sebagai obat antinyeri, antiinfeksi, dan pembunuh bakteri. Fungsi minyak atsiri sebagai fragrance juga digunakan untuk menutupi bau tak sedap bahan-bahan lain seperti obat pembasmi serangga yang diperlukan oleh industri bahan pengawet dan bahan insektisida.
(akr)