Gas Bumi Bikin Efisien di Jalan, Tenang di Rumah

Kamis, 06 Desember 2018 - 21:58 WIB
Gas Bumi Bikin Efisien...
Gas Bumi Bikin Efisien di Jalan, Tenang di Rumah
A A A
UDARA terasa terik ketika matahari hampir tegak lurus di atas ubun-ubun. Angkutan kota (angkot) warna-warni berseliweran di tengah lalu lintas Kota Bogor, Jawa Barat, yang padat. Bunyi klakson kerap terdengar untuk menyibak kemacetan di depannya atau sebagai tanda menarik penumpang.

Mata Arso (60) sangat awas. Orang-orang di pinggir jalan bagi sopir angkot ini adalah uang yang berceceran. Sedikit saja melewatkan pandangan, bisa-bisa kehilangan calon penumpang. Itu berarti uang melayang. Di tengah persaingan angkot yang kian ketat, ditambah munculnya transportasi online, kehilangan satu penumpang adalah kerugian besar. Arso enggan mengalaminya.

Arso baru mulai narik angkot menjelang zuhur. Setiap hari sopir angkot Jurusan Taman Cimanggu-Pasar Anyar, Bogor, itu kebagian shift kedua. Shift pertama, dari subuh hingga siang hari, sudah menjadi jatah temannya. “Saya biasanya narik sampai magrib,” kata Arso sambil tetap awas matanya mencari calon penumpang di pinggir jalan.

”Di masa sekarang sopir angkot memang harus sigap mencari calon penumpang,” tutur Arso. Mereka tak boleh lengah dari pergerakan orang di pinggir jalan. Setiap orang harus ditawari naik angkot.

Jika perlu ngetem sebentar di ujung gang menunggu calon penumpangnya. Itulah mengapa rata-rata angkot berjalan lambat di tengah lalu lintas kota. “Dulu penumpang yang menunggu angkot. Sekarang terbalik, angkot yang menunggu penumpang,” ujar pria yang sudah bekerja menjadi sopir sejak usia 20 tahun itu.

Dia merasa jumlah penumpang angkot semakin sedikit. Masyarakat umum lebih memilih kendaraan pribadi lantaran mudah memiliki sepeda motor dan mobil kreditan. Jumlah angkot juga terlalu banyak sehingga membuat persaingan mendapatkan penumpang semakin ketat. “Ditambah lagi sekarang ada ojek atau taksi online. Angkot semakin tidak laku,” keluhnya.

Kondisi itu diperparah dengan lalu lintas Kota Bogor yang sangat padat. Kemacetan kerap terjadi di sejumlah titik. Akibatnya, bahan bakar habis hanya dalam beberapa kali putaran trayek. Ini berarti biaya operasional membengkak untuk mengisi bahan bakar kembali. Dampaknya, uang yang dibawa pulang untuk diberikan kepada istri di rumah pun sangat minim, antara Rp10.000-20.000.

Arso sempat bingung bukan kepalang. Hasil narik angkot jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski tanggungannya tinggal membiayai istri karena tiga anaknya sudah bekerja, uang yang dihasilkan tetap tidak cukup. Untuk bekerja di bidang lain, Arso tidak bisa. Keahliannya hanya mengemudikan angkot.

Untungnya setahun lalu Arso mulai mengenal bahan bakar gas (BBG). Juragan angkot memasang conventer kit untuk seluruh armadanya, termasuk angkutan kota yang dibawa Arso. Dengan alat ini angkot tidak lagi diisi bahan bakar minyak, tapi diganti gas, BBG.

Arso mengaku merasa terselamatkan sejak saat itu. Harga gas yang ia beli di SPBG milik Perusahaan Gas Negara (PGN) sangat murah, hanya Rp3.100 per liter setara premium (LSP). Jauh lebih terjangkau dibanding premium yang dijual Rp6.550 per liter. Jika biasanya menghabiskan uang Rp39.300 untuk membeli 6 liter premium, kini Arso hanya perlu mengeluarkan duit Rp18.600 untuk ukuran yang sama. “Kalau jalanan macet biasanya 6 LSP gas bisa untuk tiga kali putaran trayek. Tapi kalau jalanan lancar bisa empat kali putaran,” tutur ayah beranak tiga ini.

Sejak menggunakan bahan bakar gas, Arso mengaku masih bisa menyisakan uang untuk istri di rumah antara Rp50.000-60.000 per hari. Itu adalah pendapatan bersih setelah dikurangi setoran Rp50.000, mengisi bahan bakar, serta membeli makan dan minum. “Sekarang lumayan, uang yang dibawa ke rumah cukup untuk kebutuhan sehari-hari,” katanya tersenyum.

Bukan hanya Arso yang merasa terselamatkan dengan penggunaan bahan bakar gas untuk angkotnya. Suradi (55), sopir angkot jurusan Parung-Bogor, juga bisa menghemat biaya operasional sejak menggunakan bahan bakar gas delapan bulan lalu. Sekali mengisi bahan bakar gas senilai Rp20.000, dia bisa pulang-pergi (pp) untuk trayek sepanjang 24 kilometer. “Pakai gas jauh lebih hemat dibanding bensin,” ujar Suradi saat ditemui di SPBG Bogor.

Kepala Bidang Angkutan pada Dinas Perhubungan Kota Bogor, Jimmy Hutapea, membenarkan bahwa penggunaan BBG mampu meningkatkan penghasilan sopir angkutan. Selain harganya murah, BBG lebih efisien atau irit dibanding bahan bakar minyak. “BBG juga ramah lingkungan,” ucapnya.

Keberadaan angkot BBG di Kota Bogor, menutur Jimmy, dimulai beberapa tahun lalu. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menggandeng PGN dan Dishub untuk melaksanakan program konversi angkot BBM ke gas. Secara bertahap pemerintah memberikan stimulan berupa conventer kit gratis bagi angkot.

“Dari total 3.412 angkot di Kota Bogor, yang telah menggunakan BBG sekitar seratusan unit. Kalau ditambah dengan angkot BBG dari kabupaten (Bogor), saya tidak tahu persisnya jumlahnya,” katanya.

Jimmy berharap pengembangan angkot BBG terus dilakukan karena menguntungkan para sopir dan ramah lingkungan. Untuk itu perlu ada infrastruktur yang harus dipenuhi. Selain SPBG, juga mestinya ada bengkel khusus untuk angkutan berbahan bakar gas. Keberadaan bengkel ini sangat dibutuhkan ketika ada conventer yang rusak atau pergantian spare parts lain.

Paguyuban Pakai Gas


Penggunaan BBG oleh angkutan kota mulai marak sejak tiga tahun terakhir atau sejak beroperasinya SPBG milik PGN di Jalan Merdeka Bogor. Tak kurang dari 450 angkutan kota setiap hari keluar masuk SPBG untuk mengisi bahan bakar gas. “Setiap hari ada sekitar 800-900 transaksi,” kata Sales Area Head PGN Bogor, Lia Yulia Winarti.

SPBG Bogor setiap hari menyiapkan 5.000-6.000 LSP untuk memenuhi kebutuhan gas angkutan kota. Gas ini dipasok melalui jaringan gas rumah tangga yang dibangun PGN di wilayah Bogor.

Semakin banyak angkot BBG di wilayahnya mendorong PGN Bogor menginisiasi berdirinya Paguyuban Pakai Gas. Anggotanya sebagian besar adalah para bos angkot, sopir, dan pemilik kendaraan gas lain. Mereka mengadakan pertemuan rutin pada minggu kedua setiap bulan.

Pertemuan itu biasanya digunakan para anggota untuk bertukar pengalaman seputar penggunaan BBG, masalah yang dihadapi, dan solusinya. “Paguyuban ini baru setahun terbentuk, anggotanya sekitar 500-an orang,” ujar Lia.

Dengan Paguyuban Pakai Gas diharapkan semakin banyak masyarakat beralih ke gas. Tidak saja untuk kebutuhan rumah tangga, tapi juga kendaraan. Sebab, BBG memiliki banyak kelebihan dibanding bahan bakar minyak. Selain ekonomis, hasil pembakaran BBG juga lebih bersih, emisi CO2 yang dilepaskan lebih rendah dari BBM sehingga mampu mengurangi polusi udara.

Jamin Pasokan BBG


Untuk mendorong penggunaan bahan bakar gas oleh angkutan umum, PGN tidak hanya membangun SPBG di Bogor, tapi juga daerah lain. Hingga saat ini PGN mengelola dan mengoperasikan 16 SPBG yang tersebar di berbagai daerah.

Menurut Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama, dari 16 unit SPBG enam di antaranya berada di daerah Jakarta: SPBG Ancol, SPBG Kantor Pusat PGN di Ketapang, SPBG Klender, SPBG Pondok Ungu, MRU Monas, dan MRU Grogol. Sisanya tersebar di Serang, Bogor, Sukabumi, Cilegon, Purwakarta, Ngagel, Lampung, Batam, dan Gresik.

Untuk menjaga kepercayaan pelanggan, PGN menjamin pasokan bahan bakar gas di seluruh SPBG yang dikelolanya. “Seluruh SPBG yang dikelola PGN beroperasi normal dan suplai BBG aman dan tercukupi,” jamin Rachmat Hutama.

Tak hanya menyediakan stasiun pengisian gas, PGN juga ikut terlibat dalam pengembangan transportasi BBG di Indonesia. Pada 2017 lalu, PGN dibantu PT Gagas Energi Indonesia, anak perusahaan yang mengoperasikan SPBG dan PT Autogas, membagikan 2.021 conventer kit di 16 lokasi. Antara lain di SPBG Purwakarta 116 unit, MRU Bandung 155 unit, SPBG Ngagel 284 unit, MRU Gresik 9 unit, SPBG Klender 302 unit. Kemudian SPBG Bogor 89 unit, SPBG Batam 307 unit, SPBG Pondok Ungu 280 unit, MRU IRTI Monas 195 unit, MRU Grogol 105 unit, dan SPBG Sukabumi 63 unit.

Conventer kit yang dibagikan memiliki sistem bi-fuel. Sistem ini memungkinkan pengemudi melakukan switch ke bahan bakar minyak jika tiba-tiba kendaraan kehabisan gas di tengah jalan. Dengan begitu, dia bisa tetap melanjutkan perjalanannya. “Tapi jalur yang ke BBM sudah lama saya matikan. Soalnya malah bikin tekor. Saya pakai gas saja karena lebih murah dan irit,” ucap Arso mantap.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1313 seconds (0.1#10.140)