Ekonomi China Diramal Mulai Terhantam Perang Tarif Tahun Depan
A
A
A
BEIJING - Dampak kebijakan tarif impor tinggi Amerika Serikat (AS) yang diusung Presiden Donald Trump terhadap ekonom China sejauh ini sebagian besar hanya bersifat psikologis dalam perang dagang antar dua ekonomi terbesar dunia. Namun para analis meramalkan bakal ada perubahan tahun depan, dengan berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi China.
"Dengan kebijakan tarif tinggi, kami belum melihat dampak langsungnya. Tetapi saya rasa, kita akan melihat dampaknya tahun depan. Risikonya cukup jelas yakni perlambatan ekonomi di 2019, dimana permintaan global bakal bergeser satu atau dua tingkat," ujar om Rafferty, ekonom utama untuk China, di The Economist Intelligence Unit.
Sektor manufaktur dan ekspor telah membantu mendorong kenaikan cepat ekonomi China yang merupakan terbesar kedua di dunia. Namun, seiring hal itu tantangan semakin meningkat karena apa yang disebut pertumbuhan global tampaknya bakal mengalami penurunan. Terpantau pertumbuhan PDB Beijing telah turun ke laju paling lambat dalam lebih dari dua dekade.
Beijing sendiri sedang mencoba untuk menggeser perekonomian yang ditopang oleh konsumsi, sambil mengurangi ketergantungan pada utang untuk mendorong pertumbuhan. Sementara itu, kekhawatiran perdagangan menambah ketidakpastian domestik, dimana menjadi sentimen negatif bagi konsumen. Seperti dilansir CNBC, perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia telah meningkat tahun ini.
Hal tersebut ketika AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump yang memprakarsai penerapan tarif bea impor terhadap produk-produk China senilai USD250 miliar atau dua pertiga dari defisit barang bilateral pada tahun 2017. Beijing lantas menanggapi dengan menerapkan kenaikan tarif serupa sebesar USD110 miliar terhadap produk asal AS.
Sementara itu bulan lalu, kedua belah pihak mencapai gencatan senjata sementara pada eskalasi baru. Gedung Putih telah sepakat untuk tidak menaikkan tarif pada bulan Januari jika dapat menengahi kesepakatan dengan China pada awal Maret, sementara Beijing telah mengumumkan pemotongan beberapa tarif untuk makanan ternak dan mobil.
Secara teori, tarif menaikkan harga bagi konsumen A.S dan mengurangi permintaan untuk produk buatan China, memukul ekonomi yang sudah melambat. Namun, surplus perdagangan China dengan AS mencapai rekor pada bulan November. "China melakukan cukup baik karena ekspor, karena frontloading," kata Zhu Ning, profesor keuangan di Universitas Tsinghua dan wakil direktur Institut Penelitian Keuangan Nasional China.
Seperti beberapa ekonom lainnya, Zhu memperkirakan ketegangan perdagangan akan memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap ekonomi China tahun depan, terutama melalui perlambatan ekspor. Perekonomian sudah menunjukkan beberapa sinyal mulai terdampak.
Setelah pertumbuhan ekspor secara year over year menguat sebesar 14,4% pada bulan September dan 15,6% di Oktober, peningkatan berubah menjadi penurunan 5,4% untuk jadi raihan negatif November menurut angka resmi yang diakses melalui basis data Wind Info.
Provinsi Guangdong Selatan, sejauh ini merupakan sumber terbesar ekspor Cina, berhenti menerbitkan indeks aktivitas bisnis pada bulan Oktober. Rilis terakhir, pada bulan September, dari indeks manajer pembelian provinsi menunjukkan 50,20 atau hampir di atas level 50 yang memisahkan ekspansi dari kontraksi, menurut Wind. PMI nasional mencapai 50 pada bulan November.
Biro Statistik Nasional China mengatakan dalam sebuah postingan secara online tertanggal 18 Desember bahwa Departemen Industri dan Teknologi Informasi Provinsi Guangdong tidak mengajukan permohonan kembali untuk melakukan survei yang berada di belakang indeks. "Tahun depan, kita akan melihat ekspor melambat ke pertumbuhan rendah, satu digit," kata Larry Hu, kepala ekonomi Tiongkok di Macquarie Group.
Dia mengaku berharap AS dan China akan mencapai kesepakatan, dan bahwa perlambatan di pasar properti China akan berdampak lebih besar pada ekonomi daripada perang tarif.
"Dengan kebijakan tarif tinggi, kami belum melihat dampak langsungnya. Tetapi saya rasa, kita akan melihat dampaknya tahun depan. Risikonya cukup jelas yakni perlambatan ekonomi di 2019, dimana permintaan global bakal bergeser satu atau dua tingkat," ujar om Rafferty, ekonom utama untuk China, di The Economist Intelligence Unit.
Sektor manufaktur dan ekspor telah membantu mendorong kenaikan cepat ekonomi China yang merupakan terbesar kedua di dunia. Namun, seiring hal itu tantangan semakin meningkat karena apa yang disebut pertumbuhan global tampaknya bakal mengalami penurunan. Terpantau pertumbuhan PDB Beijing telah turun ke laju paling lambat dalam lebih dari dua dekade.
Beijing sendiri sedang mencoba untuk menggeser perekonomian yang ditopang oleh konsumsi, sambil mengurangi ketergantungan pada utang untuk mendorong pertumbuhan. Sementara itu, kekhawatiran perdagangan menambah ketidakpastian domestik, dimana menjadi sentimen negatif bagi konsumen. Seperti dilansir CNBC, perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia telah meningkat tahun ini.
Hal tersebut ketika AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump yang memprakarsai penerapan tarif bea impor terhadap produk-produk China senilai USD250 miliar atau dua pertiga dari defisit barang bilateral pada tahun 2017. Beijing lantas menanggapi dengan menerapkan kenaikan tarif serupa sebesar USD110 miliar terhadap produk asal AS.
Sementara itu bulan lalu, kedua belah pihak mencapai gencatan senjata sementara pada eskalasi baru. Gedung Putih telah sepakat untuk tidak menaikkan tarif pada bulan Januari jika dapat menengahi kesepakatan dengan China pada awal Maret, sementara Beijing telah mengumumkan pemotongan beberapa tarif untuk makanan ternak dan mobil.
Secara teori, tarif menaikkan harga bagi konsumen A.S dan mengurangi permintaan untuk produk buatan China, memukul ekonomi yang sudah melambat. Namun, surplus perdagangan China dengan AS mencapai rekor pada bulan November. "China melakukan cukup baik karena ekspor, karena frontloading," kata Zhu Ning, profesor keuangan di Universitas Tsinghua dan wakil direktur Institut Penelitian Keuangan Nasional China.
Seperti beberapa ekonom lainnya, Zhu memperkirakan ketegangan perdagangan akan memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap ekonomi China tahun depan, terutama melalui perlambatan ekspor. Perekonomian sudah menunjukkan beberapa sinyal mulai terdampak.
Setelah pertumbuhan ekspor secara year over year menguat sebesar 14,4% pada bulan September dan 15,6% di Oktober, peningkatan berubah menjadi penurunan 5,4% untuk jadi raihan negatif November menurut angka resmi yang diakses melalui basis data Wind Info.
Provinsi Guangdong Selatan, sejauh ini merupakan sumber terbesar ekspor Cina, berhenti menerbitkan indeks aktivitas bisnis pada bulan Oktober. Rilis terakhir, pada bulan September, dari indeks manajer pembelian provinsi menunjukkan 50,20 atau hampir di atas level 50 yang memisahkan ekspansi dari kontraksi, menurut Wind. PMI nasional mencapai 50 pada bulan November.
Biro Statistik Nasional China mengatakan dalam sebuah postingan secara online tertanggal 18 Desember bahwa Departemen Industri dan Teknologi Informasi Provinsi Guangdong tidak mengajukan permohonan kembali untuk melakukan survei yang berada di belakang indeks. "Tahun depan, kita akan melihat ekspor melambat ke pertumbuhan rendah, satu digit," kata Larry Hu, kepala ekonomi Tiongkok di Macquarie Group.
Dia mengaku berharap AS dan China akan mencapai kesepakatan, dan bahwa perlambatan di pasar properti China akan berdampak lebih besar pada ekonomi daripada perang tarif.
(akr)