Industri Telekomunikasi Harus Berdampak ke Masyarakat dan Negara

Jum'at, 18 Januari 2019 - 05:31 WIB
Industri Telekomunikasi Harus Berdampak ke Masyarakat dan Negara
Industri Telekomunikasi Harus Berdampak ke Masyarakat dan Negara
A A A
JAKARTA - Tahun 2018, industri telekomunikasi nasional banyak menghadapi tantangan yang cukup berat. Salah satu tantangan adalah kebijakan registrasi kartu prabayar. Dengan diberlakukannya registrasi prabayar, jumlah kartu yang selama ini beredar dan tidak jelas penggunanya, mengalami penurunan yang sangat signifikan. Selain jumlah kartu prabayar yang berkurang, pendapatan perusahaan telekomunikasi juga mengalami koreksi.

Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Ririek Adriansyah, mengatakan meski registrasi prabayar awal-awalnya membawa dampak kurang menggembirakan, namun dimasa mendatang beleid tersebut akan memberikan dampak positif terhadap industi telekomunikasi nasional.

"Dengan registrasi prabayar akan membuat industri telekomunikasi menjadi tertata dengan baik," ujarnya, Kamis (17/1/2019).

Ririek memperkirakan dampak kebijakan registrasi prabayar tersebut tak akan berlangsung lama. Menurutnya perusahaan telekomunikasi yang tergabung dalam ATSI akan kembali menikmati pertumbuhan.

Jika beberapa tahun lalu pertumbuhan industri telekomunikasi mengacu pada jumlah pelanggan, kini pasca registrasi acuan pertumbuhan industri telekomunikasi akan mengacu pendapatan perusahaan.

Ririek memperkirakan pendapatan operator telekomunikasi pasca registrasi prabayar ini akan didapatkan dari layanan data. Dengan meningkatnya penetrasi smartphone di Indonesia dan semakin luasnya cakupan layanan 4G LTE, akan meningkatkan potensi pendapatan operator telekomunikasi dari layanan data.

"Saat ini, revenue perusahaan telekomunikasi dari layanan data terus meningkat. Peningkatan ini akan terus terjadi dengan semakin banyaknya smartphone dan implementasi Internet of Things (IOT) di Indonesia. Jika pemerintah telah mengeluarkan izin 5G, tentu revenue operator selular akan semakin tumbuh," terang Ririek.

Agar aselerasi pertumbuhan industri telekomunikasi segera menjadi kenyataan, Ketua ATSI meminta dukungan kepada pemerintah. Ririek berharap agar Kominfo dapat segera mengeluarkan kebijakan dan regulasi terkait merger and acquisition di sektor telekomunikasi serta OTT yang sejalan dan berdampak positif terhadap industri telekomunikasi di Indonesia.

Selain itu, para anggota ATSI juga berharap Kominfo dapat melakukan simplifikasi perizinan serta pemutakhiran regulasi. Terlebih lagi industri telekomunikasi menghadapi teknologi serta layanan baru seperti 5G, Fixed Wireless Access, dan IoT.

Untuk mengakomodasi perkembangan teknologi telekomunikasi mendatang dan kebutuhan masyarakat akan layanan data, ATSI juga berharap Kominfo dapat menyediakan tambahan frekuensi untuk layanan 5G.

"Kami anggota ATSI berharap Kominfo dapat menyediakan frekuensi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan perkembangan teknologi telekomunikasi mendatang. Khususnya untuk mengakomodasi layanan 5G yang akan segera hadir di Indonesia," terang Ririek.

Ririek berharap kedepan operator telekomunikasi yang tergabung dalam ATSI mengedepankan kualitas layanan serta ketersediaan jaringan dengan tarif yang terjangkau. Lebih lanjut Ririek menerangkan, dengan harga layanan data yang rasional serta terjangkau oleh masyarakat, akan membuat industri telekomunikasi semakin tumbuh dan mampu memberikan nilai tambah bagi negara.

"Acuan dari industri telekomunikasi yang sehat adalah jika masyarakat, negara dan operator mendapatkan manfaat. ‘Perang’ harga membuat operator tidak sehat dan merugi. Dijangka pendek terlihat seolah olah menguntungkan pengguna, namun dalam jangka panjang ketika operator tidak mendapatkan benefit, kemampuan mereka memberikan layanan yang optimal khususnya kepada masayarakat di daerah tertinggal juga akan semakin berkurang. Ujung-ujungnya negara akan kehilangan manfaat dari pajak maupun PNBP sektor telekomunikasi," terang Ririek.

Kristiono, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) membenarkan jika tarif jasa telekomunikasi khususnya layanan data di Indonesia merupakan termurah kedua di dunia setelah India. Harga layanan data di Indonesia cenderung turun terus. Jika di tahun 2010 harga layanan data Rp1 per kilobyte (kb), kini harganya hanya Rp0,015 per kb.

Menurut Kristiono saat ini kompetisi di industri telekomunikasi sudah tidak rasional karena kompetisinya hanya murah-murahan. Lebih lanjut Kristiono mengatakan bahwa layanan data yang murah saat tidak membawa dampak positif terhadap masyarakat maupun kinerja keuangan operator telekomunikasi.

Justru murahnya layanan daya menguntungkan perusahan layanan over the top (OTT) di Indonesia.

"Buat apa kita membuat harga layanan data murah-murahan namun dipakai hanya untuk menyebarkan hoax dan hanya ditumpangi OTT. Harusnya kemajuan industri telekomunikasi dan digital bisa menjadi transformasi menuju kehidupan manusia yang lebih baik. Kalaupun layanan data murah harus menjadi yang berharga," terang Kristiono.

Agar industri telekomunikasi kembali sehat, Kristiono mengharapkan agar pemerintah segera membuat aturan mengenai digital platform. Sebab saat ini OTT sudah menggerogoti industri nasional dan merugikan negara. Karena negara tidak bisa memungut pajak dari OTT.

"OTT banyak yang tidak bayar pajak. Sementara itu ecommerce banyak menjual barang dari luar negeri. Masyarakat Indonesia hanya menjadi pasar saja. Jadi saat ini sudah saatnya pemerintah berpihak kepada industri nasional dengan mengeluarkan aturan mengenai digital platform," pungkas Kristiono.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4919 seconds (0.1#10.140)