Jungkir Balik Maskapai Penerbangan Biaya Murah
A
A
A
JAKARTA - Penerbangan berbiaya rendah (low cost carrier /LCC) menjadi pilihan utama masyarakat dalam memenuhi kebutuhan bepergian, terutama bagi generasi milenial yang doyan traveling.
Di tengah tingginya nilai tukar mata uang dan kenaikan avtur, berbagai tantangan mendera maskapai murah. Maskapai LCC mengubah dunia penerbangan dan sektor travel selama lebih dari dua dekade terakhir, yang memungkinkan semua orang bisa terbang.
Penerbangan murah ini dirintis pertama kali oleh Southwest Airlines yang didirikan Rollin King, Lamar Muse, dan Herber Kelleher di Amerika Serikat pada 1967. Efisiensi yang dilakukan maskapai ini mencakup pemangkasan biaya operasional, pemanfaatan teknologi, tidak diberikan makanan gratis di pesawat, pengaturan rute hingga peralatan operasional yang digunakan.
Keberhasilan Southwest kemudian mengilhami maskapai lainnya seperti Ryanair, Vanguard, America West, easyJet, Shuttle, MetroJet, Delta Express, dan Continental Lite. Strategi ini lantas digunakan juga oleh AirAsia asal Malaysia dan Virgin Blue yang bermarkas di Australia.
Pemain baru seperti Norwegian, WOW air, dan Scoot pun ikut mengangkasa. Hingga kini penerbangan murah terus menunjukkan kedigdayaannya, dari segi pendapatan, jumlah rute, maupun kenaikan penumpang.
Laporan terbaru IATA (International Air Transport Association) menyebutkan pesawat terbang menjadi lebih penuh penumpang di tahun 2018 daripada sebelumnya. Laba bersih di seluruh industri penerbangan naik menjadi USD38,4 miliar dari yang diperkirakan sebelumnya sebesar USD34,5 miliar.
Sementara persentase kursi yang diisi penumpang mencapai tingkat rekor, yaitu sekitar 81,4%. Kenyataan tersebut akhirnya berimbas juga pada dunia pariwisata, di mana semakin banyak turis yang melakukan perjalanan wisata.
Di Indonesia, LCC dimulai sejak dibukanya deregulasi penerbangan niaga oleh pemerintah pada 2001. Aturan tersebut memberikan kesempatan kepada para pengusaha untuk menjalankan jasa penerbangan meski dengan hanya memiliki satu pesawat dan modal minim.
Kesempatan itu dikuatkan dengan tidak adanya aturan mengenai batas tarif bawah yang membuat perusahaan penerbangan berlomba memasang tarif rendah untuk memikat penumpang.
Sejak saat itu sejumlah perusahaan penerbangan murah pun bermunculan, sebut saja Lion Air, Adam Air, Citilink, Jatayu, Kartika Airlines, Indonesia Airlines, Star Air, dan Bali Air. Kehadiran maskapai LCC ini berhasil membuat maskapai yang sudah eksis sebelumnya tertatih-tatih.
Satu per satu pemain lama tumbang. Setelah Bouraq disusul Merpati Nusantara Airlines lalu Batavia Air dan Mandala Airlines. Kehadiran LCC juga sempat membuat moda transportasi lain seperti bus antarkota antarprovinsi dan kereta api terseok-seok.
Bagaimana tidak, di awal kemunculannya, Lion Air sempat mematok tarif Rp160.000 sekali jalan untuk rute Jakarta-Surabaya, sementara tiket KA eksekutif dipatok Rp180.000 di rute yang sama. Seiring dengan perkembangan zaman, persaingan di segmen ini semakin ketat.
Seleksi alam akibat kenaikan harga avtur dan tarif layanan bandara pun terjadi. Satu per satu maskapai berbiaya murah bertumbangan. Setelah Indonesia Airlines, disusul kemudian Star Air dan maskapai lainnya.
Praktis, kini yang tersisa hanya Citilink dan Lion Air ditambah anak usaha AirAsia, yakni Indonesia AirAsia yang mencoba peruntungan. “Indonesia itu sangat cocok dilayani maskapai LCC karena negara kepulauan yang dipisah lautan sehingga perlu rute khusus ke daerah-daerah pelosok,” tutur Presiden Direktur Aviatory Indonesia Ziva Narendra, kepada KORAN SINDO, Jumat (18/1).
Menurut dia, dengan membuka penerbangan perintis merupakan cara tepat bagi budget airlines untuk bersaing dengan maskapai besar dengan konsep layanan penuh (full service airline /FSA).
Meski bersaing, penyedia jasa maskapai murah tak lantas mengenyampingkan faktor safety, security, service , dan compliance yang dikenal dengan moto 3S 1C pada industri penerbangan Indonesia.
“Keselamatan penerbangan tidak boleh diabaikan, harus sesuai standar internasional. Maskapai yang mengurangi biaya terkait dengan keselamatan biasanya tidak dapat bertahan lama,” ujar Ziva. Biaya yang menyangkut keselamatan, lanjut Ziva, di antaranya komponen perawatan pesawat dan pelatihan karyawan.
Agar bertahan di industri dengan persaingan ketat, dia menyarankan maskapai LCC untuk selalu inovatif, kreatif, dan konsisten dalam meracik strategi pemasaran untuk meraup pendapatan berlipat.
Misalnya, dengan mengadakan promo dengan hotel dan agen travel, acara online travel fair , tiket premium, undian berhadiah, dan lainnya. Apalagi, dengan tingginya nilai dolar terhadap rupiah dan kenaikan harga bahan bakar avtur, perusahaan penerbangan harus pintar-pintar mencari cara agar bisa tetap efisien dan optimal, sesuai dengan trah maskapai murah.
Mengutip data Pertamina Aviation, avtur di Bandara Soekarno- Hatta, Tangerang, kini dibanderol seharga USD61,80 sen atau Rp8.920 per liter. Harga ini belum termasuk PPN 10% dan pajak penghasilan 0,3%.
Sementara per barelnya, harga avtur berada di kisaran USD65 sampai USD70. “Belajar dari Southwest Airlines yang sudah ada dari tahun 1970-an namun masih bertahan sampai sekarang. Bahkan, saat serangan 9/11 bisnisnya tidak terpengaruh. Karena, mereka inovatif dan konsisten,” ucap Ziva.
Kalaupun harus menaikkan harga tiket, Ziva berpendapat hal tersebut wajar saja sesuai keputusan perusahaan, yang penting masih masuk akal, dengan tetap menganut asas kompetensi sehat dan rasa tanggung jawab.
Terkait kenaikan harga tiket maskapai LCC yang kini tengah menjadi perbincangan, Pengamat Penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soejatman mengutarakan operator penerbangan mesti hati-hati dalam menentukan sikap jangan sampai kebijakan ini merugikan perusahaan yang berimbas pada menurunnya jumlah keterisian penumpang pesawat.
“Jangan ada pemikiran dari maskapai apabila menaikkan harga tiket pesawat akan mendapatkan untung. Harus ada kajian yang mendalam. Yang ada penumpangnya nanti malah kosong,” katanya. Apalagi, ujar dia, sebenarnya kurs rupiah saat ini semakin kuat, tidak seperti beberapa bulan yang lalu.
Jadi, dengan mempermahal harga tiket sebenarnya tidak akan memengaruhi cash flow keuangan perusahaan secara signifikan. Gerry menjelaskan, efisiensi dan inovasi menjadi kata kunci penting agar maskapai LCC tetap eksis.
Banyak maskapai LCC di luar negeri, kata dia, yang bisa bertahan tanpa krisis biaya dengan mengutamakan upaya efisiensi, utilitas pesawat, serta aset produktivitas. “Penumpang pasti memilih maskapai salah satunya karena paling efisien sebagai produk.
Tidak hanya menjual harga murah, tetapi juga inovasi tak terbatas. Kalau tanpa itu, sama saja bohong,” tandasnya. Salah satu upaya efisiensi yang bisa dipilih, ujar Gerry, adalah dengan membuat aturan bagasi berbayar, yang sudah diterapkan sejumlah maskapai LCC.
Kebijakan ini tentu dapat menjadi sarana penghematan bagi penumpang yang tidak membawa bagasi terlalu banyak, dengan tidak membebani harga tiket. Terkait dengan anggapan bahwa penerbangan LCC suka mengalami delay , Gerry mengungkapkan sebenarnya delay merupakan hal yang merugikan bagi perusahaan.
“Bahkan, biaya satu menit delay maskapai LCC dapat lebih besar dari yang bukan LCC. Tentu saja ini bukan kemauan maskapai sendiri,” ujarnya. Upaya lain dalam meningkatkan keterisian penumpang maskapai LCC adalah bekerja sama dengan agen travel.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Travel Agen Indonesia (Astindo) Rudiana mengutarakan, tersedianya maskapai berbiaya murah memang berjasa untuk menaikkan kunjungan wisatawan yang pada akhirnya menguntungkan bisnis travel.
“Dunia pariwisata terus berkembang karena makin banyak destinasi di dunia yang bisa dijangkau melalui maskapai LCC,” sebutnya. Meski begitu, apabila maskapai menganggap perusahaan travel sebagai partner, dia berharap harus ada aturan besaran komisi yang musti dikeluarkan, jangan sampai agen travel yang sudah membantu maskapai menjual tiket tidak mendapatkan keuntungan sedikit pun.
“Kalaupun mereka jual sendiri lewat online, sebaiknya harganya juga tidak sama ketika dijual sama agen, harus lebih murah, sehingga agen bisa dapat untung,” ungkap Rudiana. Rudiana berujar, faktor keamanan harus dijunjung teguh maskapai murah, tidak hanya euforia kejar tayang.
Adanya penerbangan LCC memang membuat hampir semua orang bisa terbang. Namun, di sisi lain, tutur dia, terkadang airline masih tergopoh-gopoh dalam memenuhi safety yang paling dasar seperti masih terjadinya delay di mana penumpang dapat menunggu hingga enam jam.
“Bahkan, sebelum ada peraturan mengenai perlindungan penggantian, penumpang tidak dapat berbuat apa pun terhadap airline ,” tuturnya.
Sementara itu, dihubungi melalui sambungan telepon, Corporate Communications Strategic Lion Air Danang Mandala Prihantoro menegaskan, pihaknya selalu berkomitmen mengutamakan faktor keselamatan dalam menjalankan penerbangan sesuai standar internasional.
Hal tersebut, kata dia, diimplementasikan dari sisi sumber daya manusia (SDM) dengan menggelar training berkala bagi flight attendant dan awak pesawat. Selain itu, perawatan pesawat juga rutin dijalankan sehingga dapat laik terbang.
“Safety itu sifatnya mandatory, sebuah keharusan. Standar Lion Air se suai dengan aturan maskapai internasional,” kata Danang. Lion Air menunjukkan keseriusannya terkait keselamatan dengan membangun Batam Aero Technic (BAT), fasilitas pemeliharaan dan perbaikan pesawat atau maintenance repair overhaul (MRO).
Danang menuturkan, perusahaan bahkan akan terus memperluas pembangunan fasilitas bengkel pesawat yang berlokasi di Batam, Kepulauan Riau, sejalan dengan peningkatan jumlah pesawat yang dimiliki Lion Air. Luas total fasilitas BAT saat ini mencapai 28 hektare.
Namun demikian, fasilitas yang sudah terbangun baru mencapai 4 hektare. Diketahui sampai saat ini Lion Group sudah memiliki 250 armada pesawat. Pesawat-pesawat milik Lion tidak hanya dioperasikan di Indonesia di bawah maskapai Lion Air, Batik Air, dan Wings Air, tetapi juga mengoperasikan pesawat di kawasan Asia Tenggara melalui Malindo dan Thai Lion. (Rendra Hangara)
Di tengah tingginya nilai tukar mata uang dan kenaikan avtur, berbagai tantangan mendera maskapai murah. Maskapai LCC mengubah dunia penerbangan dan sektor travel selama lebih dari dua dekade terakhir, yang memungkinkan semua orang bisa terbang.
Penerbangan murah ini dirintis pertama kali oleh Southwest Airlines yang didirikan Rollin King, Lamar Muse, dan Herber Kelleher di Amerika Serikat pada 1967. Efisiensi yang dilakukan maskapai ini mencakup pemangkasan biaya operasional, pemanfaatan teknologi, tidak diberikan makanan gratis di pesawat, pengaturan rute hingga peralatan operasional yang digunakan.
Keberhasilan Southwest kemudian mengilhami maskapai lainnya seperti Ryanair, Vanguard, America West, easyJet, Shuttle, MetroJet, Delta Express, dan Continental Lite. Strategi ini lantas digunakan juga oleh AirAsia asal Malaysia dan Virgin Blue yang bermarkas di Australia.
Pemain baru seperti Norwegian, WOW air, dan Scoot pun ikut mengangkasa. Hingga kini penerbangan murah terus menunjukkan kedigdayaannya, dari segi pendapatan, jumlah rute, maupun kenaikan penumpang.
Laporan terbaru IATA (International Air Transport Association) menyebutkan pesawat terbang menjadi lebih penuh penumpang di tahun 2018 daripada sebelumnya. Laba bersih di seluruh industri penerbangan naik menjadi USD38,4 miliar dari yang diperkirakan sebelumnya sebesar USD34,5 miliar.
Sementara persentase kursi yang diisi penumpang mencapai tingkat rekor, yaitu sekitar 81,4%. Kenyataan tersebut akhirnya berimbas juga pada dunia pariwisata, di mana semakin banyak turis yang melakukan perjalanan wisata.
Di Indonesia, LCC dimulai sejak dibukanya deregulasi penerbangan niaga oleh pemerintah pada 2001. Aturan tersebut memberikan kesempatan kepada para pengusaha untuk menjalankan jasa penerbangan meski dengan hanya memiliki satu pesawat dan modal minim.
Kesempatan itu dikuatkan dengan tidak adanya aturan mengenai batas tarif bawah yang membuat perusahaan penerbangan berlomba memasang tarif rendah untuk memikat penumpang.
Sejak saat itu sejumlah perusahaan penerbangan murah pun bermunculan, sebut saja Lion Air, Adam Air, Citilink, Jatayu, Kartika Airlines, Indonesia Airlines, Star Air, dan Bali Air. Kehadiran maskapai LCC ini berhasil membuat maskapai yang sudah eksis sebelumnya tertatih-tatih.
Satu per satu pemain lama tumbang. Setelah Bouraq disusul Merpati Nusantara Airlines lalu Batavia Air dan Mandala Airlines. Kehadiran LCC juga sempat membuat moda transportasi lain seperti bus antarkota antarprovinsi dan kereta api terseok-seok.
Bagaimana tidak, di awal kemunculannya, Lion Air sempat mematok tarif Rp160.000 sekali jalan untuk rute Jakarta-Surabaya, sementara tiket KA eksekutif dipatok Rp180.000 di rute yang sama. Seiring dengan perkembangan zaman, persaingan di segmen ini semakin ketat.
Seleksi alam akibat kenaikan harga avtur dan tarif layanan bandara pun terjadi. Satu per satu maskapai berbiaya murah bertumbangan. Setelah Indonesia Airlines, disusul kemudian Star Air dan maskapai lainnya.
Praktis, kini yang tersisa hanya Citilink dan Lion Air ditambah anak usaha AirAsia, yakni Indonesia AirAsia yang mencoba peruntungan. “Indonesia itu sangat cocok dilayani maskapai LCC karena negara kepulauan yang dipisah lautan sehingga perlu rute khusus ke daerah-daerah pelosok,” tutur Presiden Direktur Aviatory Indonesia Ziva Narendra, kepada KORAN SINDO, Jumat (18/1).
Menurut dia, dengan membuka penerbangan perintis merupakan cara tepat bagi budget airlines untuk bersaing dengan maskapai besar dengan konsep layanan penuh (full service airline /FSA).
Meski bersaing, penyedia jasa maskapai murah tak lantas mengenyampingkan faktor safety, security, service , dan compliance yang dikenal dengan moto 3S 1C pada industri penerbangan Indonesia.
“Keselamatan penerbangan tidak boleh diabaikan, harus sesuai standar internasional. Maskapai yang mengurangi biaya terkait dengan keselamatan biasanya tidak dapat bertahan lama,” ujar Ziva. Biaya yang menyangkut keselamatan, lanjut Ziva, di antaranya komponen perawatan pesawat dan pelatihan karyawan.
Agar bertahan di industri dengan persaingan ketat, dia menyarankan maskapai LCC untuk selalu inovatif, kreatif, dan konsisten dalam meracik strategi pemasaran untuk meraup pendapatan berlipat.
Misalnya, dengan mengadakan promo dengan hotel dan agen travel, acara online travel fair , tiket premium, undian berhadiah, dan lainnya. Apalagi, dengan tingginya nilai dolar terhadap rupiah dan kenaikan harga bahan bakar avtur, perusahaan penerbangan harus pintar-pintar mencari cara agar bisa tetap efisien dan optimal, sesuai dengan trah maskapai murah.
Mengutip data Pertamina Aviation, avtur di Bandara Soekarno- Hatta, Tangerang, kini dibanderol seharga USD61,80 sen atau Rp8.920 per liter. Harga ini belum termasuk PPN 10% dan pajak penghasilan 0,3%.
Sementara per barelnya, harga avtur berada di kisaran USD65 sampai USD70. “Belajar dari Southwest Airlines yang sudah ada dari tahun 1970-an namun masih bertahan sampai sekarang. Bahkan, saat serangan 9/11 bisnisnya tidak terpengaruh. Karena, mereka inovatif dan konsisten,” ucap Ziva.
Kalaupun harus menaikkan harga tiket, Ziva berpendapat hal tersebut wajar saja sesuai keputusan perusahaan, yang penting masih masuk akal, dengan tetap menganut asas kompetensi sehat dan rasa tanggung jawab.
Terkait kenaikan harga tiket maskapai LCC yang kini tengah menjadi perbincangan, Pengamat Penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soejatman mengutarakan operator penerbangan mesti hati-hati dalam menentukan sikap jangan sampai kebijakan ini merugikan perusahaan yang berimbas pada menurunnya jumlah keterisian penumpang pesawat.
“Jangan ada pemikiran dari maskapai apabila menaikkan harga tiket pesawat akan mendapatkan untung. Harus ada kajian yang mendalam. Yang ada penumpangnya nanti malah kosong,” katanya. Apalagi, ujar dia, sebenarnya kurs rupiah saat ini semakin kuat, tidak seperti beberapa bulan yang lalu.
Jadi, dengan mempermahal harga tiket sebenarnya tidak akan memengaruhi cash flow keuangan perusahaan secara signifikan. Gerry menjelaskan, efisiensi dan inovasi menjadi kata kunci penting agar maskapai LCC tetap eksis.
Banyak maskapai LCC di luar negeri, kata dia, yang bisa bertahan tanpa krisis biaya dengan mengutamakan upaya efisiensi, utilitas pesawat, serta aset produktivitas. “Penumpang pasti memilih maskapai salah satunya karena paling efisien sebagai produk.
Tidak hanya menjual harga murah, tetapi juga inovasi tak terbatas. Kalau tanpa itu, sama saja bohong,” tandasnya. Salah satu upaya efisiensi yang bisa dipilih, ujar Gerry, adalah dengan membuat aturan bagasi berbayar, yang sudah diterapkan sejumlah maskapai LCC.
Kebijakan ini tentu dapat menjadi sarana penghematan bagi penumpang yang tidak membawa bagasi terlalu banyak, dengan tidak membebani harga tiket. Terkait dengan anggapan bahwa penerbangan LCC suka mengalami delay , Gerry mengungkapkan sebenarnya delay merupakan hal yang merugikan bagi perusahaan.
“Bahkan, biaya satu menit delay maskapai LCC dapat lebih besar dari yang bukan LCC. Tentu saja ini bukan kemauan maskapai sendiri,” ujarnya. Upaya lain dalam meningkatkan keterisian penumpang maskapai LCC adalah bekerja sama dengan agen travel.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Travel Agen Indonesia (Astindo) Rudiana mengutarakan, tersedianya maskapai berbiaya murah memang berjasa untuk menaikkan kunjungan wisatawan yang pada akhirnya menguntungkan bisnis travel.
“Dunia pariwisata terus berkembang karena makin banyak destinasi di dunia yang bisa dijangkau melalui maskapai LCC,” sebutnya. Meski begitu, apabila maskapai menganggap perusahaan travel sebagai partner, dia berharap harus ada aturan besaran komisi yang musti dikeluarkan, jangan sampai agen travel yang sudah membantu maskapai menjual tiket tidak mendapatkan keuntungan sedikit pun.
“Kalaupun mereka jual sendiri lewat online, sebaiknya harganya juga tidak sama ketika dijual sama agen, harus lebih murah, sehingga agen bisa dapat untung,” ungkap Rudiana. Rudiana berujar, faktor keamanan harus dijunjung teguh maskapai murah, tidak hanya euforia kejar tayang.
Adanya penerbangan LCC memang membuat hampir semua orang bisa terbang. Namun, di sisi lain, tutur dia, terkadang airline masih tergopoh-gopoh dalam memenuhi safety yang paling dasar seperti masih terjadinya delay di mana penumpang dapat menunggu hingga enam jam.
“Bahkan, sebelum ada peraturan mengenai perlindungan penggantian, penumpang tidak dapat berbuat apa pun terhadap airline ,” tuturnya.
Sementara itu, dihubungi melalui sambungan telepon, Corporate Communications Strategic Lion Air Danang Mandala Prihantoro menegaskan, pihaknya selalu berkomitmen mengutamakan faktor keselamatan dalam menjalankan penerbangan sesuai standar internasional.
Hal tersebut, kata dia, diimplementasikan dari sisi sumber daya manusia (SDM) dengan menggelar training berkala bagi flight attendant dan awak pesawat. Selain itu, perawatan pesawat juga rutin dijalankan sehingga dapat laik terbang.
“Safety itu sifatnya mandatory, sebuah keharusan. Standar Lion Air se suai dengan aturan maskapai internasional,” kata Danang. Lion Air menunjukkan keseriusannya terkait keselamatan dengan membangun Batam Aero Technic (BAT), fasilitas pemeliharaan dan perbaikan pesawat atau maintenance repair overhaul (MRO).
Danang menuturkan, perusahaan bahkan akan terus memperluas pembangunan fasilitas bengkel pesawat yang berlokasi di Batam, Kepulauan Riau, sejalan dengan peningkatan jumlah pesawat yang dimiliki Lion Air. Luas total fasilitas BAT saat ini mencapai 28 hektare.
Namun demikian, fasilitas yang sudah terbangun baru mencapai 4 hektare. Diketahui sampai saat ini Lion Group sudah memiliki 250 armada pesawat. Pesawat-pesawat milik Lion tidak hanya dioperasikan di Indonesia di bawah maskapai Lion Air, Batik Air, dan Wings Air, tetapi juga mengoperasikan pesawat di kawasan Asia Tenggara melalui Malindo dan Thai Lion. (Rendra Hangara)
(nfl)