Jalan Tol Khusus Sepeda Motor, Pentingkah?
A
A
A
JAKARTA - Usulan perlunya jalan tol khusus untuk sepeda motor di Indonesia mengemuka untuk meminimalisasi tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Sebagai sesama warga pembayar pajak, pengendara juga dinilai berhak menikmati tol. Namun pemerintah tak mau gegabah merealisasikannya.
Kendati sejumlah negara sudah ada yang menerapkan kebijakan seperti ini, pemerintah Indonesia tetap ingin berhati-hati. Berbeda dengan negara-negara maju, sepeda motor di Indonesia umumnya didesain untuk perjalanan dengan jarak tempuh pendek. Rute tol di Indonesia juga sangat panjang, sehingga sangat rawan memicu kecelakaan lalu lintas. Pembatasan kecepatan di jalur ini bisa dilakukan, namun di lapangan pengawasannya diprediksi akan banyak menghadapi kendala.
Kalaupun secara regulasi sepeda motor nantinya bisa dibolehkan masuk jalan tol, biaya investasinya juga sangat besar. Sebab untuk ketertiban dan perlindungan keselamatan, tol khusus ini membutuhkan pemisah dengan jalur kendaraan roda empat atau lebih. Fasilitas ini seperti terlihat di jalan tol Bali Mandara da Suramadu.
Jika mengikuti standar tersebut, biaya infrastrukturnya jelas sangat besar dan belum tentu sebanding dengan penggunanya. “Saya belum bisa berandai-andai karena jumlah motor ini banyak sekali. Sementara jalan tol yang kita bangun terbatas. Jadi saya hati-hati untuk menetapkannya karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak,” ujar Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi merespons usulan perlunya jalan tol khusus sepeda motor dari sejumlah pihak, termasuk Ketua DPR Bambang Soesatyo.
Sebelum memutuskan soal wacana ini, Menhub akan melihat sejauhmana aturan perundang-undangan terlebih dahulu. Selain itu, dia akan melihat praktik serupa di beberapa negara.
Bagi Menhub, yang perlu diperhatikan dalam wacana ini adalah sepeda motor memiliki risiko berkaitan dengan keselamatan. Apalagi saat ini 70% kecelakan di Indonesia melibatkan sepeda motor. Secara pribadi, Budi Karya menilai usulan ini belumlah mendesak. Sebelum memutuskan, tentunya pemerintah harus menimbang antara kebaikan dan dampak masalahnya.
Bambang Soesatyo menilai, semua pemilik sepeda motor memiliki hak yang sama menggunakan jalan tol karena sama-sama pembayar pajak. Menurutnya, sudah saatnya pemerintah memikirkan usulan ini apalagi pertumbuhan sepeda motor sangat besar. “Justru lebih tertib dan lebih aman karena satu arah. Kecelakaan dulu banyak terjadi ketika dua arah dan bertabrakan. Ini satu arah, mereka antre tol lalu berjalan beriringan," kata Bambang.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi juga menilai jalur tol tak cocok dengan kendaraan roda dua, sebab jalurnya panjang dan rentan terjadi kecelakaan lalu lintas.
Menurutnya, regulasi bisa dibuat, namun harus mengikuti ketentuan bahwa kendaraan roda dua tidak safety untuk keselamatan di jalan raya pada jalur yang panjang. “Kalau kita jadikan itu untuk jarak jauh kan bahaya apalagi kalau misalnya jalan tol itu untuk sepeda motor tidak ada barikade atau tidak dipisahkan,” ujar dia.
Kebijakan jalan tol khusus sepeda motor di Bali dan Suramadu memungkinkan diterapkan karena jalurnya pendek dan akses jalannya dibatasi marka jalan sehingga tidak berbarengan dengan kendaraan roda empat atau mobil. “Mobil di jalan tol itu kan kecepatan tinggi. Sekarang kalau mobil jalan tinggi tiba tiba ada motor kan pasti agak goyang. Apalagi jalan tol kan terbuka, anginnya besar,” katanya.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno mengatakan, usulan Bambang Susetyo soal sepeda motor di jalan tol konyol. Alasannya, transportasi kendaraan roda dua tidak aman untuk jalur panjang, dan masuk di jalur tol bersama kendaraan roda empat.
Dia menilai jika mau merealisasikan rencana tersebut harus dibuatkan jalur khusus yang tak memanfaatkan bahu jalan dan berbarengan dengan jalan tol bagi kendaraan roda empat. “Tapi saya kira ini investasi yang berat, mengingat pengembalian keuntungannya juga berisiko bagi investor,” ungkapnya.
Masyarakat pengguna roda dua pun juga diprediksi akan sulit menerima jika tarifnya dirasa memberatkan. “Taruhlah itu per kilometer itu lima ratus rupiah. Saya kira susah juga bagi investor. Sementara juga susah lagi kalau terlalu mahal,” pungkas dia.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai wacana ini kontraproduktif dan tidak patut dikemukakan. Selain itu, aspek keselamatan dalam berkendaran sepeda motor juga harus diperhatikan. "Jangankan di jalan tol, sepeda motor di jalan umum saja harus ekstra hati-hati, apalagi masuk jalan tol," ujarnya.
Rencana Pendukung
Pendiri dan instruktur Jakarta Defensive Driving Center (JDDC) Jusri Pulubuhu mengatakan pemerintah harus menyiapkan rencana pendukung apabila usulan motor diizinkan masuk jalan tol direaisasi. Persiapan itu perlu dilakukan agar realisasi itu tidak kontraproduktif atau membahayakan pengguna jalan.
Menurut dia, akan sangat berbahaya jika pemerintah ngotot menerapkan kebijakan itu seperti di luar negeri yang membebaskan motor jenis apa pun masuk ke jalan tol. Dia mengatakan hal itu tidak akan berjalan dengan baik jika dilakukan di Indonesia.
“Salah satu peraturan pendukung yang bisa dipertimbangkan itu adalah diferensiasi Surat Izin Mengemudi (SIM). Peraturan ini akan memudahkan pihak kepolisian dalam mengidentifikasi motor yang memang diizinkan masuk jalan tol,” ujarnya.
Motor yang masuk jalan tol pun harus dibedakan antara motor dengan silinder besar dan motor silinder kecil. Motor silinder kecil menurutnya bisa masuk ke jalan tol dengan jarak tempuh pendek. Sebaliknya motor bersilinder besar bisa masuk jalan tol dengan jarak tempuh yang panjang. “Pengaruh angin samping itu akan sangat berbahaya buat motor kecil. Selain itu pemilik motor besar juga harus melakukan berbagai sertifikasi selain mendapatkan SIM yang sesuai agar bisa masuk ke jalan tol,” ujarnya.
Selain itu Jusri mengingatkan pentingnya perbaikan mental berkendara orang Indonesia sebelum izin motor masuk tol terealisasi. "Cara kita berkendara di jalan raya tidak disiplin. Sehingga kita tidak bisa membandingkan kenapa pengguna sepeda motor di luar negeri bisa masuk tol, sedangkan di sini tidak," kata Jusri.
Terakhir Jusri mengatakan, kalaupun motor ingin diperbolehkan masuk tol, penerapannya sebaiknya dilakukan seperti di Jembatan Suramadu, Surabaya ataupun Jembatan Bali Mandara, Bali. Di sana, ada pemisahan antara jalur kendaraan roda empat ke atas dengan kendaraan roda dua.
"Dengan adanya pemisahan itu, maka dari aspek keamanan, khususnya pengguna roda empat jauh lebih aman. Tidak bercampur. Jadi kualitas safety-nya lebih bagus daripada yang bergabung," pungkas Jusri. (Dita Angga/Wahyu Sibarani/Ichsan Amin/Oktiani Endarwati)
Kendati sejumlah negara sudah ada yang menerapkan kebijakan seperti ini, pemerintah Indonesia tetap ingin berhati-hati. Berbeda dengan negara-negara maju, sepeda motor di Indonesia umumnya didesain untuk perjalanan dengan jarak tempuh pendek. Rute tol di Indonesia juga sangat panjang, sehingga sangat rawan memicu kecelakaan lalu lintas. Pembatasan kecepatan di jalur ini bisa dilakukan, namun di lapangan pengawasannya diprediksi akan banyak menghadapi kendala.
Kalaupun secara regulasi sepeda motor nantinya bisa dibolehkan masuk jalan tol, biaya investasinya juga sangat besar. Sebab untuk ketertiban dan perlindungan keselamatan, tol khusus ini membutuhkan pemisah dengan jalur kendaraan roda empat atau lebih. Fasilitas ini seperti terlihat di jalan tol Bali Mandara da Suramadu.
Jika mengikuti standar tersebut, biaya infrastrukturnya jelas sangat besar dan belum tentu sebanding dengan penggunanya. “Saya belum bisa berandai-andai karena jumlah motor ini banyak sekali. Sementara jalan tol yang kita bangun terbatas. Jadi saya hati-hati untuk menetapkannya karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak,” ujar Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi merespons usulan perlunya jalan tol khusus sepeda motor dari sejumlah pihak, termasuk Ketua DPR Bambang Soesatyo.
Sebelum memutuskan soal wacana ini, Menhub akan melihat sejauhmana aturan perundang-undangan terlebih dahulu. Selain itu, dia akan melihat praktik serupa di beberapa negara.
Bagi Menhub, yang perlu diperhatikan dalam wacana ini adalah sepeda motor memiliki risiko berkaitan dengan keselamatan. Apalagi saat ini 70% kecelakan di Indonesia melibatkan sepeda motor. Secara pribadi, Budi Karya menilai usulan ini belumlah mendesak. Sebelum memutuskan, tentunya pemerintah harus menimbang antara kebaikan dan dampak masalahnya.
Bambang Soesatyo menilai, semua pemilik sepeda motor memiliki hak yang sama menggunakan jalan tol karena sama-sama pembayar pajak. Menurutnya, sudah saatnya pemerintah memikirkan usulan ini apalagi pertumbuhan sepeda motor sangat besar. “Justru lebih tertib dan lebih aman karena satu arah. Kecelakaan dulu banyak terjadi ketika dua arah dan bertabrakan. Ini satu arah, mereka antre tol lalu berjalan beriringan," kata Bambang.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi juga menilai jalur tol tak cocok dengan kendaraan roda dua, sebab jalurnya panjang dan rentan terjadi kecelakaan lalu lintas.
Menurutnya, regulasi bisa dibuat, namun harus mengikuti ketentuan bahwa kendaraan roda dua tidak safety untuk keselamatan di jalan raya pada jalur yang panjang. “Kalau kita jadikan itu untuk jarak jauh kan bahaya apalagi kalau misalnya jalan tol itu untuk sepeda motor tidak ada barikade atau tidak dipisahkan,” ujar dia.
Kebijakan jalan tol khusus sepeda motor di Bali dan Suramadu memungkinkan diterapkan karena jalurnya pendek dan akses jalannya dibatasi marka jalan sehingga tidak berbarengan dengan kendaraan roda empat atau mobil. “Mobil di jalan tol itu kan kecepatan tinggi. Sekarang kalau mobil jalan tinggi tiba tiba ada motor kan pasti agak goyang. Apalagi jalan tol kan terbuka, anginnya besar,” katanya.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno mengatakan, usulan Bambang Susetyo soal sepeda motor di jalan tol konyol. Alasannya, transportasi kendaraan roda dua tidak aman untuk jalur panjang, dan masuk di jalur tol bersama kendaraan roda empat.
Dia menilai jika mau merealisasikan rencana tersebut harus dibuatkan jalur khusus yang tak memanfaatkan bahu jalan dan berbarengan dengan jalan tol bagi kendaraan roda empat. “Tapi saya kira ini investasi yang berat, mengingat pengembalian keuntungannya juga berisiko bagi investor,” ungkapnya.
Masyarakat pengguna roda dua pun juga diprediksi akan sulit menerima jika tarifnya dirasa memberatkan. “Taruhlah itu per kilometer itu lima ratus rupiah. Saya kira susah juga bagi investor. Sementara juga susah lagi kalau terlalu mahal,” pungkas dia.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai wacana ini kontraproduktif dan tidak patut dikemukakan. Selain itu, aspek keselamatan dalam berkendaran sepeda motor juga harus diperhatikan. "Jangankan di jalan tol, sepeda motor di jalan umum saja harus ekstra hati-hati, apalagi masuk jalan tol," ujarnya.
Rencana Pendukung
Pendiri dan instruktur Jakarta Defensive Driving Center (JDDC) Jusri Pulubuhu mengatakan pemerintah harus menyiapkan rencana pendukung apabila usulan motor diizinkan masuk jalan tol direaisasi. Persiapan itu perlu dilakukan agar realisasi itu tidak kontraproduktif atau membahayakan pengguna jalan.
Menurut dia, akan sangat berbahaya jika pemerintah ngotot menerapkan kebijakan itu seperti di luar negeri yang membebaskan motor jenis apa pun masuk ke jalan tol. Dia mengatakan hal itu tidak akan berjalan dengan baik jika dilakukan di Indonesia.
“Salah satu peraturan pendukung yang bisa dipertimbangkan itu adalah diferensiasi Surat Izin Mengemudi (SIM). Peraturan ini akan memudahkan pihak kepolisian dalam mengidentifikasi motor yang memang diizinkan masuk jalan tol,” ujarnya.
Motor yang masuk jalan tol pun harus dibedakan antara motor dengan silinder besar dan motor silinder kecil. Motor silinder kecil menurutnya bisa masuk ke jalan tol dengan jarak tempuh pendek. Sebaliknya motor bersilinder besar bisa masuk jalan tol dengan jarak tempuh yang panjang. “Pengaruh angin samping itu akan sangat berbahaya buat motor kecil. Selain itu pemilik motor besar juga harus melakukan berbagai sertifikasi selain mendapatkan SIM yang sesuai agar bisa masuk ke jalan tol,” ujarnya.
Selain itu Jusri mengingatkan pentingnya perbaikan mental berkendara orang Indonesia sebelum izin motor masuk tol terealisasi. "Cara kita berkendara di jalan raya tidak disiplin. Sehingga kita tidak bisa membandingkan kenapa pengguna sepeda motor di luar negeri bisa masuk tol, sedangkan di sini tidak," kata Jusri.
Terakhir Jusri mengatakan, kalaupun motor ingin diperbolehkan masuk tol, penerapannya sebaiknya dilakukan seperti di Jembatan Suramadu, Surabaya ataupun Jembatan Bali Mandara, Bali. Di sana, ada pemisahan antara jalur kendaraan roda empat ke atas dengan kendaraan roda dua.
"Dengan adanya pemisahan itu, maka dari aspek keamanan, khususnya pengguna roda empat jauh lebih aman. Tidak bercampur. Jadi kualitas safety-nya lebih bagus daripada yang bergabung," pungkas Jusri. (Dita Angga/Wahyu Sibarani/Ichsan Amin/Oktiani Endarwati)
(nfl)